Sukses

HEADLINE: RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Disahkan, Poin-Poin Pentingnya?

Setelah enam tahun diperjuangkan di DPR, akhirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan menjadi undang-undang.

Liputan6.com, Jakarta - Tok! Suasana ruang rapat Paripurna mendadak haru. Ketua DPR, Puan Maharani, menahan isak tangis sebelum tak kuasa meneteskan air matanya saat mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS menjadi Undang-Undang TPKS, Selasa 12 April 2022.

Bukan tanpa sebab, penantian panjang selama enam tahun di DPR dengan melalui berbagai perdebatan dan diskusi berbuah manis. Dengan disahkannya RUU TPKS, harapan ke depan adalah perundangan ini mampu mengakomodir hak-hak korban kekerasan seksual yang selama ini terlupakan. 

Ketua Panja RUU TPKS, Willy Aditya, menjelaskan poin-poin penting dari hadirnya undang-undang tersebut.

Pertama, UU tersebut berpihak dan berperspektif pada korban. Kedua, aparat penegak hukum memiliki payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada terhadap setiap jenis kasus kekerasan seksual.

“Ketiga, ini adalah kehadiran negara bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan terhadap korban kekerasan yang selama ini kita sebut dalam fenomena gunung es,” kata Willy kepada Liputan6.com, Selasa (12/4/2022).

“Negara hadir dalam bentuk, ketika restitusi tidak hadir, maka kemudian negara hadir dalam bentuk kompensasi. RUU ini juga memuat tentang victim trust fund atau dana bantuan korban. Ini adalah sebuah langkah maju bagaimana kita hadir dalam memberikan perlindungan kepada warga negara Indonesia,” tambahnya.

Politisi NasDem itu menilai, pengesahan RUU TPKS juga merupakan hadiah menjelang peringatan Hari Kartini dan bukti komitmen DPR menyelesaikan RUU yang telah mandek bertahun-tahun.

“Ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah undang-undang direalisasikan, dimenangkan, bagaimana komitmen politik yang besar dari anggota dewan, komitemen politik yang besar dari pemerintah, serta partisipasi publik yang sangat."

Willy mengingatkan UU TPKS adalah penantian banyak pihak, terutama para korban yang selama ini belum terlindungi.

“Ini penantian korban, penantian perempuan Indonesia, kaum disabilitas dan anak-anak Indonesia dari predator seksual yang selama ini bergentayangan,” kata dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Yang Baru dari UU TPKS

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menilai pengesahan UU TPKS ini punya arti penting untuk penguatan pengaturan tentang perlakuan dan tanggung jawab negara untuk mencegah, menangani kasus kekerasan seksual dan memulihkan korban secara komprehensif.

UU TPKS ini memiliki 93 Pasal dan 12 Bab. Menjangkau materi mengenai: 1) Ketentuan Umum, 2) Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual, 3)Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, 4) Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan 5) Hak Korban, Keluarga Korban dan Saksi 6) Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di Pusat dan Daerah, 7) Pencegahan, Koordinasi dan Pemantauan, 8) Partisipasi Masyarakat dan Keluarga, 9) Pendanaan, 10) Kerja sama internasional, 11) Ketentuan Peralihan, 12) Ketentuan Penutup

"UU ini penting karena menekankan asas pengaturan tindak pidana kekerasan seksual berdasar pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (Pasal 2 UU TPKS), serta tujuan utama pengaturan kekerasan seksual yang berorientasi pada korban (Pasal 3), yang mana hal ini tidak pernah dimuat dalam UU lain," kata Maidina kepada Liputan6.com, Selasa (12/4/2022).

Menurut dia, dalam bahasan tentang tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 4-14), UU TPKS menjangkau seluruh ketentuan dalam UU lain yang berdimensi kekerasan seksual di Indonesia, yang mana menjadi subjek dari UU ini.

"Hal ini merupakan kebaruan yang sangat patut diapresiasi," tambahnya.

Sebelum UU ini, pengaturan soal kekerasan seksual terpisah-pisah dalam beberapa UU, misalnya KUHP, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO) dan UU Pornografi, yang mengatur hukum acara dan hak korban namun bergantung pada pasal yang digunakan dalam UU tersebut.

