Sukses

Journal: Darurat Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan, Menuntut Tempat yang Aman untuk Perempuan

Lingkungan pendidikan menjadi tempat yang tidak lagi aman bagi perempuan. Muncul berbagai macam kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus, sekolah, hingga pesantren.

Jakarta - Agus Supriatna nyaris terpental dari kursi duduk di kantornya ketika didatangi polisi awal Mei 2021 lalu. Petugas kala itu menanyakan keberadaan seorang warganya, Herry Wirawan.

Mulanya, Agus tak paham kedatangan aparat berseragam menanyakan Herry. Pria yang menjabat selaku Ketua RT ini pun memberikan keterangan bahwa yang bersangkutan tinggal di komplek bersama para sejumlah anak perempuan yang selama ini dikenal sebagai santriwati.

Siang itu, sejumlah aparat beserta kendaraan roda empat, bus, dan truk menangkap pimpinan Pesantren Tahfidz Quran Almadani, Herry Wirawan. Disaksikan istri dan mertua, Herry dibawa petugas ke Mapolda Jawa Barat terkait dugaan kasus pencabulan santri perempuan. Beberapa santri yang tinggal dibawa menggunakan bus.

Agus terkejut dengan penangkapan tetangganya yang selama ini dikenal ramah, plus sebagai sosok guru ngaji di salah satu rumah di klaster di kawasan Antapani.

"Saya waktu penangkapan juga kaget. Saya kira mah ada penggelapan dana. Soalnya dilihat kemajuan Herry, awal datang ke sini pakai motor, tapi belakangan dia sudah punya mobil," ujarnya saat ditemui Liputan6.com.

Sekitar tiga bulan sebelum penangkapan, ada dua santriwati datang ke rumah Agus. Keduanya bermaksud meminta dibuatkan surat keterangan domisili. Agus memperhatikan sosok kedua santri yang masih berusia anak-anak itu seperti berpenampilan layaknya ibu-ibu.

"Padahal kan anak-anak itu umurnya muda, tapi kelihatan sudah kayak ibu-ibu," ucapnya.

Dua hari sebelum penangkapan, ada tetangga komplek menggelar syukuran. Para santri Herry turut diundang untuk mengikuti pengajian. Agus heran, para santri yang hadir justru terlihat kikuk ketika mengikuti kegiatan doa.

"Anak-anak itu malah terlihat kaku saat mengaji, tidak selayaknya anak pesantren. Mereka ada 12 orang. Saya jadinya heran, kok ngakunya belajar agama, pas diajakin acara syukuran sama warga malah biasa saja. Yang dominan baca doa malah istrinya Herry," ucap Agus.

Herry Wirawan diduga memperkosa 12 santriwati. Bahkan dari belasan korban, lima di antaranya hamil dan sudah melahirkan. Malah ada korban yang melahirkan dua kali. Sudah ada delapan bayi yang lahir dari perbuatan asusila Herry.

Aksi bejat Herry dilakukan selama 2016-2021. Para korban rata-rata berusia remaja dan mengalami trauma berat.

Pelecehan Seksual di Kampus

Tak hanya kasus Pesantren Tahfidz Quran Almadani yang viral, kasus pelecehan seksual di beberapa universitas juga menjadi sorotan.

Di Palembang, seorang mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri) protes dan berbicara keras di depan orang-orang yang hadir dalam prosesi yudisium. Sang mahasiswi tak terima namanya dicoret dari daftar yudisium, Jumat (3/12/2021).

Sang mahasiswi merupakan anak Fakultas Ekonomi Unsri yang diduga jadi korban pelecehan seksual oleh dosen. Kabar yang beredar sang mahasiswi sempat disekap di kamar mandi oleh pihak keamanan kampus, sebelum akhirnya mengamuk saat prosesi yudisium.

