Sukses

Kaum Urban Kota Penyangga, Habiskan Waktu 5 Jam Perjalanan untuk Kerja di Jakarta

Beberapa pekerja di Jakarta merupakan warga yang tinggal di kota penyangga, misalnya Bekasi, Tangerang, Bogor, hingga Depok.

Liputan6.com, Jakarta - Rutinitas sebagai pengguna KRL Commuter Line sudah dijalaninya sejak dua tahun terakhir. Setelah lulus kuliah pada 2019, Sri Aeni warga Gunung Putri, Kabupaten Bogor bekerja di kawasan Karet, Jakarta Pusat.

Sri pun harus menghabiskan waktu lima jam perjalanan untuk pulang dan pergi selama bekerja. KRL commuter line kerapkali menjadi transportasi andalan yang efektif bagi para sebagian besar pekerja daerah luar Jakarta.

Wanita berjilbab ini memiliki alasan tersendiri memilih KRL untuk membantu akomodasinya sehari-hari. Salah satunya lebih ekonomis dari segi materil maupun waktu dibandingkan dengan transportasi lainnya misalnya bus, mobil, maupun motor.

Biasanya Sri mengawali harinya dengan bangun lebih awal dibandingkan dengan pekerja yang tinggal di sekitar Jakarta. Pukul 03.30 WIB alarm paginya sudah membangunkannya dan harus mempersiapkan segala kebutuhan yang perlu dibawa untuk kerja.

Begitu waktu menunjukkan pukul 04.30 Sri lantas bergegas menuju ke stasiun yang terdekat dari rumahnya dan diantar ayahnya. Sri selalu berangkat bekerja sebelum azan Subuh berkumandang.

"Biasanya diantar bapak naik motor ke Stasiun Nambo. Perjalanan sekitar 30 menit untuk mengejar kereta keberangkatan pukul 05.00 WIB," kata Sri kepada Liputan6.com.

Sri memang memilih perjalanan kereta pertama. Sebab perjalanan kedua baru tersedia pukul 07.00 WIB. Sedangkan waktu masuk kantor pukul 08.00 WIB. Suasana kereta pertama memang lebih sepi dan lebih menguntungkannya. Sebab Stasiun Nambo merupakan lokasi pemberangkatan kereta pertama.

Dari Stasiun Nambo, Sri masih dapat mendapatkan tempat duduk. Mengingat perjalanan yang tidak singkat, tidak jarang dia tertidur dalam perjalanan. Untuk menuju Stasiun Karet diperlukan transit di Stasiun Manggarai memilih menaiki kereta tujuan Stasiun Kampung Bandan-Angke.

Perjalanan dari Nambo hingga Stasiun Karet memakan waktu hingga 1,5 jam. Sesampainya di stasiun tujuan Sri masih harus menaiki bus Transjakarta untuk sampai ke kantornya sekitar 15 menit.

"Biasanya aku sampai di kantor pukul 07.15 WIB. Dan waktu sisanya digunakan buat sarapan dan persiapan sebelum bekerja karena perjalanan cukup jauh," ucapnya.

Banyak Kisah Unik

Perjalanan panjang yang Sri lewati hampir setiap hari menggunakan KRL tentunya menyimpan kisah-kisah unik dan tak terlupakan. Sri mengaku memiliki kenangan sedih menjadi commuter. Dia pernah tidak mendapatkan tempat duduk dari awal hingga akhir perjalanan. Atau harus terus berdiri selama dua jam di dalam kereta.

"Pernah (punya pengalaman nggak dapat tempat duduk dari awal perjalanan) sampai rumah langsung nangis," ujar dia.

Sri memiliki alasan tersendiri tidak memilih sewa kost di dekat kantor meskipun harus meluangkan waktu beberapa jalan setiap kali bekerja. Selain mudahnya transportasi dan tarif yang cukup terjangkau menjadi alasan utamanya.

"Biasanya aku PP keluarin uang cuma Rp17 ribu. Kalau kost agak mahal di Jakarta belum lagi untuk uang makan sehari-hari. Sedangkan kalau di rumah masih ada masakan orang rumah," Sri menandaskan.

Cerita yang sama juga disampaikan oleh Tiara salah satu warga Cisauk, Kabupaten Tangerang. Sebagai pekerja di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Setiap harinya dia harus meluangkan waktu hampir lima jam sehari untuk bekerja.

Biasanya dia berangkat kerja pukul 07.00 WIB menuju Stasiun Cisauk setelah sejumlah pekerjaan rumah diselesaikannya. Perjalanan dari rumah ke stasiun hanya sekitar 10-15 menit dengan sepeda motor. Sedangkan waktu kerja mulai pukul 09.00 WIB.

"Biasanya pilih keberangkatan kereta pukul 07.40 WIB. Biasanya sampai Stasiun Palmerah pukul 08.15 WIB naik gojek lagi dari itu pukul 08.30 WIB karena kalau pagi itu eskalator aja ngantre sampai kantor itu pas pukul 08.45 WIB," kata Tiara kepada Liputan6.com.