Ada pula peraturan yang tidak mengakomodasi hak korban dan hukum acara yang berorientasi pada korban, misalnya pemaknaan perkosaan dan perbuatan cabul dalam KUHP yang menyulitkan proses pembuktian.

"UU TPKS yang disahkan mewadahi semua bentuk kekerasan seksual, yang menjamin hak korban dan hukum acara secara padu dalam UU ini," ucap Maidina.

Secara substansi UU TPKS mengatur hak yang jauh lebih komprehensif, menjangkau seluruh aspek yang dibutuhkan mulai dari hak prosedural dalam penanganan, hak perlindungan yang menjamin perlakuan aparat penegak hukum yang tidak merendahkan korban ataupun menyalahkan korban, dan hak pemulihan dalam bentuk rehabilitasi medis, mental, sosial dan masih banyak lagi.

"Keberadaan UU TPKS ini penting, untuk itu pekerjaan rumah selanjutnya adalah mengawal implementasi UU ini agar dapat juga bermanfaat bagi korban sebagaimana rumusannya," jelasnya.

3 dari 5 halaman

Terobosan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menilai ada beberapa terobosan dalam RUU TPKS, antara lain:

1. Pengualifikasian jenis tindak pidana seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya,

2. Pengaturan hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi,

3. Pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban

4. Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.

“Hadirnya Undang-Undang ini merupakan wujud nyata kehadiran Negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual. Inilah semangat dan roh perjuangan kita bersama, antara DPR RI, Pemerintah, dan Masyarakat Sipil, yang perlu terus kita ingat agar Undang-Undang ini nantinya memberikan manfaat ketika diimplementasikan, khususnya bagi korban kekerasan seksual,” ujar Bintang dalam keterangan tertulis, Selasa (12/4/2022).

Bintang menuturkan, pemerintah telah melakukan rapat-rapat kerja secara intensif sejak akhir Januari hingga 11 Februari 2022 yang dikoordinasikan oleh Menteri PPPA sebagai leading sector, bersama dengan Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM, selaku wakil Pemerintah, baik bersama-sama maupun sendiri, dalam pembahasan RUU TPKS dengan DPR RI.

Penyusunan pandangan Pemerintah dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) juga melibatkan Kementerian/Lembaga yang bidang tugasnya berkaitan dengan substansi yang diatur dalam RUU TPKS.

“Pembahasan RUU TPKS oleh Panitia Kerja Pemerintah dan Panitia Kerja DPR RI dimulai sejak 24 Maret hingga 6 April 2022. Dalam pembahasan yang berlangsung konstruktif, Pemerintah maupun DPR RI telah berupaya secara optimal menyusun Undang-Undang yang komprehensif, tidak multitafsir, dan tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Naskah RUU TPKS kemudian ditandatangani oleh Fraksi-Fraksi di DPR RI dan Pemerintah pada 6 April tersebut, yang selanjutnya diteruskan ke Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan."

Bintang menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya atas sinergi, kolaborasi, dan komitmen yang baik dari Pemerintah dan DPR RI, dan pendampingan yang luar biasa dari masyarakat sipil.

"Tentu kami harapkan nantinya UU ini dapat menjadi UU yang implementatif. Bicara soal implementatif, maka kita berbicara bagaimana nantinya kita dapat mengatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan, baik itu Peraturan Presiden, maupun Peraturan Pemerintah,” ucapnya.

4 dari 5 halaman

Implementasi

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut sukacita pengesahan UU TPKS. UU ini telah diperjuangkan Komnas Perempuan sejak sepuluh tahun lalu.

"Kita apresiasi pengesahan RUU ini, dari perjalanan yang panjang. Kita bisa bilang tiga generasi atau tiga periode kepemimpinan gerakan perempuan kalau kita hitung," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, kepada Liputan6.com, Selasa (12/4/2022).