Pihak Unsri menyebut mahasiswi bersangkutan tidak dicoret dari daftar yudisium melainkan digeser ke sesi kedua. Rektor Unsri, Anis Saggaf, juga membantah ada penyekapan di toilet, dan menyebut yang terjadi hanya salah pengertian saja. Tapi, yang sesungguhnya mengejutkan, ternyata sudah lima orang yang melapor ke polisi atas kasus pelecehan seksual dosen Unsri. Bahkan salah satu korban ada yang telah menjadi alumni. Pelecehan seksual dilakukan dosen berinisial RZ ketika bimbingan skripsi.

Selain Unsri, beberapa laporan tentang kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswi pada sejumlah kampus di Indonesia juga bermunculan. Seorang Dekan FISIP Universitas Riau (Unri), Syafri Harto, diduga mencabuli mahasiswinya saat bimbingan skripsi.

Seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berinisial DA juga sedang diusut atas dugaan melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswi. Bahkan, diduga ada alumni UNJ yang sempat mengalami kejadian serupa dari dosen DA.

Teranyar, di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, dugaan pelecehan seksual dilakukan salah satu pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Pihak Unsoed menindaklanjuti kasus ini dan melakukan pendampingan kepada korban, sedangkan BEM telah memberhentikan terduga pelaku pelecehan.

Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi salah satu tempat yang aman bagi perempuan, kini seakan menjadi lokasi yang berbahaya. Laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan angkanya juga tinggi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Banyak Kasus Tidak Diadukan

Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) soal kekerasan seksual di lingkungan pendidikan memperlihatkan bahwa kampus dan pondok pesantren menjadi yang paling banyak menerima aduan kekerasan seksual.

Terdapat 14 laporan kasus kekerasan seksual yang berasal dari universitas sepanjang 2015 hingga Agustus 2020. Lalu, pondok pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam juga banyak menerima laporan kekerasan seksual. Laporan kekerasan seksual di pondok pesantren mencapai 10 kasus sampai Agustus 2020.

Berikutnya, ada delapan kasus berasal dari jenjang pendidikan SMA/SMK, dan empat kasus lainnya dari SMP. Sementara di tingkat TK, SD, SLB, pendidikan berbasis Kristen, dan vokasi, laporan kekerasan seksual yang terjadi masing-masing dua kasus.

Di lingkungan pendidikan, kekerasan seksual menjadi bentuk yang terbanyak diadukan yakni mencapai 45 kasus (88 persen). Kasusnya terdiri dari perkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual.

Data laporan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan periode 2015-Agustus 2020 (Komnas Perempuan/Liputan6.com/Abdillah)

Masih dari data Komnas Perempuan, terdapat pula pengaduan tentang kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan diskriminasi sebanyak 5 kasus (10 persen), seperti dikeluarkan dari sekolah akibat kekerasan seksual, yang menimpa siswi atau akibat aktivitas seksual.

Menurut Komnas Perempuan, kekerasan tidak dapat terjadi tanpa adanya pelaku. Pelaku kekerasan terbanyak di lingkungan pendidikan adalah tenaga pendidik yakni guru atau ustaz sebesar 43 persen atau 22 kasus, kepala sekolah 15 persen atau 8 kasus, dosen 10 kasus atau 19 persen, peserta didik lain 11 persen atau 6 kasus, pelatih 4 persen atau 2 kasus, dan pihak lain 5 persen atau 3 kasus.

"Para korban yang umumnya peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless), karena relasi kuasa korban dengan guru/ustaz, dosen, atau kepala sekolah yang dipandang memiliki kuasa otoritas keilmuan dan juga, termasuk tokoh masyarakat," sebut Komnas Perempuan dalam pernyataannya.

Namun, banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tidak diadukan atau dilaporkan. Tapi, jumlah laporan itu menunjukkan bahwa sistem penyelenggaraan pendidikan nasional perlu serius mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Untuk alasan itu pula kasus kekerasan seksual yang diadukan sudah dianggap sebagai puncak gunung es. Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) sejauh ini berupaya melakukan pencegahan dengan membuat sejumlah regulasi.

Peraturan yang disusun untuk mengaitkan hal-hal terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dan sudah disahkan sebagai Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Tapi, aturan tersebut masih menjadi kontroversi, lantaran dianggap bisa melegalkan seks bebas.

