Sukses

HEADLINE: KPA Sebut Lahan IKN Nusantara Bukan Tanah Negara, Potensi Konflik Agraria?

Lahan IKN Nusantara masih menyisakan persoalan. Para pejabat diminta segera turun tangan menyelesaikan ini demi menghindari konflik agraria berkepanjangan.

Liputan6.com, Jakarta - Kegiatan berkemah Presiden Jokowi di titik Nol IKN Nusantara, Senin 14 Maret 2022, sama sekali tak menyedot perhatian Yati Dahlia. Wanita yang rumahnya berjarak 10 kilomter dengan lokasi camping Presiden Jokowi itu tak peduli dengan ritual Gentong Nusantara.

Dahlia yang merupakan warga Suku Paser Balik, penduduk asli tempat calon berdirinya IKN ini mengaku masih syok. Ia masih belum percaya kalau lahannya telah dicaplok secara sepihak untuk proyek raksasa tersebut.

"Kami lebih fokus ke lahan-lahan kami yang kena plang. Padahal, Bapak Gubernur (Isran Noor) kemarin bilang, lahan pembangunan IKN itu tidak termasuk di lahan warga, tapi kenyataannya yang kami alami di sini, plangnya sudah ke pemukiman warga," kata Yati dalam webinar Bersihkan Indonesia, Selasa 15 Maret 2022.

Ia menyatakan kecewa dengan kunjungan Jokowi ke lokasi proyek IKN, karena keluhan warga asli soal pencaplokan lahan tidak didengarkan. Bahkan camping Jokowi di titik nol dianggapnya tidak dapat memberikan manfaat bagi rakyat.

"Kemping kemarin kami tidak membutuhkan, hal itu buat apa? Tidak ada yang diuntungkan pula dengan itu," kata Yati.

"Teriakan kami selama ini tidak didengarkan, kami seperti dianggap tidak ada di sini, tidak ada koordinasi seperti kepala adat atau tokoh-tokoh kami yang ada di sini. Kami tidak diberitahu," sesal dia.

Karena itu, kata dia, suku asli Paser meminta jika memang IKN harus pindah ke Kalimantan Timur, hendaknya ada kejelasan atas lahan-lahan yang dimilikinya. Sehingga lahan-lahan adat tersebut tidak masuk dalam kawasan inti pusat pemerintahan seluas 6.671 hektare.

"Kami meminta agar tidak terkena dampak yang dipaksakan, seperti pemasangan plang yang terjadi. Itu menurut kami pengambilan secara sepihak. Kami tidak pernah diajak bertemu, tidak diajak koordinasi," kata dia.

Masalah lahan IKN Nusantara disebutkan memang dikuasai oleh berbagai perizinan. Baik pertambangan hutan maupun perkebunan kelapa sawit. Namun yang tak kalah penting, juga ada masyarakat adat yang telah bermukim di sana puluhan tahun.

"Wilayah IKN ini juga memuat wilayah yang ditinggali masyarakat adat, dan kondisi ini menunjukkan sebenarnya perpindahan ini berpotensi menyebabkan konflik agraria yang pasti akan berkepanjangan," ujar Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Hadi Jatmiko kepada Liputan6.com, Selasa (15/3/2022).

Namun di sisi lain, ada sekelompok yang diuntungkan dengan perpindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur ini. Di kawasan ini, kata Hadi, ada banyak 'dosa-dosa' yang bakal ditebus pemerintah akibat ulah dari perusahaan-perusahaan di sana.

"Pasti banyak yang diuntungkan dengan IKN ini. Karena wilayah-wilayah yang dirusak di sana oleh perusahaan-perusahaan seperti pertambangan itu disubsidi dengan menghilangkan tanggung jawab mereka. Dan dugaan kita, mereka akan diberikan tukar guling di wilayah lain," kata dia.

Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Presiden Jokowi yang meminta urusan tanah segera diselesaikan dengan cepat. Makna dari ucapan itu, Hadi menuturkan, adalah agar proses-proses penyelesaian hak atas tanah dan perizinannya, akan ada tukar guling bagi wilayah yang masa berlakunya belum habis.

