Sukses

Ini Penjelasan Kasus Brigadir J Tak Masuk Kategori Pelanggaran HAM Berat

Komnas HAM menyatakan kasus Brigadir J tidak bisa masuk kategori pelanggaran HAM berat. Meski begitu, dia menyatakan bahwa pelaku pembunuhan berencana akan mendapat hukuman berat dengan ancaman pidana mati.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik menjelaskan alasan kasus pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat tidak masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Menurut Taufan, alasan tidak masuknya kasus Brigadir J dalam pelanggaran HAM berat, lantaran tidak sesuai spesifikasi kejahatan sebagaimana Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Pelanggaran HAM berat itu adalah satu definisi hukum internasional yang kemudian kita masukkan ke undang-undang tahun 2000 yang berkaitan dengan kejahatan negara," ucap Taufan kepada wartawan, Senin (29/8/2022).

Karena itu, Taufan menjelaskan, pelanggaran HAM berat tidak diukur dengan gambaran sadistis atau ukuran kejam tidaknya suatu tindak pidana. Karena spesifikasi itu bukan jadi tolak ukur kejahatan HAM berat.

Pasalnya pelanggaran HAM berat itu bisa terjadi atas sebuah operasi serangan terhadap masyarakat sipil yang disebut sebagai penduduk sipil. Lalu, kedua sebagaimana Statuta Roma harus disebut sebagai kejahatan berganda atau berulang-ulang.

"Karena itu melahirkan sebuah pola kejahatan, pola kekerasan, seperti dom (daerah operasi militer), itu kebijakan nasional daerah operasi militer di Aceh, ada operasi jenis ini dan sebagainya. Dibangun instrumen, dalam operasi itu kemudian tentara kita melakukan kejahatan-kejahatan HAM," kata dia.

"Memeriksa orang dengan kekerasan memukul menyiksa bahkan ada pemerkosaan dan pembunuhan di berbagai tempat dalam satu periode tertentu itu yang disebut sebagai state crime, jadi bukan kejahatan yang sifatnya individual (seperti kasus kematian Brigadir J)," ucap Taufan menjelaskan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Banyak yang Salah Tafsir

Karena tidak terpenuhi unsur pelanggaran HAM berat, Taufan melihat dalam kasus kematian Brigadir J banyak orang keliru menafsirkannya. Bahkan dia mengakui tak jarang orang yang mengkritik lembaganya karena kasus itu disebut bukan Pelanggaran HAM.

"Karena tadi tafsirnya adalah berat, masa Ketua Komnas HAM enggak melihat itu berat, gimana kalau anaknya yang dibunuh, saya dikirimi WA, IG saya isinya itu, saya bilang, saya jelasin ini loh. Jadi pelanggaran HAM berat itu adalah pendefinisian satu sistem hukum untuk menyerah kejahatan negara yang dilakukan oleh aparat negara," jelasnya.

Selain itu, kejahatan pelanggaran HAM berat juga harus terstruktur atas instruksi resmi untuk melakukan tindak pelanggaran pidana, seperti kekerasan yang terjadi di Rohingya, Myanmar atas konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1991 sampai sekarang.

"Karena Anda bukan warga negara Myanmar maka semua harta bendamu diambil alih, tanah-tanah milikmu ladang milikmu, diambil alih, kamu bukan warga negara Myanmar jadi ada satu operasi serangan terhadap civilian dalam hal ini Rohingnya satu etnis tertentu agama tertentu," terangnya.

"Yang itu masih terjadi di mana-mana dan beberapa tahun yang membuat jutaan orang mengungsi ke Bangladesh macam-macam, puluhan ribu orang mati menderita, itu yang disebut sebagai kejahatan HAM berat untuk yang rohingnya dia jenisnya genosida," tambah Taufan.

 

3 dari 4 halaman

Kasus Brigadir J Tak Bisa Masuk Pelanggaran HAM Berat

Namun demikian untuk kasus kematian Brigadir J, Taufan menilai jika itu tidak bisa masuk dalam spesifikasi pelanggaran HAM Berat. Karena, pun dalam laporan kasus ini dipakai pidana umum yang dalam pasalnya menyangkut Pembunuhan Berencana.

"Coba bandingkan dengan yang terjadi terhadap Brigadir J kan beda, pengacaranya sendiri pun tidak menggunakan itu, dia menggunakan KUHP artinya pidana umum dalam hal ini pembunuhan berencana. Polisi juga menggunakan itu," ucapnya.

Adapun, Taufan berandai-andai apabila kasus ini ingin dipaksakan masuk dalam kejahatan Pelanggaran HAM Barat. Lantas, proses penyidikan yang berlangsung di kepolisian harus dihentikan dan berubah untuk diserahkan kepada Komnas HAM.

"Kami melalui sidang paripurna membentuk tim Ad Hoc penyelidikan HAM Berat untuk kasus Yosua, dengan isinya komisioner Komnas HAM dengan Tokoh masyarakat, polisi menghentikan semua penyelidikannya, penuntutan juga berhenti semua," jelasnya.

Namun hasilnya akan ditolak oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku aparat hukum yang akan mengadili. Karena memang sedari awal kasus ini tidak masuk dan bukan suatu tindakan kejahatan HAM Berat.

"Sudah makan waktu begitu panjang kami selidiki lebih panjang dari yang ini, kemudian hasilnya ditolak, berbahaya enggak? Jadi ketika saya ditanya itu saya bilang ini bukan pelanggaran HAM berat tapi orang ini sudah mati kehilangan, Anda ini tega teganya, saya bilang ini bukan soal itu, ini soal kita menempatkan secara benar ini ranah hukum HAM," kata dia.

 

4 dari 4 halaman

Pembunuhan Berencana Terancam Hukuman Mati

Walaupun tidak masuk dalam kejahatan HAM Berat, namun Taufan menilai jika penggunaan Pasal 340 KUHP atas pembunuhan berencana pun telah memiliki hukuman yang berat, dengan pidana hukuman mati.

Untuk diketahui, lima tersangka kasus pembunuhan Brigadir J, antara lain Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Bripka RR alias Ricky Rizal, Kuat Maruf alias KM, Irjen Ferdy Sambo alias FS, dan Putri Candrawathi alias PC.

Pada kasus ini, Bharada E dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan Juncto 55 dan 56 KUHP.

Sedangkan, Brigadir RR dan KM dipersangkakan dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

Sementara Ferdy Sambo dipersangkakan dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55, Pasal 56 KUHP. Selanjutnya, Putri Candrawathi disangkakan dengan Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.