Sukses

MK Tolak Gugatan Gatot Nurmantyo Soal Presidential Threshold

Keputusan MK menolak gugatan Presiden Threshold yang diajukan Gatot Nurmantyo diwarnai perbedaan pendapat empat Hakim Konstitusi atau dissenting opinion.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Undang Pemilu yang dilayangkan mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo.

Demikian putusan disampaikan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua dalam gugatan bernomor 70/PUU-XIX/2021 yang diajukan Gatot pada sidang Kamis (24/2/2022).

"Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Anwar dalam draft Amar Putusan yang dikutip melalui website MK.

Dalam bagian konklusi, majelis hakim menilai berdasarkan fakta dan hukum gugatan yang diajukan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Karena Gatot selaku pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

"Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadilipermohonan a quo. Namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan," jelasnya.

Pasalnya, Menurut Mahkamah, Gatot telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024.

"Yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon," katanya.

Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

"Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam Pemilu," tuturnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ada Dissenting Opinion

Meski terkait kedudukan Gatot Dalam putusan tersebut terdapat empat orang Hakim Konstitusi yang ajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Yakni Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpendapat meskipun Gatot merupakan perorangan yang memiliki kedudukan hukum untuk ajukan permohonan mengenai ketentuan ambang batas pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden.

"Akan tetapi dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan Pemohon ditolak," kata hakim saat bacakan pertimbangan.

"Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan Pemohon," lanjutnya.

UU Ambang Batas Digugat ke MK

Sebelumnya, UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya Pasal 222 yang mengatur ambang batas pencalonan syarat pencalonan presiden.

Pasal 222 itu berbunyi; Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pengajuan gugatan terhadap Pasal 222 ini, ditayangkan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, yang diwakili kuasa hukum Refly Harun dan Muh Salman Darwis. Dengan alasan untuk meminta syarat ambang batas pencalonan presiden dibatalkan.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tulis petitum dalam gugatan Gatot serta Ferry, dikutip dari dokumen dalam laman mkri.id, Selasa (14/12).

Dalam permohonan Gatot, ambang batas pencalonan presiden dinilai bertentangan dengan UUD 1945 yaitu Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (2), dan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945.

Gatot menilai, ambang batas pencalonan presiden mengakibatkan kehilangan hak konstitusional sebagai pemilih untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa. Ambang batas juga dinilai mengamputasi fungsi partai politik untuk menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan.

"Bahwa partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden seringkali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak calon pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodir kepentingan pemodal (oligarki politik)," ujar Gatot.

Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.