Contohnya, dia mengimbuhkan, perkebunan kayu atau hutan tanaman. Ia menduga itu pasti akan ada tukar guling di wilayah lain. Proses pembangunan di IKN akan membuat perusahaan tersebut dipindahkan yang tentunya berdampak ke wilayah lain.

"Jadi perpindahan IKN ini tidak hanya menguntungkan perusahaan, tapi juga bisa merusak wilayah lain. Belum lagi misalnya mobilisasi sumber daya untuk membangun ini. Indikator ini sangat terlihat, perpindahan bukan jadi pemerataan, tapi lebih kepada skenario untuk menguntungkan para pengusaha atau oligarki," terang Hadi.

Karena menurut dia, harusnya konsep pemerataan yang digaungkan pemerintah bukanlah terbatas pada pindahnya Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur semata, dengan mengarahkan kepada satu pulau tertentu. Tapi pemerataan itu harus berbasis pada pembangunan manusia dan ekonomi masyarakat.

"Caranya bisa dengan pengakuan terhadap pulau lain dan mengakui misal lahan-lahan yang dikelola masyarakat diberi bantuan pemaksimalan dalam hal fungsi dari pertaniannya, dan tidak harus dengan pindah. Sebab perpindahan akan tetap menguntungkan pengusaha," ujar Hadi.

Dia menilai, penunjukkan Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe membuktikan proyek IKN Nusantara ini sarat akan kepentingan bisnis oligarki. Terlebih bila melihat Wakil Kepala Otorita yang berlatar belakang dari sebuah grup perusahaan, yang diketahui banyak melakukan pengerusakan hutan.

"Artinya dengan penunjukkan ini, negara memberikan apresiasi kepada perusahaan itu atas kerusakan-kerusakan yang sudah mereka lakukan, seperti dilegitimasi begitu," kata dia.

Dia menegaskan, akibat dari proyek IKN ini, keberadaan masyarakat adat pun berada di ujung tanduk. Mereka terancam tergusur dari lokasi yang sudah lama dihuninya selama bertahun-tahun.

"Nasib masyarakat adat ke depannya dipastikan pendekatan pembangunan ini menggusur mereka. Dan ini akan terulang lagi di rezim Jokowi ini, padahal kita harap hal itu sudah berhenti di era Orba dan dapat menjadi lebih baik setelah reformasi. Tetapi sudah 20 tahun lebih reformasi, nyatanya kebijakan yang digunakan masih sama, memindah dengan menggusur," demikian Hadi menandaskan.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Adapun Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menilai persoalan-persoalan terkait lahan IKN Nusantara harus menjadi perhatian pemerintah. Masalah itu hendaknya diselesaikan dengan melibatkan Kementerian terkait.

"Diselesaikan dulu lah, BPN bantu selesaikan. Kan harus jelas meskipun itu tanah negara, ya harus diselesaikan," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (15/3/2022).

Jika tidak diselesaikan dengan segera, dia meyakini bakal menimbulkan konflik sosial. Jangan sampai di tengah prosesi pembangunan IKN Nusantara, muncul unjuk rasa dari masyarakat.

"Iya pasti, makanya dua-duanya bareng. Menteri Pertanahan ATR/BPN dan Menteri LHK menyelesikan itu. Selesikan supaya hak dan kewajiban rakyat itu selesikan untuk menghindari konflik," ujar dia.

"Dari dulu saya ingatkan Pak Menteri PUPR supaya melibatkan antropolog. Itu salah satunya untuk itu, untuk mengurangi tensi antara yang terlibt di sana," Agus menambahkan.

Ia yakin masalah ini akan terselesaikan dengan baik. Karena itu, perlu peran Presiden Jokowi dan Kepala Otorita IKN Nusantara untuk berkomunikasi dengan masyarakat.

"Bisa gak dikelarkan, bisa. Tentu kan ada perintah Presiden, tentunya ada jalan keluarnya. Harus. Kepala (Otorita) IKN-nya harus juga hadir, karena ada di tangan dia. Duduk aja bareng, masak gak bisa, bisa lah," ujar dia.

