Sukses

Soal Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di RKUHP, LBH Jakarta: Over Kriminalisasi dan Pasal Kolonial

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam draf final RKUHP mempersempit makna kritik dan ruang publik untuk menyampaikan pendapat.

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam draf final RKUHP mempersempit makna kritik dan ruang publik untuk menyampaikan pendapat.

Pengacara Publik LBH Jakarta Citra Referandum menilai seharusnya, ketika masyarakat menyampaikan kritik, pemerintah mendengarkan lalu dipertimbangkan pendapatnya.

"Kalau kemudian kritiknya dibatasin seperti itu, artinya kemudian pemerintah tidak mau menjalankan tugasnya sebagai pengurus negara, sebagai pemangku kewajiban untuk memenuhi HAM," kata Citra, saat dihubungi, Jumat (8/7/2022).

Lebih lanjut, Citra menjelaskan, bahwa kritik terhadap kinerja atau kebijakan pemerintah seharusnya tidak dibatasi. Sebab hal itu dijamin juga oleh pasal 28E ayat 3 UUD 1945.

Ia juga menilai pasal tersebut cenderung diskriminatif. Pasalnya, tidak semua warga bisa membuat kertas kebijakan sebagai tawaran solusi ketika mengkritik.

"Kritik itu seharusnya dimaknai bukan hanya bagi orang orang yang punya privillage memahami isi regulasi, struktur sistematika regulasi, orang orang yang kemudian bisa membuat kertas kebijakan," paparnya.

Terlebih, permasalahan atau keluhan banyak terjadi pada lingkup masyarakat dengan ekonomi rendah. Dengan begitu, menurutnya normal jika banyak dari mereka yang melontarkan kritik.

Citra juga berpandangan bahwa pasal tersebut bersifat over kriminalisasi. Menurut dia, tidak seharusnya orang yang melontarkan kritik bisa dipidana.

Pasal tersebut juga sudah tidak relevan lagi. Sebab, pasal penghinaan itu merupakan peninggalan kolonial Belanda.

Dalam konteks itu, pasal penghinaan ditujukan kepada raja atau ratu, bukan presiden. Karena, sistem pemerintahan Belanda adalah monarki.

"Over kriminalisasi dan juga pasal kolonial itu dibuat untuk melindungi ratu belanda sebetulnya konteksnya monarki," imbuhnya.

Sebelumnya diberitakan, Pemerintah menambahkan penjelasan mengenai kritik dalam pasal pidana penghinaan presiden dan wakil presiden dalam draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Definisi kritik ditambahkan dalam bagian penjelasan Pasal 218 Ayat 2 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menuturkan, kritik yang dimaksud adalah untuk kepentingan umum.

"Jadi, kami menambahkan di penjelasan mengenai kritik yang dimaksud untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan dengan hak berekspresi dan berdemokrasi," ujar Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 6 Juli 2022.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kritik untuk Kepentingan Umum

Pemerintah mendefinisikan apa yang dimaksud kritik untuk kepentingan umum itu. Misalnya kritik atau pendapat berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden. Harus disertai dengan pertimbangan baik buruk kebijakannya.

"Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wapres yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut," kata Eddy menjelaskan definisi.

Kritik bagi pemerintah sebisa mungkin konstruktif dan memberikan alternatif solusi, atau kritik itu harus dengan cara objektif.

"Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan atau dilakukan dengan cara yang objektif," jelas Eddy.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.