Sukses

HEADLINE: Bharada E Ajukan JC dan Sebut Perintah Penembakan dari Atasan, Mengarah ke Dalang?

Kasus kematian Brigadir J memasuki babak baru setelah Bharada E yang telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan mengubah kesaksiannya. Dia mengaku diperintah atasannya untuk menembak Brigadir J. Lantas siapa atasan yang dimaksud?

Liputan6.com, Jakarta - Tepat sebulan berlalu, kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo masih berselimut misteri. Siapa dalang pembunuhan Brigadir J pada Jumat 8 Juli 2022 lalu itu belum terungkap.

Meski begitu, pengungkapan kasus kematian Brigadir J ini telah memasuki babak baru. Setelah Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu 3 Agustus 2022 malam lalu, kepingan demi kepingan puzzle peristiwa ini perlahan tersusun.

Bahkan skenario awal kematian Brigadir J yang penuh kejanggalan kini mulai terpatahkan. Tim khusus (Timsus) bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menemukan adanya dugaan tindak pidana pembunuhan dalam kematian Brigadir J.

Paralel dengan temuan-temuan baru tersebut, Bharada E mengubah kesaksiannya. Melalui tim pengacaranya, Bharada E menyatakan tidak ada adu tembak di rumah Ferdy Sambo seperti keterangan polisi pada awal kasus ini mencuat ke publik.

Polisi dengan pangkat terendah ini mengaku telah dimanfaatkan oleh atasannya dalam kasus kematian Brigadir J. Bharada E dipaksa mengikuti skenario yang telah disusun atasannya, termasuk soal penembakan terhadap Brigadir J. 

Karena itu, Bharada E mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dia juga siap menjadi justice collaborator (JC) untuk mengungkap secara terang benderang siapa-siapa saja yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir J.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pengajuan JC oleh tim pengacara Bharada E ini menguatkan indikasi bahwa sopir istri Ferdy Sambo tersebut bukan pelaku utama pembunuhan Brigadir J. 

"Karena JC itu syaratnya bukan pelaku utama, dan tujuannya JC itu mencari the big fish-nya atau pelaku utamanya," ujar Fickar saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/8/2022).

Keberadaaan justice collaborator diperlukan untuk memudahkan penegak hukum mengungkap kasus ini secara terang benderang, termasuk menemukan dalang pembunuhan Brigadir J. Meski berjasa, Fickar menegaskan bahwa seorang JC tetap akan dihukum.

"Keuntungannya dituntut dan dihukum yang paling ringan dari pelaku lainnya. Segala keterangan yang memperjelas perkara akan menguntungkan orang yang memberi keterangan," tuturnya.

Lebih lanjut, dia meyakini masih ada pihak lain yang akan dijadikan tersangka dalam kasus kematian Brigadir J di rumah dinas jenderal bintang dua ini.

"Karena E bila tekanannya Pasal 55 maka dia pelaku bersama-sama melakukan, atau jika tekanan pada Pasal 56 maka dia pelaku pembantu, tetapi tetap disebut pelaku. Menurut saya masih akan ada pihak yang akan dijadikan tersangka," kata Fickar.

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Josias Simon Runturambi menilai, Bharada E seharusnya memiliki peluang besar sebagai JC untuk membantu penyidik mengungkap kasus ini.

"Seharusnya mendapat peluang yang besar dari LPSK. Karena tadi kemungkinan jadi JC banyak hambatannya dan resistensi dari pihak internal sendiri, jadi memang harus ada dukungan dari LPSK," kata Josias saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/8/2022).

Jika menjadi JC, kata dia, Bharada E seharusnya bisa membantu penyidik mengungkap dalang pembunuhan Brigadir J dengan menguraikan peristiwa secara utuh. Namun begitu, negara dalam hal ini LPSK harus bisa menjamin keamanan Bharada E dan keluarganya.

"Bukan jamin Bharada E saja, tapi bagaimana sistem penegakan hukum yang berusaha mengkoreksi keadaan sekarang yang jadi pertanyaan," tutur dia.

Kendati belum menjadi JC, Bharada E ternyata pelan-pelan "bernyanyi" ke penyidik membeberkan siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Terbukti, hanya berselang beberapa hari Timsus Polri kembali menetapkan tersangka, yakni Brigadir RR yang merupakan ajudan istri Ferdy Sambo, Putri Candawathi.

"Itu bagian dari strategi pengungkapan kasus. Saya lihat sebagai strategi. Kita tunggu saja dari pengakuan dan segala macam dibantu CSI (crime science investigation) bukti-bukti yang sudah ada. Semua ada step-stepnya. Karena masalah ini kasusnya melibatkan orang mengerti tentang penegakan hukum penyelidikan dan penyidikan, bukan orang awam," kata Josias.

Namun dia mengaku belum mengetahui lebih jauh alasan polisi menjerat Brigadir RR dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Sementara Bharada E tidak dipersangkakan dengan pasal tersebut. 