"Kendati agak susah memang, ya bisa dikelarkan. Cuman agak lambat, harus sabar," kata Agus.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Imbas Politik Percepatan

Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor menegaskan lokasi pembangunan IKN Nusantara berada di atas tanah negara dan tanah hutan produksi. Karena itu, tak ada lahan masyarakat yang masuk dalam kawasan ibu kota baru tersebut.

"Setahu saya, tidak ada lahan masyarakat yang masuk areal kawasan IKN, itu semua lahan negara, kalaupun ada lahan masyarakat yang mungkin masuk kawasan IKN, itu akan ditata kembali oleh pemerintah, supaya nanti pemukiman di sekitar ibu kota bisa lebih bagus," ujar dia yang dikutip dari kaltimprov.go.id.

Dalam masterplan yang disusun Bappenas, ibukota baru akan dibangun di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Proyek raksasa itu akan berdiri di atas lahan seluas 256 ribu hektar. Dari jumlah itu, hanya digunakan sekitar 50 ribu hektare atau sekitar 30 persennya untuk dibangun pusat pemerintahan.

Namun pernyataan Isran Noor berbeda dengan temuan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Merujuk data Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), terdapat beberapa masalah fundamental di lokasi IKN Nusantara, khususnya di Kalimantan Timur secara umum.

Hal ini sekaligus membantah klaim pemerintah, lokasi ibu kota negara lahannya dikuasai negara.

"Lokasi IKN bukan lah tanah kosong, tanah yang menurut pemerintah dikuasai langsung pemerintah. Berdasarkan temuan kami, di lokasi IKN telah lama dikuasai petani, lokasi adat," sebut Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Roni Septian.

"Hal itu akan menggugurkan klaim pemerintah; lokasi IKN adalah tanah negara, tidak ada penguasaan masyarakat di atasnya. Itu pernyataan yang keliru," tegas Roni.

Peneliti dan Aktivis tentang Agraria, Ekologi dan Pedesaan dari IPB, Eko Cahyono menilai penguasaan tanah memang tidak bisa dilihat dalam waktu 10 atau 20 tahun terakhir. Ada sejarah panjang yang harus ditarik ke belakang.

"Misalnya bagaimana mungkin kita mau memakai penjelasan itu tanah negara jika belum ada aturan tentang pengakuan wilayah adat. Pengakukan wilayah adat itu ada setelah putusan MK No 35 tahun 2012," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (15/3/2022).

Sebelum putusan MK itu, Eko menambahkan, yang berlaku adalah domainnya hukum negara. Dan jika dilihat secara historis, sejak ada UU Pokok Perhutanan Nomor 5 Tahun 1967, ada wilayah yang disebut sebagai hutan negara.

"Itu muncul secara politis untuk kepentingan orde baru. Ya kan UU 1967 ada tiga, yaitu UU Penamam Modal Asing, UU tentang Batubara, UU tentang Pokok Perhutanan. Nah sementara UU yang sebelumnya menjadi payung persoalan agraria yang namannya UU Agraria, tahun 1960 itu dimatikan, atau dalam bahasa studi agraria itu dipeti-eskan lalu dihilangkan," terang dia.

Dengan penjelasan konteks historis itu, tidak bisa hanya semata legalitas formal saja. Negara harus melihatnya secara asal usulnya.

"Kalau ngomong hutan negara ya, 75 persen di Indonesia hutan negara. Masalahnya hutan negara itu dilakukan dengan proses yang benar atau tidak? Prosesnya hutan negara itu dibuat kapan, emang lebih dulu ada Indonesia dari pada masyarakat adat, kan lebih dulu adat sebelum Indonesia," jelas Eko.

Karenanya, dia tak menampik ini akan memicu konflik agraria. Karena dalam prosesnya, tidak ada upaya untuk mempertemukan semua orang yang memiliki hak di sana, khususnya masyarakat di sekutar IKN.

"Lalu tidak diberikan secara historis bagaimana kepemilikan dan kekuasan atas sumber agraria di sana. Pasti akan meletuslah, konflik itu," katanya.

Tak hanya itu, proses pembangunan yang dinilai terburu-buru ini juga menjadi salah satu menjadi tombol pemicu pertikaian. Politik percepatan ini akan menabrak banyak hal tentang kaidah keadilan sosial, ekologis, dan HAM.

