Sukses

Pemberantasan Terorisme Tak Harus Angkat Senjata

Densus 88/Antiteror punya wajah baru. Satuan elite yang akrab dengan orang-orang misterius membawa senapan laras panjang di balik penutup wajah, serta aksi-aksi represif di beberapa penangkapan, kini memiliki satuan yang justru kebalikan dari gambaran represif ters

Liputan6.com, Jakarta Densus 88/Antiteror punya wajah baru. Satuan elite yang akrab dengan orang-orang misterius membawa senapan laras panjang di balik penutup wajah, serta aksi-aksi di beberapa penangkapan, kini memiliki satuan yang justru kebalikan dari gambaran represif tersebut.

Melalui Direktorat Identifikasi Sosial atau Idensos, Densus 88/Antiteror berupaya mengedepankan pencegahan dan pendampingan dari mulai berstatus tersangka, narapidana, hingga eks narapidana ketika mereka kembali ke masyarakat. Penegakan hukum dengan upaya paksa menjadi alternatif dalam pemberantasan terorisme.

"Bukan hanya penegakan hukum saja yang dikedepankan, tapi juga manfaat dari hukum itu sendiri, sehingga ketika mereka (eks napi teroris) kembali ke masyarakat dapat bermanfaat untuk keluarga dan lingkungan masyarakatnya," kata Direktur Idensos Densus 88/Antiteror, Brigjen Polisi Arif Makhfudiharto, kepada Liputan6.com, Selasa (23/2/2022).

Seperti yang dialami oleh Anton, eks kombatan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Tasikmalaya, yang sempat terpapar pemahaman radikal, berubah 180 derajat berkat pendekatan pencegahan Densus 88/Antiteror.

Bahkan, Anton bersama M.Iqbal dan Dede kini aktif melakukan pendekatan, kepada keluarga dan napi teroris yang masih ditahan maupun yang telah bebas melalui sebuah Yayasan Ansharul Islam yang didirikannya pada 2018 silam. Iqbal sempat merasakan dinginnya penjara karena memberangkatkan orang-orang ke Suriah.

Anton mengatakan, Yayasan Asharul Islam menaungi istri napiter yang suaminya berada di dalam tahanan. Beberapa kasus ketika suami atau ayah dari keluarga ditangkap karena keterlibatan terorisme, maka istri dan dan anak menjadi korban tidak langsung dari perbuatan teroris tersebut.

"Harapan kami ikhwan-ikhwan setelah selesai menjalani hukuman bisa kembali ke NKRI. Kami ingin mereka supaya bertaubat," kata Anton di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (23/2/2022).

Anton bercerita, awalnya ia harus mencari dana ke sana-kemari demi meringankan kebutuhan keluarga napiter seperti membayar kontrakan, mencari rumah singgah, maupun kebutuhan sehari-hari.

Namun, atas bantuan Direktorat Identifikasi dan Sosial (Idensos) Densus 88 Antiteror kini hal itu tak menjadi masalah. Anton menceritakan pertemuannya dengan Densus 88. Dia mengeluhkan jam besuk narapidana teroris yang mengalami pengetatan pasca-kerusuhan di Mako Brimob Kelapa 2 Depok.

Tidak disangka, apa yang dikeluhkan Anton rupanya didengar dan dijembatani satuan berlambang burung hantu ini.

"Karena pada saat itu memang tidak bisa sembarangan ikhwan atau keluarga untuk membesuk. Harus ada yang memfasilitasi diantaranya inilah ikhwan-ikhwan yang ada setelah membuat Yayasan Ansharul Islam," papar Anton.

Akhirnya hingga saat ini, dia bersama rekan-rekan membantu Densus 88/antiteror dalam program deradikalisasi. Ada 30 napiter yang tergabung di Yayasan Ansharul Islam.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Urus Keluarga Teroris

Kepala Densus 88/antiteror, Irjen Martinus Hukom menjelaskan, Yayasan Ansharul Islam berada di bawah binaan Satgas Wilayah (Satgaswil) Densus 88 Antiteror Jawa Barat dan Polres Tasikmalaya Kota.

Dia mengatakan, Yayasan Ansharul Islam konsen mengurus keluarga teroris, napiter dan yang sedang ditahan khususnya para istri dan anak-anak.

Menurut dia, kehadiran Yayasan Ansharul Islam sangat berperan dalam menghilangkan pemahaman radikal para teroris. Mereka disadarkan supaya kembali kepada pemahaman moderat dan menerima kemajemukan.

"Yayasan ini berasal dari mereka sendiri sehingga mereka kenal dan memudahkan kita berkomunikasi pada istri napiter," ujar dia.

Jenderal Polisi kandidat doktor filsafat ini menerangkan, dahulu Priangan Timur menjadi hostpot jaringan teroris. Densus 88 pada periode 2011 hingga 2018 banyak melakukan penegakkan hukum.

"Dahulu Priangan Timur menjadi basis jaringan teroris," kata dia.

Semenjak kehadiran Yayasan Ansharul Islam, penegakan hukum menjadi pilihan alternatif akhir. Densus 88 Anti teror lebih sering melakukan pendekatan kemanusiaan.

"Kami konsen mereduksi jaringan teroris di sana. Alhamdulilah jaringan teror berkurang drastis," dia menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.