Sukses

Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit TNI

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI berkaitan batas usia pensiun prajurit TNI.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) berkaitan batas usia pensiun TNI pada sidang Selasa 29 Maret 2022.

Gugatan yang dilayangkan sebelumnya oleh para pemohon Euis Kurniasih, Jerry Indrawan G, Hardiansyah, A. Ismail Irwan Marzuk, Bayu Widiyanto, dan Musono turut menyoal batas usia pensiun prajurit perwira paling tinggi 58 tahun serta bintara dan tamtama 53 tahun disamakan dengan ketentuan usia pensiun anggota Polri.

"Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan kutipan amar Putusan Nomor 62/PUU-XIX/2021 dikutip pada Rabu (30/3/2022).

Dalam pendapatnya, Mahkamah menyampaikan bahwa peran TNI sebagai alat pertahanan negara, bertugas menegakkan kedaulatan rakyat, menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan negara.

Seiring perkembangan global, ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara tidak hanya berasal dari militer, namun juga nonmiliter. Pertahanan negara memerlukan keterpaduan pertahanan militer dan pertahanan nonmiliter melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan pertahanan negara yang kuat.

"Sejalan dengan peran Polri sebagai alat negara juga berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, pelayanan kepada masyarakat sehingga Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pendapat Mahkamah.

Adapun menurut Mahkamah berkaitan dengan batas usia pensiun TNI yang menurut para Pemohon perlu disetarakan dengan batas usia pensiun Polri. Hal itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah.

"Pengubahan bisa dilakukan sesuai "dengan tuntutan kebutuhan perkembangan dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat melalui upaya legislative review," kata hakim dalam keterangannya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penegasan Peran

Namun demikian, dalam pandangan Mahkamah, meskipun penentuan batas usia pensiun TNI merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang- undang perlu adanya penegasan kembali peran yang dilakukan kedua alat negara tersebut memang berbeda.

Meski keduanya memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis serta merupakan kekuatan utama sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Seperti mengacu pada keterangan Presiden dan keterangan DPR juga dibenarkan Panglima TNI bahwa perubahan UU TNI termasuk mengenai batas usia pensiun TNI.

"Sebagaimana telah tercantum dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024," jelasnya.

Sehingga demi memberikan kepastian hukum, menurut Mahkamah, kiranya pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU TNI dengan memprioritaskan pembahasan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pasal 53 dan frasa ‘usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama’ dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak beralasan hukum untuk seluruhnya.

 

3 dari 4 halaman

Pendapat Berbeda Hakim

Terhadap putusan MK tersebut, Hakim Konstitusi Aswanto, Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Menurut mereka, berkenaan dengan batas usia pensiun bintara dan tamtama disamakan dengan usia pensiun pada anggota kepolisian, merupakan hal yang seharusnya dikabulkan oleh Mahkamah karena beralasan menurut hukum.

"Oleh karenanya frasa 'usia pensiun paling tinggi 53 tahun bagi bintara dan tamtama dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang dimaknai 'usia pensiun prajurit TNI bagi bintara dan tamtama disamakan dengan usia pensiun anggota kepolisian negara Republik Indonesia," kata Enny Nurbaningsih.

Selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan frasa dalam norma Pasal 53 yang menyatakan "Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira."

Serta frasa dalam norma Pasal 71 huruf a UU TNI yang menyatakan "Usia pensiun paling tinggi 58 tahun bagi perwira hanya berlaku bagi prajurit TNI yang pada tanggal undang-undang ini diundangkan belum dinyatakan pensiun dari dinas TNI."

Dalam hal ini, empat hakim konstitusi ini memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) pula berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon I.

"Berdasarkan fakta hukum dalam persidangan, Pemohon I dalam persidangan tidak dapat membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah subjek hukum yang memiliki keahlian khusus untuk dapat dijadikan alasan dapat dipersamakan dengan usia pensiun untuk perwira kepolisian," ucap Enny.

"Maka, terhadap Pemohon I tidak beralasan untuk diberikan kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian konstitusionalitas frasa dalam norma Pasal 53 yang menyatakan 'Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira' serta frasa dalam norma Pasal 71 huruf a UU No. 34/2004," sambungnya.

4 dari 4 halaman

Alasan Pemohon

Sebelumnya, aturan tentang usia pensiun prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) diuji konstitusionalitasnya. Euis Kurniasih yang merupakan pensiunan perwira Angkatan Darat (Kowad) dan tiga orang Pemohon perorangan lainnya tercatat sebagai Pemohon Nomor 62/PUU-XIX/2021.

Pasal 53 UU TNI menyatakan, "Prajurit melaksanakan wajib militer sampai dengan usia paling lama 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama".

Pasal 71 huruf a UU TNI menyatakan "Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diatur sebagai berikut: a. Pensiun paling lama 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama, hanya berlaku bagi prajurit TNI yang pada tanggal diundangkan undang-undang ini belum dinyatakan pensiun dari dinas TNI."

Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan adanya perbedaan usia pensiun prajurit TNI sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diperiksa dengan usia pensiun anggota Polri. Menurut para Pemohon, usia pensiun anggota Polri tidak dibedakan berdasarkan golongan pangkat, tetapi berlaku bagi seluruh anggota Polri, yakni maksimal usia pensiun 58 tahun. Demikian disampaikan kuasa hukum Pemohon, Kurniawan dalam sidang pendahuluan pengujian, Selasa (30/11/2021).

"Anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan dibutuhkan dalam tugas Polri, dapat dipertahankan sampai dengan usia 60 tahun, sedangkan Prajurit TNI untuk Bintara dan Prajurit harus pensiun pada usia 53 tahun dan Perwira harus pensiun pada berusia 58 tahun dan tidak dapat dipertahankan atau diperpanjang,” ujar Kurniawan.

Menurut para Pemohon, jika perpanjangan usia pensiun yang diterapkan anggota Polri didasarkan pada keahlian dan kebutuhan khusus, maka Prajurit TNI, baik Perwira, Bintara maupun Prajurit, sebenarnya telah memenuhi unsur keterampilan dan kebutuhan khusus.

Hal ini terlihat dari beberapa contoh pasukan khusus di institusi TNI seperti Komando Operasi Khusus TNI (Kopassus TNI) yang bertugas menyelenggarakan operasi dan kegiatan khusus untuk mendukung pelaksanaan operasi khusus yang memerlukan kecepatan dan keberhasilan tinggi untuk menyelamatkan kepentingan nasional di dalam negeri dan luar daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka menunjang tugas pokok TNI.

"TNI telah menimbulkan perbedaan perlakuan antara Prajurit TNI dan Anggota Polri yang memiliki persamaan sebagai alat negara yang menyelenggarakan upaya pertahanan dan keamanan negara, telah jelas memberikan perlakuan yang berbeda terhadap hal yang sama," sebut Kurniawan.

"Sehingga pada hakikatnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan sekaligus juga bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. UUD 1945,” tambahnya.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.