Sukses

PPP Sebut Pemerintah Langgar Konstitusi jika Sahkan Pernikahan Beda Agama

Kegagalan seorang pria menikah karena perbedaan agama membuat munculnya gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau MK terkait Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Liputan6.com, Jakarta - Kegagalan seorang pria menikah karena perbedaan agama membuat munculnya gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau MK terkait Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani, menjelaskan, hak konstitusional warga negara mesti dilihat secara menyeluruh. Dia berpendapat, Pasal 29 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 telah menekankan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

"PPP memandang adalah justru keliru secara konstitusional, jika tidak diakui dan disahkannya perkawinan beda agama dianggap melanggar hak konstitusional. Hak konstitusional warga negara itu harus dilihat dalam konteks dan isi konstitusi secara keseluruhan. Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa," ujar Arsul Sani kepada Merdeka, Selasa (8/2/2022).

Menurut Arsul, tidak boleh ada aturan dan kebijakan yang menabrak ajaran Tuhan di Indonesia, terlebih hal itu sudah termuat dalam agama yang ada. Jika pemerintah mengesahkan pernikahan beda agama, kata Arsul, justru itu melanggar hukum agama dan akan melanggar konstitusi.

"Justru kalau pemerintah negara ini mengesahkan perkawinan beda agama yang melanggar hukum agama, juga mengesahkan perkawinan sesama jenis atas nama hak konstitusional seperti HAM, maka justru pemerintah akan melanggar konstitusi atau kesepakatan bernegara ketika NKRI dibentuk," bebernya.

Seorang pria bernama E. Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua diketahui melayangkan uji materi (judicial review) terhadap Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi atau MK.

Dia mengajukan gugatan itu karena merasa dirugikan dengan Undang-Undang yang berujung dirinya gagal menikah. Sebab, pasangannya beragama Islam, sedangkan dia menganut agama Katolik.

"Pemohon adalah Warga Negara Perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam," bunyi uraian dalam draft permohonan gugatan yang telah terdaftar dalam situs MK, dikutip Senin (7/2).

Tapi, saat mau melangsungkan pernikahan setelah jalani hubungan selama tiga tahun, upaya itu dibatalkan, karena persoalan perbedaan agama antara mempelai pria dan wanita.

"Mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan yang beragama," ungkapnya.

"Jumlahnya dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan akan tetapi tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda," katanya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hak-Hak Konstitusional

Oleh karena itu, telah berdampak pada ketidakpastian secara aktual yang melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki Ramos. Sehingga dia tidak bisa melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara.

"Hal ini tentunya menyebabkan pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaannya karena apabila hendak melakukan perkawinan adanya paksaan salah satunya untuk menundukan keyakinan," tuturnya.

Adapun dalam gugatan ini, Ramos mengajukan uji materiil terhadap pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin dalam ketentuan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945.

"Serta tidak mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sehingga bertentangan pula dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945," terang dia dalam permohonan gugatannya.

Dalam pasal 2 UU perkawinan disebutkan, (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Sementara, dalam pasal 8 berbunyi, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.”

Menurutnya, penormaan dalam pasal tersebut menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya. Padahal, perkawinan di Indonesia, melekat pada berbagai macam kultur, agama, budaya, suku, dan sebagainya dalam hukum perkawinan yang berlaku juga bersifat pluralistis antara hukum adat, hukum negara,dan hukum agama.

"Oleh Karena itu, ketentuan dalam Pasal 8 huruf f menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda agama sebagai suatu peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing," ucapnya.

Selain ketidak jelasan hukum dan konteks, Ramos juga mempertanyakan tolok ukur pelarangan warga yang berbeda agama. Pasalnya, ia menilai larangan beda agama disebabkan oleh perbedaan tafsir ahli hukum.

"Dan tolok ukur apa yang digunakan untuk mengukur larangan atau kebolehan perkawinan beda agama mengingat tidak adanya kesamaan pendapat diantara para ahli hukum agama dan hukum negara," ucap dia.

"Larangan Perkawinan beda agama yang disebabkan karena perbedaan tafsir antara ahli hukum pada hakikatnya telah mengurangi kebebasan dan kemerdekaan untuk menganut agama dan kepercayaan tentu dalam melangsungkan perkawinan beda agama yang dijamin berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," imbuhnya.

3 dari 3 halaman

Dilarang Digugat Kembali

Seperti diketahui, Ramos sebelumnya juga pernah mengajukan gugatan UU Perkawinan pada 2014. Namun, gugatan itu ditolak dengan putusan Nomor 68/PUU-XII/2014.

Di sisi lain, secara khusus terdapat satu permohonan yang menguji pasal yang sama yakni Pasal 2 Ayat (1) atas UU Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Meski, pemohon berpandangan bahwa seharusnya permohonan ini tidak dapat diklasifikasikan ne bis in idem (dilarang digugat kembali). Namun dalam tetap diyakini adanya perbedaan konstitusional. "Karena tentunya terdapat perbedaan dalam hal konstitusionalitas yang menjadi alasan diajukannya permohonan," ucapnya.

Permohonan tersebut didaftarkan secara daring dan diterima pada Jumat (4/2). Dengan surat kuasa ditunjukkan kepada Ni Komang Tari Padmawati, Hans Poliman, Alya Fakhira, Dixon Sanjaya, Asima Romian Angelina, Ramadhini Silfi Adisty, Sherly Angelina Chandra dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.