"Tapi artinya itu mengungkap ada keterkaitan orang-orang yang ada dalam rumah itu, baik saat kejadian maupun pada proses penyelidikan di awal," ucapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, pihaknya telah menerima permohonan pengajuan Bharada E sebagai justice collaborator di kasus kematian Brigadir J.

"Kami sudah mendengarkan apa saja yang menjadi poin-poin keterangan baru dari Bharada E dan juga sudah disampaikan oleh kuasa hukum dan juga sudah dituangkan dalam Berita Acara Penyelidikan (BAP)," kata Edwin saat ditemui di kantor LPSK, Jakarta Timur, Senin (8/8/2022).

Meskipun keterangan Bharada E sempat berubah-ubah, Edwin tidak ambil pusing. Ke depan LPSK bakal menggali keterangan terbaru dari Bharada E. Di sisi lain, keterangan tersebut nantinya akan menjadi penilaian apakah Bharada E pantas menjadi justice collaborator.

"Kita mengacu pada informasi terakhir saja, kalau informasi terakhir ini benar dan kemudian Bharada E mau kerja sama dan bukan pelaku utama, memenuhi unsur JC," ujarnya.

Lebih lanjut, LPSK juga akan menjamin perlidungan kepada keluarga Bharada E karena termasuk dalam kepentingan. Meskipun Edwin tidak merinci bentuk-bentuk perlindungan tersebut berupa apa.

"Sangat tergantung pada kebutuhan. Misal perlindungan fisik, itu penempatan di rumah aman, pengamanan pengawalan ketat atau monitoring. Jadi sangat bergantung dari hasil penilaian pendalaman LPSK," imbuhnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dipaksa Mengikuti Skenario Atasan

Pengacara Bharada E, Deolipa Yumara mengungkap fakta-fakta baru terkait kasus kematian Brigadir J. Dia menyatakan bahwa Bharada E tidak pernah terlibat adu tembak dengan Brigadir J. Namun Bharada E diperintahkan atasannya menembak koleganya tersebut.

"Iya mendapat perintah (untuk menembak Brigadir J)," ujar Deolipa kepada Liputan6.com, Minggu 7 Agustus 2022.

Namun Deolipa enggan membeberkan siapa yang memerintah Bharada E. Dia hanya menyebut, Bharada E terpaksa menembak Brigadir J karena disuruh oleh atasannya.

"Ya pasti dari atasannya, kan struktural," katanya.

Kesaksian baru ini telah disampaikan kepada penyidik Bareskrim Polri saat menjalani pemeriksaan ulang pada Sabtu 6 Agustus 2022 kemarin. Pemeriksaan ulang dilakukan lantaran Richard Eliezer selama ini merasa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Bharada E dipaksa mengikuti skenario yang telah disusun pimpinannya. Namun Deolipa enggan mengungkap sosok atasan Bharada E yang dimaksud.

"Katanya, ya ini perintah, ikutilah skenario yang ada ini supaya kamu (Bharada E) aman, kami pimpinan, ya kamu laksanakan perintah dari kami," ujar Deolipa seperti dikutip dari video pada Senin (8/8/2022).

Deolipa mengungkapkan, berita acara pemeriksaan (BAP) yang pertama kalinya adalah sebuah kebohongan dari Bharada E. Sehingga pada pemeriksaan ulang Sabtu kemarin, kliennya mengatakan sejujurnya bahwa selama ini dirinya mendapatkan tekanan.

"Cerita terdahulu yang di BAP adalah tidak benar, karena dulu ada tekanan dari pihak-pihak luar," katanya.

Menurut dia, ada pihak-pihak yang sengaja ingin kebenaran misteri kematian Brigadir J ini tidak terungkap. Sehingga Bharada E dipaksa untuk mengikuti skenario yang telah disiapkan oknum terkait kasus ini.

"Tekanan ini kadang-kadang dari dia (Bharada E) harus bicara apa, harus bertindak apa, ya ada tekanan dari orang-orang yang memang upaya kasus ini menjadi kabur dan dia menjadi kambing hitam," tutur Deolipa.

Kini Bharada E tidak ingin lagi menjadi kambing hitam dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu terkait kasus kematian Brigadir J. Akhirnya dia mau membuka semua peristiwa ini berdasarkan fakta yang sebenarnya.

"Kemarin-kemarin dia ngikutin perintah, tapi kemudian setelah dia sadar dan merenung dia berubah menjadi orang yang bebas bicara apa adanya," ungkapnya.

Deolipa mengungkapkan, Bharada E mengaku merasa lega setelah menjalani pemeriksaan dan membuat berita acara pemeriksaan (BAP) ulang kepada penyidik Bareskrim Polri pada Sabtu kemarin.

Kata Deolipa, saat ini kliennya hanya bisa berserah kepada Tuhan untuk memohon perlindungan terkait kasus yang sedang dihadapinya.

"Sudah sangat lega, apalagi Bharada E sudah berserah diri sudah merasa plong, baik atau buruk dalam lindungan Tuhan," katanya.

