Sukses

Nasib Tenaga Honorer yang Tak Pernah Menentu

Tenaga honorer akan dihapus pada 2023. Pemerintah tetap akan memberdayakan pegawai seperti pengemudi, tenaga kebersihan, dan satuan pengamanan melalui utsourcing.

Liputan6.com, Jakarta - Harapan Sahirudin Anto jadi pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara kini tak menentu lantaran adanya regulasi baru dari pemerintah pusat mengenai tenaga honorer. Pasalnya, tenaga honorer akan dihapuskan, tahun depan.

Hal ini tercantum dalam Surat edaran Menteri PANRB bernomor B/185/M.SM.02.03/2022, perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam aturan itu disebutkan, tenaga honorer di pemerintahan akan dihapus pada 2023. Pemerintah tetap akan memberdayakan pegawai seperti pengemudi, tenaga kebersihan, dan satuan pengamanan melalui tenaga alih daya (outsourcing), dengan gaji tak kurang dari Upah Minimum Regional (UMR).

Sahirudin, merupakan satu di antara pegawai honorer di Indonesia. Dia seorang pekerja tenaga honorer di salah satu instansi kantor kecamatan.

Pekerjaan sehari-hari Sahirudin sebagai tenaga teknis administrasi yang kesehariannya melakukan pekerjaan sebagai operator KTP elektronik, operator subsidi listrik, dan tenaga registrasi.

Kekecewaan pun dia rasakan bersama ratusan pegawai honor tingkat dua. Padahal, pengabdian Sahirudin tak sebentar. Bahkan sudah lebih di atas 10 tahun. "Selama 17 tahun, yaitu sepertiga dari usia sudah saya gunakan untuk mengabdi," kata Sahirudin kepada Liputan6.com.

Sambil sesekali tersenyum Sahirudin menceritakan pengabdiannya selama 17 tahun sebagai honorer kecamatan. Dia pertama kali bekerja pada tahun 2005. Gaji yang diterimanya pun jauh disebut dengan layak, yaitu Rp 21 ribu. Namun dia tak pernah mempersoalkan itu.

Nyatanya kata dia, bersama istri dan anaknya masih bisa hidup dengan cukup. Saat itu gaji tersebut akan dia nikmati setiap tiga bulan sekali. "Kalau gaji bukan dibawah (UMR), tapi di bawah garis keadilan dan kemanusiaan. Tapi masih bisa hidup juga alhamdulillah," ucapnya.

Pekerjaan itu dilakoninya dengan harapan dapat menjadi bagian dari pegawai negeri sipil (PNS). Gaji yang diterima saat ini pun sudah mengalami perbaikan meskipun masih di bawah UMR. Tahun 2018, kata dia, telah ditetapkan perubahan kompensasi dari pemerintah.

Yaitu dari sebesar Rp 250ribu sekarang mengalami peningkatan menjadi Rp 500ribu. Sahirudin menyatakan peningkatan itu menjadi suatu hal yang patut disyukuri.

"Buat kami itu sudah sangat luar biasa. Bagi pejabat mungkin Rp 500.000 itu hanya uang jajan buat anak-anak ya, tapi bagi kami itu sudah biaya hidup selama sebulan," ujar dia.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Perjuangan Tenaga Honorer

Selain menjadi pegawai honorer, Sahirudin juga berperan ketua umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) untuk memperjuangkan hak para tenaga honorer. Saat tahun 2020 dia juga membawa rekomendasi perjuangan para tenaga honorer kepada Bupati Buton.

Penyerahan itu dimaksudkan agar diserahkan kepada Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 tahun 2018 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil. Menurut dia, setiap instansi pemerintah daerah dalam membuat pemetaan jabatan harus berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja yang sudah ditandatangani oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

"Saya berangkat ke Kemen PAN hanya untuk memberitahukan kepada pemerintah pusat bahwa jabatan yang diatur dalam Perpres 38 tidak ada di dalam instansi pemerintah daerah karena semuanya masih struktural," papar dia.

Sahirudin juga menyebut pengorbanan untuk didengar pemerintah pusat pun dilakukan dengan menggunakan gaji honorernya. Karena hal itu, dia berharap perjuangan tersebut tidak sia-sia.