"Karena targetnya dipercepat, karena dipercepat nggak mau susah-susah melihat sejarah. Dan kedua penggunaan TNI Polri. Nah, ketika menggunakan aparat keamanan ini yang memicu penyebab konflik itu," terang dia.

Untuk menghindari konflik sosial meletus, pemerintah dapat melakukannya dengan pendekatan humanis. Jokowi sejatinya bisa mengajak bicara masyarakat untuk mencari jalan keluar terbaik.

"Pak Jokowi dulu memindahkan satu pasar di Solo itu kan sampai ngobrol berapa puluh kali, diajak makan, ngobrol diajak makan lagi, kenapa sekarang enggak dilakukan? Kan itu yang menjad harapan kita sebagai rakyat yang dulu Jokowi memiliki track record yang humanis," ujar dia.

Selain itu, pemerintah juga diminta mengevaluasi seluruh izin proyek pembangunan strategi nasional yang berpotensi menciptakan konflik. Dan ketiga, mengoreksi regulasi yang memudahkan pemerintah dan korporasi meminjam TNI Polri untuk menjaga pembangunan mereka.

"Itu ada aturannya. Harus diperiksa ulang, karena proyek-proyek itu boleh meminjam TNI-Polri ketika statusnya dinaikkan jadi objek vital negara atau proyek strategis nasional. Kalau sudah dinaikkan, implikasi hukumnya boleh mengerahkan TNI-Polri. Pertanyaannya waktu menaikkan itu atas pertujuan siapa dan dalam kontekas apa?" terang dia.

Sekali lagi, Eko meyakini pembagunan IKN ini tidak dibarengi secara historis dari sejarah penguasaan izin dan konsesi tambang serta sawit. Karena itu, Ia meminta pemerintah untuk menyelesaikannya terlebih dahulu masalah-masalah tersebut.

"Itu selesai, baru dijalankan (IKN). Tapi semua itu pasti dilanggar karena politik percepatan tadi," dia menegaskan.

 

3 dari 3 halaman

IKN Simpan Sederet Konflik

Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Roni Septian mengungkapkan, permasalahan IKN bukan saja pengadaan tanah dan proses pembangunan infrastruktur yang sangat luas. Masalah IKN juga termasuk problem ekonomi, sosial, agama, pendidikan, hingga kesehatan.

"Sehingga pemerintah tidak dapat melompat gitu saja tanpa melakukan reforma agraria terlebih dahulu," imbuh dia.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2018, ia menyebut, ada sekitar 9.000 petani yang menguasai lahan kurang dari 1 ha. Itu seakan terjadi ketimpangan dengan penguasaan lahan tambang seluas 5,2 juta ha. Belum lagi, ada 1,2 juta ha lahan kebun sawit di Kalimantan Timur.

"Jadi masalah yang sangat fundamental adalah penguasaan tanah. Pembangunan ibu kota negara akan sangat sia-sia. Belum lagi tumpang tindih klaim, yang sebabkan konflik agraria di sana," tuturnya.

Lebih lanjut, Roni juga memunculkan dugaan, proyek pembangunan IKN Nusantara jadi proses pembukaan bisnis skala besar oleh para pengusaha gede Indonesia. Ini lantaran Presiden Jokowi telah menunjuk Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe sebagai Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Nusantara.

Sebagai catatan, Bambang Susantono merupakan seorang Wakil Presiden Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB), serta Dhony Rahajoe selaku salah satu bos besar di Sinar Mas Land.

"Ini sudah menandakan IKN hanya proses pembukaan bisnis skala besar semata, bukan agenda kebangsaan seperti yang didengungkan pemerintah," ujar dia.

"Soal pemerataan ekonomi itu omong kosong. Soal cita-cita Soekarno membangun ibu kota di Kalimantan itu omong kosong. Hentikan segala romatisme itu. Pemindahan IKN adalah proses pembangunan bisnis skala besar oleh pengusaha-pengusaha Indonesia," singgungnya.