UU TPKS mengadopsi enam elemen kunci payung hukum yang komprehensif untuk penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual. UU TPKS memuat terobosan hukum yaitu dengan mengatur: (1) Tindak Pidana Kekerasan Seksual; (2) Pemidanaan (sanksi dan tindakan); (3) Hukum Acara Khusus yang hambatan keadilan bagi korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan korban; (4) Penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu; dengan memperhatikan kerentanan khusus termasuk dan tidak terbatas pada orang dengan disabilitas. (5) Pencegahan, Peran serta masyarakat dan keluarga; (6) Pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Lembaga Nasional HAM dan masyarakat sipil.

Terkait pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, UU TPKS juga mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial.

Mula dari tindak pidana pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain pengaturan sembilan tindak pidana tersebut, UU TPKS mengakui tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lainnya, yang karenanya maka kedepannya hukum acara dan pemenuhan hak korban mengacu pada UU TPKS.

"Ini salah satu UU yang mutakhir. Pertama, dia memikirkan korban, mengatur bagaimana agar korban itu bisa langsung mengakses hukum. Kedua, ini juga UU yang memperhatikan soal pelayanan dan pencegahan. Itu tidak terlalu banyak atau malah tidak ada sebelumnya di UU yang lain."

Komnas Perempuan akan terus mendukung upaya implementasi UU TPKS dalam mendorong perumusan peraturan turunan. Hal ini sejalan dengan menjalankan mandat pemantauan dalam UU TPKS sebagai mekanisme yang integral untuk memastikan daya guna dari payung hukum yang telah lama dinanti oleh korban kekerasan seksual dan masyarakat luas ini.

"Yang penting nantinya adalah prakteknya atau implementasi UU di pihak kepolisian, kejaksaan, itu sebetulnya yang lebih penting untuk dipantau lebih jauh," ucap Mariana.

 

5 dari 5 halaman

Penolakan

Dari sembilan fraksi, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU TPKS dibawa ke tahap paripurna DPR RI. Menurut Anggota Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf, RUU TPKS tidak lengkap karena tidak memuat larangan perzinahan dan LGBT.

“RUU yang lengkap mengatur kesusilaan, dari perzinahan, penyimpangan seksual hingga kekerasan seksual adalah RUU KUHP. RUU TPKS bisa membahayakan yaitu permisif terhadap (penyimpangan) seksual,” kata Almuzzammil.

Dalam pandangan Fraksi PKS, dijelaskan salah satu poin penolakan PKS adalah agar RUU TPKS ini tidak lengkap mengatur jenis-jenis Tindak Pidana Kesusilaan yaitu segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Perzinaan, dan Penyimpangan Seksual. Sehingga pembahasan RUU TPKS ini tidak menggunakan satu paradigma yaitu Kekerasan Seksual saja.

“Fraksi PKS konsisten untuk memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap Perzinaan dan Penyimpangan Seksual sebagai salah satu bentuk Tindak Pidana Kesusilaan. Norma Perzinaan dalam KUHP bermakna sempit sehingga tidak bisa menjangkau perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya belum terikat perkawinan dengan pihak lain,” kata Almuzzammil

Fraksi PKS juga mengusulkan untuk memasukan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang (LGBT)/Penyimpangan Seksual dalam RUU TPKS, dengan mengakomodasi pemidanaan bagi pelaku penyimpangan seksual baik dilakukan terhadap anak maupun dewasa.

“Mengingat adanya kekosongan hukum perihal pengaturan LGBT di Indonesia, karena tidak ada satu pun hukum positif Indonesia yang secara eksplisit-normatif melarang perilaku LGBT, maka pembentuk undang-undang perlu segera mengaturnya,” kata dia.

Fraksi PKS menolak Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi Undang-undang dan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebelum didahului adanya pengesahan RKUHP dan/atau pembahasan RUU TPKS ini dilakukan bersamaan dengan pembahasan RKUHP.

“Jika RUU ini berdiri sendiri dan tanpa adanya perluasan perzinahan (Pasal 284 KUHP) dan Larangan LGBT (Pasal 292 KUHP), maka muatan RUU TPKS berisi norma sexual consent, artinya jika tidak ada kekerasan maka hubungan seksual dibolehkan,” kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.