"Bahkan honor kamipun itu digunakan untuk berjuang, pulang pergi ke Jakarta. Jadi harapannya menggunakan mata batinnya untuk melihat pengabdian kami. Sehingga apa yang kami harapkan dapat diwujudkan oleh pihak pemerintah. Dalam hal ini yang terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia," Sahirudin menandaskan.

Masih Dibutuhkan

Sementara itu, ratusan honorer di Kota Serang, Banten mendatangi kantor Wali Kota Serang, Senin (13/6/2022). Kedatangan mereka untuk meminta kejelasan kepada Pemda terkait keputusan pemerintah pusat dalam penghapusan tenaga honorer pada November 2023.

Wali Kota Serang Syafrudin menolak adanya keputusan dari pemerintah pusat. Menurut dia, saat ini pihaknya masih membutuhkan tenaga honorer untuk melayani masyarakat.

"Saya sangat setuju, Pemda sangat setuju bahwa tenaga non PNS ini tidak diberhentikan, karena kita juga masih butuh tenaga honorer," kata Syafrudin, Selasa (14/6/2022).

Selain di Serang, penyampaian aspirasi juga dilakukan oleh para pegawai honorer di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kebijakan pemerintah pusat dinilai merugikan untuk mereka para honorer tenaga kesehatan yang berjuang saat pandemi Covid-19 melanda dunia.

"Katanya kami garda terdepan, kok kini jadi terdepak," ujar Ketua Forum Komunikasi Tenaga Honorer Kesehatan dan Non Kesehatan (FKHN) Garut, Emul Mulyana, Jumat (24/6/2022).

Menurut Emul, harapan menjadi Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tinggal angan-angan seiring munculnya kebijakan rencana penghapusan itu. "Kami melihat banyak tetangga sebelah seperti guru direkrut menjadi PPPK, masa mereka bisa seperti itu kok kami tidak bisa," dia menjelaskan.

Cerita lain sempat dirasakan salah seorang guru di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Firda akhirnya diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada Juni 2022 setelah sembilan tahun menjadi guru honorer.

Dia mengawali kariernya sebagai guru SDN di salah satu kecamatan dekat rumahnya. Beberapa kali dia mencoba ikut tes CPNS selama tiga kali dan gagal. Bahkan dia sempat hampir menyerah dan tidak mengharapkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).  Namun setelah dua kali mengikuti tes PPPK dia dinyatakan lolos.

"Kalau PPPK harus masuk dapodik (data pendidik online) dan dapodik itu setidaknya tercatat sebagai guru honorer selama tiga tahun," kata Firda kepada Liputan6.com.

Selama sembilan tahun mengabdi, upah yang diterima Firda jauh dari UMR yang ditetapkan Pemda setempat. Dan saat ini kontrak PPPK nya berlaku selama 2,5 tahun dan bisa diperpanjang.

"Dulu gaji Rp 400 ribu sebulan dan kontrak PPPK setiap kabupaten berbeda-beda. Kalau sekarang gaji bersih lebih dari UMR," jelas dia.

 

3 dari 5 halaman

Harapan Tenaga Honorer K2

Sahirudin, dalam kapasitasnya sebagai ketua PHK21, meminta pemerintah dapat mengembalikan marwah para honorer kategori dua kepada aturan yang sebelumnya. Yakni Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Menurut dia, honorer kategori dua terbentuk dari aturan pemerintah. Sahirudin menyatakan pengangkatan ratusan ribu honorer tak akan memberatkan keuangan negara.

"Saya yakin jika sebanyak 400 ribu pegawai honorer diangkat menjadi PNS, negara tidak akan bangkrut. Seharusnya pemerintah menanamkan pola pikir bahwa pengabdian dari kami itu sudah minimal diangkat," kata Sahirudin kepada Liputan6.com.

Udin, panggilan akrab Sahirudin mengaku keberatan dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah pada 31 Mei 2022 tersebut. Karena itu dia meminta agar pemerintah pusat dapat mendengarkan dan melihat pengabdian yang telah diemban oleh para pegawai honorer.

