Sukses

Dalami Korupsi Pembiayaan Ekspor Nasional, Kejagung Kembali Periksa Pejabat LPEI 

Kejagung telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI.

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memeriksa sejumlah saksi untuk mendalami kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Tahun 2013-2019.

Ada delapan saksi yang diperiksa untuk melengkapi pemberkasan kasus korupsi pembiayaan ekspor nasional, beberapa di antaranya adalah pejabat di LPEI. Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu PSNM, DSD, AS, FS, JAS, JD, dan S.

"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan untuk melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2013-2019," tutur Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Senin (14/3/2022).

Adapun saksi yang diperiksa antara lain RC selaku Asisten Relationship Manager LPEI, CFS selaku HRD PT Elite Paper Indonesia, NKH selaku pihak swasta, dan ER selaku Kepala Departemen Analisa Risiko Bisnis II LPEI periode 1 Juli 2018-30 April 2021,

Kemudian GMA selaku Asisten Relationship Manager LPEI, A selaku Asisten Eksekutif di PT. Mitra Adyaniaga, STA selaku Asisten Eksekutif di PT. Mitra Adyaniaga, dan S selaku Kepala Divisi Operasi dan Settlement 2010 sampai dengan Desember Tahun 2017.

"Mereka diperiksa terkait pemberian fasilitas pembiayaan dari LPEI," kata Ketut.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kronologi Perkara

Sebelumnya, berdasarkan laporan LPEI 31 Desember 2019 memperlihatkan, LPEI mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun.

Dalam kasus ini, LPEI memberikan fasilitas pembiayaan kepada delapan grup yang terdiri dari 27 perusahaan. Namun, fasilitas itu diberikan tanpa melihat tata kelola perusahaan dan tidak sesuai dengan kebijakan perkreditan LPEI. Lalu, tak sesuai dengan sistem informasi manajemen risiko.

"Pembiayaan itu dalam posisi kolektibilitas lima atau macet per 31 Desember 2019," kata kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak.

Seperti dikutip dari Antara, perusahaan pertama yang mendapatkan pembiayaan dari LPEI yakni Grup Walet sebesar Rp 576 miliar.

Grup Walet tersebut terdiri dari tiga perusahaan, yakni CV Mulia Wallet Indonesia yang memperoleh pembiayaan sebesar Rp 90 miliar yang diambil alih oleh PT Mulia Walet Indonesia dengan jumlah pembiayaan Rp 175 miliar.

Kemudian, PT Jasa Mulia Indonesia memperoleh pembiayaan Rp 275 miliar, dan PT Borneo Walet Indonesia mendapat fasilitas pembiayaan Rp 125 miliar.

"Bahwa untuk Group Walet, total fasilitas pembiayaan yang diberikan LPEI sebesar Rp 576 miliar," kata Leonard.

Selain Walet Group, perusahaan lainnya yang mendapat pembiayaan ada Johan Darsono Grup yang terdiri atas 12 perusahaan.

12 perusahaan tersebut, yakni PT Kemilau Kemas Timur menerima fasilitas pembiayaan Rp 200 miliar. CV Abhayagiri menerima fasilitas pembayaran Rp 15 miliar. CV Multi Mandala menerima pembiayaan Rp 15 miliar.

Lalu, CV Prima Garuda menerima pembiayaan sebesar Rp 15 miliar. CV Inti Makmur menerima pembiayaan senilai Rp 15 miliar, dan PT Permata Sinita Kemasindo sebesar Rp 200 miliar.

Selanjutnya, PT Summit Paper Indonesia juga menerima fasilitas pembiayaan sebesar Rp 199,6 miliar.

Masih pada Johan Darsono Group, ada PT Elite Paper Indonesia menerima fasilitas pembiayaan sebesar Rp 200 miliar. PT Everbliss Packaging Indonesia menerima pembiayaan Rp 200 miliar. PT Mount Dreams Indonesia menerima fasilitas pembiayaan sebesar Rp 645 miliar.

Selanjutnya, PT Gunung Geliat menerima 30 juta dolar AS setara Rp345 miliar (kurs Rp 11.500). PT Kertas Basuki Rahmat menerima pembiayaan 45 juta dolar AS atau setara Rp 460 miliar (dengan kurs Rp 11.500).

"Untuk grup Johan Darsono total fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh LPEI senilai Rp 2,1 triliun," ujar Leonard lagi.

Leonard menambahkan, pemberian fasilitas kredit itu menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2,6 triliun.

Nilai kerugian negara itu kemungkinan masih bisa bertambah. Sebab, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih melakukan perhitungan.

"Saat ini masih dilakukan perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK RI," kata Leonard.

Penyidik menjerat para tersangka dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP subsider Pasal 3 UU tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.