Bukan tanpa alasan dia memilih menggunakan transportasi online. Selain perjalanan yang cukup cepat, belum ada bus Transjakarta dari kantornya menuju Stasiun Palmerah. Rutinitasnya sebagai anak kereta baru dijalankan Tiara sejak awal tahun 2022.

Sebelumnya seusai lulus dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat pada 2016 dia langsung tinggal di Jakarta untuk bekerja. Namun setelah setahun menikah bersama suaminya memilih tinggal dan mengambil rumah tapak di kawasan Kabupaten Tangerang yang dianggap lebih terjangkau jika dibandingkan sewa rumah atau beli di sekitar Jakarta.

Awal menjadi pengguna kereta Tiara seringkali mengeluh kelelahan karena biasanya perjalanan dari tempatnya bekerja ke kost tak mencapai satu jam.

"Alasan nomor satu tinggal di kota penyangga karena satu enggak mau beli apartemen. Karena enggak ada tanahnya," Tiara menandaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Masyarakat Dinilai Tak Miliki Budaya Tinggal di Rumah Susun

Tempat tinggal para pekerja di Jakarta sangat bervariasi. Mulai dari di tengah kota hingga berasal dari beberapa kota penyangga. Misalnya Bekasi, Depok, Bogor, hingga beberapa kota di Provinsi Banten.

Perjalanan yang ditempuh pekerja dari kota penyangga pun berbeda-beda. Mulai sejam hingga dua perjalanan dari rumah hingga tempat kerjanya.

Pengamat Tata Kota, Nirwono Joga menyebut terdapat beberapa hal yang mengakibatkan banyaknya pekerja Jakarta yang tinggal di kota penyangga. Salah satunya yakni hunian di Ibu Kota yang sudah sangat mahal yang mengakibatkan para pekerja milih tinggal di pinggiran Jakarta.

"Mereka mencari harga rumah yang terjangkau, nah rumah yang terjangkau itu ternyata sekarang jauh di luar kota (Jakarta). Ini lah yang kemudian dalam tanda petik mereka terpaksa untuk membeli rumah di luar wilayah tempat kerjanya, yang jauh dari pusat kota," kata Nirwono kepada Liputan6.com.

Kemudian kata dia, perkembangan tata ruang yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat untuk tinggal di tengah kota. Saat ini tata ruang yang ada hanya berpihak kepada kelompok menengah ke atas. Yaitu mereka yang memiliki kemampuan finansial yang mencukupi.

Nirwono juga menyatakan banyak pekerja dari kota penyangga diakibatkan masifnya pembangunan transportasi massa. "Ini juga akhirnya membuat kelompok menengah atas yang dalam tanda petik juga belum mampu dalam membeli rumah di tengah kota. Akhirnya membeli juga dipinggiran tetapi dekat jalan tol. Ini tentu akan mengurangi kelompok-kelompok menengah ke bawah yang kemampuan dan finansial terbatas untuk semakin menjauh dari tempat kerjanya tadi," ucapnya.

Dia menyatakan kereta merupakan satu-satunya transportasi murah yang dapat digunakan para pekerja di kota penyangga. Sedangkan pengguna kendaraan pribadi juga harus mengeluarkan biaya tol yang cukup mahal.

"Kemudian untuk tranportasi bus, selain dananya juga tidak murah, belum terintegrasi dengan transportasi massa secara keseluruhan. Jadi, waktu juga menjadi pertimbangan, jarak juga menjadi pertimbangan dan juga kenyamanan, inilah yang kemudian kenapa sebagian besar pekerja Jabodetabek memilih untuk menggunakan kereta api," papar dia.

 

Hunian Dekat Transportasi Publik

Karena hal itu dia meminta agar pemerintah dapat menyediakan rumah susun atau hunian vertikal yang dekat dengan stasiun kereta api. Sebab dengan hunian dekat transportasi publik dapat memangkas tarif dengan berjalan kaki.

Dengan begitu kata Nirwono, stasiun kereta api harus mulai mengembangkan wilayahnya sebagai kawasan terpadu. Yakni tak hanya hunian namun juga dengan pasar, sekolah, hingga pusat perbelanjaan.

"Tentu yang paling penting bagaimana meningkatkan jumlah armada keretanya, kemudian waktu tempuhnya juga lebih cepat, kemudian yang tidak kalah penting kenyamanan dari kereta api tadi. Tiga hal tadi yang harusnya dikerjakan secara paralel, bersama -sama, baik itu pemerintah daerah, kemudian juga dirjen perkeretaapian," ujar Nirwono.

Sementara itu, Nirwono menilai bahwa masyarakat Indonesia belum mempunyai budaya untuk tinggal di rumah susun. Masyarakat masih berprinsip dan memilih rumah tapak meskipun lokasinya jauh dari tempat kerja.

"Karena budaya kita kan ada di budaya rumah tapak. Ini sebenarnya menjadi tantangan. Kalau kita belajar dari misalnya Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam, justru membangun budaya untuk tinggal di rumah susun itu di mulai dari kelompok mudanya," dia menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.