Beberapa pegawai honorer, kata dia, telah mengabdikan dirinya beberapa tahun bahkan setengah hidupnya. "Pak Menteri tolong jangan sumbu dulu, lihat rekan-rekan kami yang berada di jalan raya itu membersihkan kotoran manusia. Lihat rekan-rekan kami yang setiap saat berlawanan dengan masyarakat berurusan dengan kegiatan masyarakat," papar dia.

"Lihat para Satpol PP yang gagah berani dan tanggung jawab melawan melawan. Kami mendengar keluhannya, bahkan ada yang dilempar ketika melaksanakan tugas itu secara tanggung jawab," tambahnya.

Dengan adanya regulasi terbaru, Sahirudin menganggap pemerintah telah gagal dalam penataan sistem manajemen. Selain itu dia juga menyatakan kebijakan pemerintah tidak cocok dilakukan.

"Karena jika kita berbicara tentang PP Nomor 49 Tahun 2018 maka kita berbicara tentang manajemen PPPK. Kalau kita berbicara tentang manajemen PPPK jelas di pasal 2 itu jabatan pimpinan tinggi dan jabatan fungsional. Berdasarkan hal tersebut kami berpikir, kami pekerja honorer akan diletakkan dimana? Untuk kami yang berkerja di instansi pemerintah daerah," jelas dia.

 

4 dari 5 halaman

Jumlah PPPK yang Dibutuhkan di Bidang Pendidikan

Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nunuk Suryani menyatakan adanya perubahan mekanisme seleksi guru dalam kategori Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada tahun 2022.

Perubahan tersebut berdasarkan hasil rapat bersama di DPR. Yaitu Pemda membuka formasi berdasarkan kompetensi, lalu formasi melekat pada guru di sekolahnya, dan dapat diikuti oleh guru yang saat ini aktif di Dapodik.

Kemudian nantinya tidak terjadi mutasi, rotasi atau pergeseran. Kompetensi mempertimbangkan dimensi yaitu pedagogik, profesional, sosial, serta kepribadian. Lalu nantinya akan menggunakan mekanisme penetapan dan uji kesesuaian atau observasi.

Beberapa waktu lalu, Menteri Kemendikbudristek Nadiem Makarim sempat menyampaikan bahwa total formasi guru ASN PPPK yang dibutuhkan sebanyak 1.002.616 orang. Kemudian berdasarkan hasil seleksi pada tahun 2021 Pemda mengajukan sebanyak 506.252 orang. Saat itu tingkat pelamar sebanyak 925.637 orang.

Saat itu hanya 293.680 orang yang lulus dan mendapatkan afirmasi. Kemudian 193.954 lulus tanpa afirmasi. Dan sisanya yaitu 437.823 guru tidak lulus. Sedangkan nantinya direncanakan sisanya akan dilakukan pada tahun 2022.

"Tahun 2021 karena seharusnya ada seleksi 1,2,3 dan 3 belum dilaksanakan sampai sekarang," kata Nunuk dalam diskusi online bersama Ombudsman beberapa waktu lalu.

Lanjut dia, pada tahun 2022 direncanakan total yang diajukan oleh Pemda sebanyak 343.631 guru. Sedangkan total formasi yang dibutuhkan sebanyak 970.410 orang termasuk guru agama.

"Kalau 1 juta itu sudah terselesaikan tahun ini, kita juga sedang hati kalau guru honorer tidak ada di sekolah itu menjadi satu kebijakan," jelas Nunuk.

Sementara itu, pengamat pendidikan Doni Koesoema meminta agar pemerintah dapat fokus untuk menyelesaikan keberadaan guru honorer melalui mekanisme PPPK. Sebab ketika jumlah tersebut terpenuhi permasalahan guru honorer terselesaikan dan tidak perlu adanya pengangkatan kembali.

Kendati begitu dia mengaku tidak yakin jumlah 1 juta guru terpenuhi secepatnya jika belajar dari proses pendaftaran tahun sebelumnya. "Saya sih tidak yakin dengan mekanisme yang sekarang. Kecuali ada perubahan model seleksi atau proses seleksi yg mempermudah asesmen guru honorer saat ini," jelas dia.

 

5 dari 5 halaman

Evaluasi dan Permintaan Penundaan Penghapusan Tenaga Honorer

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menyebut kebijakan mengenai penghapusan tenaga honorer akan berdampak pada layanan publik di daerah. Menurut dia, tenaga honorer menjadi tulang punggung untuk layanan publik di daerah.