Menurut dia, pemilihan dua orang itu sejalan dengan kebutuhan biaya atas pembangunan ibu kota baru yang tak murah, mencapai sekitar Rp 500 triliun. Roni pun tak percaya APBN dan pajak bisa memenuhi kebutuhan tersebut.

"Untuk menjawab kebutuhan sumber dana, itu tentu dibutuhkan investor yang sangat banyak, sangat besar. Tidak mungkin kerja mencari investasi, meraih pinjaman, atau kerjasama pendanaan dengan swasta jika tidak dilakukan oleh orang yang ahli di dalamnya," tuturnya.

Konsesi Tambang

Bukti lain bahwa lahan IKN Nusantara bukan milik negara didapat dari banyaknya wilayah konsesi tambang dan kehutanan di sana. Mengutip data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit, hingga PLTU batubara di atas wilayah IKN.

Sebanyak 149 konsesi diantaranya merupakan pertambangan batubara, baik yang berstatus Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, pun buka kemungkinan, lahan konsesi tambang dan kehutanan itu akan diambil alih untuk proyek pembangunan ibu kota baru. Sehingga itu akan terkena pemutihan, namun tidak dimintai pertanggungjawaban atas eksploitasi alam yang sudah dilakukan.

"Dalam proses pemindahan ibu kota terdapat ruang yang sangat lebar sekali untuk pemutihan aktivitas pertambangan dan izin kehutanan yang ada selama puluhan tahun," ungkapnya.

"Lubang tambang itu situs kejahatan yang tanggung jawabnya dilekatkan pada perusahaan dan negara. Artinya ada pengabaian tanggung jawab oleh pengurus negara dan pemegang izin," kritik dia.

Adapun merujuk data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), terdapat seluas 73.584 ha konsesi tambang batubara di wilayah IKN. Jatam mengklaim, setidaknya ada lebih dari 50 nama politikus terkait kepemilikan konsesi di lokasi IKN.

Dengan demikian, Uli menyimpulkan, dari sekian panjang eksploitasi ratusan izin di wilayah IKN, setidaknya banyak sekali telah timbulkan dampak negatif.

"Eksploitasi sebabkan krisis ekologis. Eksploitasi ini mengakibatkan bencana ekologis seperti longsor dan banjir. Yang menanggung semuanya adalah rakyat," ujar Uli.

BPN Sebut Tak Berpotensi Konflik

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut tak ada potensi konflik agraria terkait polemik tanah yang akan dibangun Ibu Kota Negara Nusantara. Ini menjawab kekhawatiran adanya permasalahan menjelang pembangunan dilakukan.

Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi menyampaikan tak ada potensi terjadinya konflik agraria di lahan IKN. Ini menjawab kekhawatiran dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

“Tidak (ada potensi konflik agraria),” katanya saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (15/3/2022).

Sebelumnya, Kepala Advokasi Kebijakan KPA Roni Septian menilai pemerintah terlalu terburu-buru memulai proses pemindahan IKN Nusantara. Ia menduga ada potensi konflik agraria di lahan tersebut.

Sementara, Teuku belum merinci lebih lanjut tentang pernyataannya tersebut. ia menyatakan akan membeberkannya pada Kamis (17/3/2022) mendatang.

“Nanti hari kamis akan ada laporan lengkap. Jadi saya jawab, Kamis sore saja,” katanya.

Lebih lanjut, Teuku juga menampik dugaan jual-beli kavling tanah yang disangkakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menyebut sejauh ini tidak ada praktik yang disebutkan tersebut.

“Sejauh yang kami ketahui, tidak ada apa yang disebut bagi-bagi kavling,” katanya.

Ia pun meminta KPK untuk memberikan data yang sesuai dengan dugaan tersebut. Tujuannya, agar pihak ATR/BPN bisa memperbaiki sejak awal.

“Tapi kalau ada (data yang mendukung dugaan) bisa ditunjukkan kepada kami agar kita bisa perbaiki segera dari awal. Jangan sampai terlambat nanti,” terangnya.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada KPK atas peringatan dini ini, tapi juga jangan terlalu spekulatif karena kesannya nanti akan negatif, padahal sepengetahuan kami tidak ada yang bagi-bagi kavling,” imbuh dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.