Sukses

Ahmad Sahroni Ungkap Alasan Melaporkan Adam Deni hingga Merasa Diancam

Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi untuk terdakwa Adam Deni dalam perkara pelanggaran UU ITE.

Liputan6.com, Jakarta - Politikus Partai NasDem, Ahmad Sahroni dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan tindak pidana pelanggaran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas terdakwa Adam Deni Gearaka.

Sidang lanjutan kasus Adam Deni ini digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Rabu (6/4/2022).

Sahroni membeberkan ihwal alasannya melaporkan Adam Deni lantaran merasa keberatan atas dokumen pribadinya terkait pembelian sepeda yang disebarkan melalui akun Instagram @adamdenigrk, usai bertemu di Bali.

"Pada saat di Bali, saya sudah sampaikan kau (Adam) adalah anak pintar, silakan berkreasi untuk mengkritik apapun yang terjadi di depan mata. Kritik boleh, tapi jangan membungkam," kata Sahroni.

"Kenapa akhirnya saya akhirnya melaporkan yang bersangkutan? karena narasinya dalam konteks yang dia posting itu narasi yang bernada mengancam," sambungnya.

Sahroni yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI ini merasa jika unggahan Adam Deni bernada ancaman hingga ingin melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Alhasil, setelah 12 hari memantau unggahan Adam Deni yang dinilai selalu menyindir dirinya, akhirnya tepat pada hari ke-13, Ahmad Sahroni baru menemukan postingan yang bisa diperkarakan menyangkut dokumen peribadi.

"Saya diamkan, izin yang mulia. Selama 13 hari kalau hanya mengancam saja saya sudah pesankan kepada yang bersangkutan jangan lingkup lingkungan temannya, kalau mau melaporkan silakan laporkan jangan pakai ancaman," kata Bendahara Umum DPP Partai NasDem itu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dokumen Rahasia

Ancaman itu, kata Sahroni, berkaitan dengan data pribadi soal pembelian sepeda dari terdakwa Ni Made Dwita Anggari yang diunggah Adam Deni hendak melaporkan ke PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi) dan KPK. 

Padahal, Sahroni menegaskan dokumen itu masih bersifat rahasia karena belum masuk dalam daftar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). 

“Begini penasihat hukum, harta benda itu akan masuk LHKPN setahun setelahnya. Jika saya mendapat di tahun 2021, maka barang itu masuk ke LHKPN pada tahun 2022,” tuturnya.

“Nah makanya saya sebut dokumen rahasia karena barangnya belum sampai, kalau sudah sampai ya baru saya laporkan (LHKPN),” paparnya.

Bahkan, Sahroni mengaku terkait pembelian tersebut telah membayar lunas dua unit sepeda yang dibelinya dari terdakwa Ni Made Dwita Anggari.

“Sudah lunas tapi barangnya belum sampai. Itu terdakwa dua masih hidup, bisa ditanya,” ucap dia.

Diketahui Sahroni melakukan pembelian dua unit sepeda bermerk Firefly seharga Rp 450 juta, serta merk Bastion senilai Rp 378 juta dari Dwita. 

 

3 dari 3 halaman

Adam Deni Keberatan Dituduh Memeras

Menanggapi apa yang dipaparkan Sahroni, Adam Deni meminta bukti kepada politikus NasDem itu selaku pelapor, terkait bukti pemerasan. Namun hal itu langsung diluruskan majelis hakim karena perkara ini bukan berkaitan pemerasan.

"Saudara saksi korban yang terhormat, saudara Bapak Sahroni apakah Anda memegang bukti bahwa saya melakukan pemerasan kepada anda?" tanya Adam.

"Tidak perlu dijawab itu, karena kasus perkara itu tidak berkaitan dengan itu (pemerasan)," kata Hakim.

"Karena saya diberitakan dengan adanya postingan ini saya memeras, saya sakit hati yang mulia," timpal Adam.

Mendengar itu, Hakim lantas menegaskan jika kasus ini tak memperkarakan soal pemerasan. Sehingga hakim pun mengalihkan untuk sidang dilanjutkan dan tidak membahas soal pemerasan. 

Adapun dalam perkara ini, jaksa penuntut umum (JPU) menyebut dokumen pembelian sepeda itu yang dikirim oleh Dwita pada Adam untuk diunggah melalui sosial media. Keduanya lantas diduga telah menyebarkan data pribadi Sahroni tanpa izin.

Jaksa pun mendakwa Adam dan Dwita dengan Pasal 48 Ayat (3) jo Pasal 32 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.