Deolipa berujar, Bharada E juga meminta maaf kepada keluarga korban dan institusi Polri, karena telah membuat tindakan yang salah. Namun dia kembali menegaskan bahwa tindakan menembak Brigadir J atas perintah pemimpinnya.

"Satu hal terjadinya keterlibatan dia (Bharada E) itu tanpa motif, ada pembunuhan itu karena atas perintah," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Skenario Kematian Brigadir J Sudah Terbalik

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyebut, skenario kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yoshua Hutabarat perlahan sudah mulai terungkap. Hal ini berkat arahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan publik yang ikut mengawasi.

"Berkat Anda semua, berkat NGO, berkat kesungguhan Polri, berkat arahan Presiden yang tegas jadi yang dulu semua diskenariokan sudah terbalik," kata Mahfud saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (8/8/2022).

Mahfud berujar, kasus kematian Brigadir J awalnya disebut karena ada peristiwa adu tembak. Tetapi, yang mulai terang saat ini adalah pembunuhan.

"Dulu kan katanya tembak-menembak, sekarang enggak ada tembak-menembak, yang ada sekarang pembunuhan, sesudah dilacak lagi siapa aja yang terlibat mulai menyentuh banyak orang," ucapnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitsi (MK) ini menyatakan, Timsus Polri telah menetapkan tiga tersangka terkait kasus kematian Brigadir J. Menurut dia, jumlah tersangka dalam kasus ini masih bisa bertambah.

"Ya memang harus hati-hati. Kan sudah tersangka, kan sudah tiga. Tiga itu bisa berkembang," kata Mahfud .

Namun sejauh ini Polri baru mengumumkan dua tersangka kepada publik yakni, Bharada E atau Richard Eliezer selaku sopir Putri Candrawathi dan Brigadir RR yang merupakan ajudan istri Ferdy Sambo tersebut.

Dalam kasus ini, Bharada E dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan Juncto 55 dan 56 KUHP. Sedangkan, Brigadir RR dipersangkakan dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

"Nah, itu nanti akan menjangkau ke yang lebih jelas lagi perannya apakah aktor intelektual atau eksekutor gitu dan perkembangannya sebenarnya cepat untuk kasus seperti itu," ucap Mahfud.

Mahfud yang juga Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini menilai, langkah Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dalam mengungkap kasus ini sudah sesuai prosedur dan kecepatannya cukup baik. Dia menyebut kasus kematian Brigadir J saat ini sudah mulai terang benderang.

"Menurut saya track-nya sudah mulai terang. Mari kita dukung sama-sama karena menurut saya sesuatu itu menjadi terang kalau medianya tetap mengawal, lalu NGO tetap mengawal, lalu pemerintah dapat feedback yang bagus dan itu yang sekarang terjadi," katanya menandaskan.

4 dari 4 halaman

Mengenal Justice Collaborator

Istilah justice collaborator atau JC belakangan ini mencuat ke permukaan menyusul perkembangan kasus kematian Brigadir J di rumah Irjen Ferdy Sambo pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu. Bharada E yang telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan dalam kasus ini, mengajukan diri sebagai justice collaborator.

Lantas apa itu justice collaborator?

Dikutip dari berbagai sumber, justice collaborator diartikan sebagai pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus pidana yang berkaitan dengannya.

Namun demikian, pelaku tindak pidana tidak begitu saja bisa menjadi justice collaborator. Ada sejumlah syarat dan ketentuan yang harus dilakukan untuk menjadi JC atau saksi pelaku yang bekerja sama.

Seorang pelaku dapat dinyatakan sebagai JC jika memiliki keterangan dan bukti yang sangat signifikan untuk mengungkap tindak pidana, bukan pelaku utama, serta mengungkap pelaku-pelaku yang memiliki peran lebih besar.

Lantas kapan status justice collaboration diberikan?

Jika didasarkan pada UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, aparat penegak hukum dapat memberikan status tersebut sejak proses penyidikan. Demikian dilansir dari laman resmi antikorupsi.org.

Meski ada sejumlah pandangan yang menghendak status JC diberikan setelah calon JC menyampaikan keterangannya sebagai saksi di persidangan. Pendapat ini didasarkan pada kekhawatiran bahwa calon JC tidak mengungkap keterangan yang benar ketika bersaksi di persidangan.

Pada saat saksi pelaku menjadi justice collaborator, perlindungan hukum akan diberikan karena dinilai rentan mengalami ancaman atau risiko yang mengarah pada tindak pidana lainnya.

Dasar Hukum

Di Indonesia, dasar hukum justice collaborator telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Di antaranya sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 yang meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transansional yang Terorganisasi;

3. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011;

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; dan 

5. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK.

Pelaku justice collaborator akan memperoleh perlindungan hukum, namun tidak dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti bersalah. Namun kesaksian pelaku bisa menjadi pertimbangan bagi majelis hakim untuk meringankan pidananya, berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.