"Kalau 2023 pekerja honorer dihapuskan, akan menyebabkan tingkat pengangguran makin tinggi, karena sesuai dengan surat edaran tersebut harusnya pemerintah mengangkat seluruh tenaga honorer menjadi ASN, terutama mereka yang telah mengabdi sejak 2015 (ke bawah)," kata Trubus kepada Liputan6.com.

Tenaga Honorer Kategori (THK2) menurut Trubus harus dilakukan pengangkatan sebelum adanya penghapusan. Bahkan waktu satu tahun ke depan dinilai sangat terlalu cepat dan belum ada skema yang jelas dari pemerintah pusat. Karena itu dia meminta adanya penundaan atau diuji kembali untuk rencana penghapusan tenaga honorer.

"Pemerintah belum melakukan persiapan, khususnya pihak pemerintah daerah. Pemerintah tidak siap untuk menggantikan tenaga honorer ini. Jadi, bagaimana solusi bagi mereka-mereka yang menjadi kuli honorer jika nanti tiba-tiba diberhentikan. Bagaimana pun juga mereka (TH) ini sudah berjasa besar membantu pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, di kementrian lembaga maupun di dinas-dinas di daerah," papar dia.

Trubus menyebut terdapat beberapa persoalan yang harus dibereskan terlebih dahulu oleh pemerintah pusat sebelum pelaksanaan penghapusan tersebut. Sebab untuk diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) para tenaga honorer terlebih dahulu mengikuti tes CPNS.

Tes tersebut kata Trubus masih diperlukan evaluasi. Sebab banyak para tenaga honorer yang tidak lolos dikarenakan passing grade yang terlalu tinggi. Beberapa tenaga honorer di daerah banyak yang berusia lanjut dan kesulitan untuk mencapai standar penilaian yang ditetapkan.

"Sehingga tidak bisa mengikuti dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tes CPNS. Jadi, mereka justru kalah dengan para CPNS dari kalangan non tenaga honorer yang berhasil lulus tes karena kecerdasannya. Akan tetapi, bagi tenaga honorer yang sudah bekerja lama malah kalah (tidak lulus) seperti kemarin (2021) banyak yang tidak diterima," ujar dia.

 

 

Prioritas Tenaga Honorer 10 Tahun

Selain itu, Trubus juga menyarankan agar pemerintah dapat memprioritaskan tenaga honorer dengan minimal pengabdian minimal 10 tahun. Yaitu minimal dalam kategori Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bersifat kontrak. Hal itu dapat memutus hubungan kerja ketika pegawai tidak bekerja secara profesional.

PPPK dinilai lebih memberikan rasa keadilan kepada para pegawai honorer yang telah mengabdi lama. Kemudian Trubus juga menilai outsourcing yang ditawarkan bukanlah bentuk solusi terbaik. Karena hal itu dianggap memberatkan sejumlah Pemerintah Daerah.

Outsourcing lanjut Trubus bukan bentuk solusi. Untuk para tenaga honorer yang berusia lanjut akan kesulitan diterima dan dipekerjakan. "Dengan adanya outsourcing jadi membebani pemda juga, karena anggarannya jadi membengkak daripada menggunakan tenaga honorer. Kalau tenaga honorer kan hanya gaji bulanan dan BPJS. Kalau outsourcing ini ya membutuhkan gaji, bpjs, dan juga otomatis fee/upah diberikan sebanyak 10 persen," ujar dia.

Karena hal itu dia meminta agar pemerintah pusat dapat mematangkan dari segala aspek. Tak semua Pemda di Indonesia masuk dalam kategori mapan. Beberapa diantaranya merupakan baru dari pemekaran wilayah sebelumnya.

"Jadi kebijakan ini selain tidak tepat, terburu-buru, juga dipaksakan di dalam situasi yang tidak tepat, karena pemerintah dan Pemda sendiri masih kesulitan dalam memberikan lapangan pekerjaan. Sebenarnya yang penting adalah membenahi sistem tenaga honorer terlebih dahulu. Karena memang terdapat banyak TH yang gajinya tidak dibayarkan atau diberikan gaji, namun tidak sesuai UMR," Trubus menandaskan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.