Sukses

5 Faktor Musim Hujan Masih Berlanjut di Indonesia

Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRITA BRIN) menyebutkan musim hujan berpotensi masih terjadi di Indonesia pada April 2022.

Liputan6.com, Jakarta Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRITA BRIN) menyebutkan musim hujan berpotensi masih terjadi di Indonesia pada April 2022.

Peneliti Klimatologi PRITA BRIN Erma Yulihastin menuturkan musim hujan yang seharusnya berakhir pada Maret dan berubah menjadi periode transisi menuju musim kemarau selama Maret–Mei. Ternyata, kata dia, hal itu tidak terjadi sehingga musim hujan berpotensi berlanjut atau mengalami perpanjangan.

"Ini dibuktikan berdasarkan data satelit hujan Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) yang menunjukkan akumulasi rata-rata intensitas curah hujan selama 10 harian atau dasarian yang masih berkisar antara 100-300 mm selama satu bulan terakhir di sebagian besar wilayah Indonesia," ujar Erma kepada Liputan6.com, Bandung, Minggu, 17 April 2022.

Menurut dia, kondisi basah di selatan Indonesia sejak akhir Maret hingga pertengahan April bahkan terus terjadi meskipun siklon tropis Malakas yang terbentuk di dekat Filiphina dan telah berdampak pada kondisi minim awan atau clear sky di barat Indonesia.

Hal ini menunjukkan aktivitas konvektif skala meso atau luas yang berpotensi menimbulkan hujan persisten tidak terjadi di barat Indonesia.

"Meskipun demikian, hujan di sebagian besar kawasan barat Indonesia di antaranya di Jawa, Sumatra dan Kalimantan tetap terbentuk hampir setiap hari berupa hujan diurnal siang, sore, atau malam hari di atas daratan," kata Erma.

Hujan harian atau diurnal ini lebih dipengaruhi oleh penguatan sirkulasi diurnal angin darat-laut atau angin gunung-lembah.

Indikasi hujan diurnal yang dibangkitkan oleh angin laut ini dapat pula diketahui dari pembentukan awan-awan cumulus tunggal yang terbentuk pada pagi menjelang siang hari sekitar pukul 09.00 WIB.

"Seiring dengan pemanasan radiasi matahari yang optimal pada siang hari, awan-awan tersebut pun tumbuh meninggi dan menyatu dengan awan-awan stratus di lapisan atasnya yang telah terbentuk merata di atmosfer pada hari-hari sebelumnya," ungkap Erma.

Erma menjelaskan percampuran antara awan cumulus dan strato-cumulus yang pada sore hari sebagian awan tersebut lekas berubah menjadi awan-awan hujan rendah yang dinamakan dengan awan nimbo-stratus.

Awan nimbostratus berwarna keabuan biasanya membentuk lapisan di bagian atas sedangkan bagian bawah awan tersebut masih berwarna putih cerah yang menandakan pertumbuhan awan rendah cumulus masih terus terjadi di bagian yang lebih rendah.

"Di sisi lain, angin musim kemarau sudah mulai terbentuk khususnya di tenggara Indonesia meskipun tidak disertai dengan pengurangan intensitas hujan untuk sebagian besar wilayah monsunal Indonesia," tukas Erma.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bukan Lagi soal Angin Monsun

Erma mengatakan ini membuktikan bahwa angin monsun tidak lagi menjadi penentu utama sifat musim hujan atau kemarau di Indonesia, setidaknya telah dibuktikan selama beberapa tahun belakangan ini.

Terdapat variasi di atmosfer dengan skala intra-musiman (sub-seasonal) dan antar-tahunan (inter-annulal) yang lebih dominan dalam mengontrol musim di Indonesia akhir-akhir ini.

"Perpanjangan musim hujan atau kecenderungan musim kemarau basah yang dapat terjadi di sebagian Pulau Jawa bagian tengah dan selatan pada tahun ini disebabkan pertama oleh peluang terjadinya perpanjangan La Nina hingga Mei 2022 bahkan mungkin dapat terus berlanjut berdasarkan data prediksi dari berbagai model global," ucap Erma soal penyebab pertama.

La Nina yang sudah dimulai sejak Juni 2020 memiliki potensi terus berlanjut hingga 2022.

Jika kondisi ini terjadi, maka selama tiga tahun berturut-turut wilayah Indonesia akan mengalami La Nina sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2010-2012 yang tercatat sebagai kemarau basah terpanjang dengan dampak kejadian bencana hidrometeorologi tertinggi di Indonesia selama dua dekade terakhir berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

"Faktor kedua adalah potensi terbentuknya fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif pada periode kemarau tahun ini yang dapat memengaruhi sifat basah khususnya untuk wilayah di barat Indonesia," lanjut Erma.

Potensi IOD negatif ini dapat mengakibatkan berlanjutnya sifat basah selama periode kemarau bahkan juga selama periode sesudahnya.

Peluang terbentuknya IOD negatif ini ditunjukkan oleh model dinamik milik badan meteorologi Australia.

"Ketiga pembentukan vorteks di Samudra Hindia selatan ekuator bagian tenggara dekat dengan sektor Sumatra dan Jawa yang memiliki kecenderungan bersifat persisten," sebut Erma.

Vorteks di selatan Samudra Hindia ini sekaligus menandakan pembentukan wilayah konvergensi di barat Indonesia sehingga memicu pertumbuhan awan pada skala lokal dan harian sehingga proses pembentukan hujan selama musim kemarau masih dapat terus berlangsung.

 

3 dari 3 halaman

Faktor Keempat dan Kelima

Selain itu, karena vorteks yang terpelihara terus dapat berubah menjadi bibit siklon tropis maka kecenderungan pembentukan siklon tropis di Samudra Hindia selatan ekuator dapat terus terjadi sehingga menambah efek basah selama musim kemarau tahun ini.

"Keempat penghangatan suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia, khususnya di bagan tengah dan timur," jelas Erma.

Menghangatnya suhu permukaan laut ini telah berperan dalam menyediakan bahan bakar uap air berlimpah sehingga hujan harian yang dibangkitkan oleh angin darat-laut memiliki dukungan kelembapan yang memadai.

Faktor terakhir yaitu pergeseran 'kolam hangat' di wilayah Pasifik barat ekuator menuju ke arah barat sehingga saat ini yang menjadi pusat kelembapan dari 'kolam hangat' tersebut adalah wilayah Indonesia.

"Istilah 'kolam hangat' digunakan untuk menggambarkan pusat konveksi yang terjadi sepanjang tahun di sektor Indo-Pasifik meliputi wilayah barat Samudra Pasifik dan timur Indonesia," tutur Erma.

Pergeseran kolam hangat ke barat ini biasanya terjadi pada saat La Nina.

Meskipun demikian, terdapat indikasi pergeseran ke barat kali ini lebih karena terjadi anomali sirkulasi angin di lapisan atas (200 mb) yang berasosiasi pada aktivitas ekstra-tropis yang memengaruhi wilayah tropis melalui Samudra Pasifik.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.