Dalam Puncak Acara 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan secara daring, Jumat (10/12/2021), Plt Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemdikbud-Ristek, Hendarman, menerangkan, Indonesia sedang berada di situasi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Ini membuktikan bahwa kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan.

"Kemudian yang menarik adalah sebanyak 77 persen dosen menyatakan bahwa kekerasan seksual telah terjadi di kampus dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang diketahuinya kepada pihak kampus," ucap Hendarman, berdasarkan hasil survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Ristek dan teknologi Kemendikbud-Ristek pada tahun 2020.

3 dari 5 halaman

Relasi Kuasa

Kriminolog Universitas Indonesia, Haniva Hasna, meminta adanya evaluasi terhadap kontrol dan pengawasan pemerintah, ketika lingkungan pendidikan tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Dia juga menyarankan terus dilakukan pengecekan kualitas lembaga pendidikan.

Di tempat pendidikan seperti pesantren yang cenderung tertutup, seharusnya pengawasan dari orang tua tetap ada. Menurut wanita yang akrab disapa Iva ini, orang tua tetap harus terlibat dalam proses terjadinya pendidikan di pesantren.

Sebab, saat anak diserahkan ke suatu lembaga pendidikan seperti pesantren, sesungguhnya anak itu kemudian dalam relasi kuasa seseorang yang berada di lembaga itu. Anak-anak berada dalam relasi kuasa orang tua ketika di rumah sehingga tunduk dan patuh, demikian pula saat dia berada di pesantren

Anak-anak itu kan berada dalam relasi kuasa orang tua pada saat di rumah, sehingga dia tunduk dan patuh kepada orang tua. Pada saat anak-anak berada di tempat lain, mereka akan tunduk dan patuh di tempat itu. Salah satu sifat relasi kuasa adalah hirarki, di mana terdapat orang yang powerful dan powerless.

"Yang powerful adalah orang-orang yang punya sekolah atau yang berkuasa, dan ini mengakibatkan orang-orang itu atau pihak-pihak itu lebih mudah melakukan kekerasan terhadap anak, karena dia merasa bahwa anak ini berada di dalam wilayah kekuasaanku," jelas Iva kepada Liputan6.com.

Di sisi lain, anak atau remaja yang berada di pesantren merasa bukan siapa-siapa dan hanya dititipkan orang tua mereka di sana. Kondisi jadi lebih buruk, karena tidak ada kontak dengan orang tua dalam jangka waktu panjang, sehingga proses pengaduan tidak ada.

Sementara pada kekerasan seksual di kampus, dosen sebagai pihak yang powerful dengan relasi kuasa, sedangkan mahasiswa atau mahasiswi sebagai pihak yang powerless, yang berpotensi menjadi korban. Pihak yang powerful ini memungkinkan melakukan power abuse. Sifat hirarki dalam relasi kuasa bisa menimbulkan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Dalam beberapa kasus mahasiswi yang dilecehkan dosen terjadi ketika bimbingan skripsi. Pelaku kekerasan seksual dengan relasi kuasa seperti ini, menurut Iva, memiliki tipe pemain kekuasaan. Mereka melakukan pelecehan dengan menawarkan benefit kepada korban.

"Misalnya nilai yang baik. Iming-iming dikasih proyek. Dikasih penelitian. 'Kalau kamu tidak nurut, kamu tidak akan lulus. Kalau kamu tidak nurut, skripsimu akan gagal'," ujar Iva, mencontohkan.

Sifat ketergantungan dalam relasi kuasa dari pihak yang powerless juga seringkali dimanfaatkan oleh pihak yang powerful. Karena ketergantungan, kata Iva, mahasiswi memilih diam saja ketika ada dosen yang melakukan pelecehan. "Korban merasa nasib nilai atau urusan kelulusannya tergantung oleh dosen tertentu. Ini yang membuat korban diam saja saat kejadian," dia menjelaskan.

4 dari 5 halaman

Akar Masalah

Founder Pendidikan Karakter Education Consulting, Doni Koesoema, mengatakan, secara makro ada tiga akar masalah dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan Indonesia. Yang pertama adalah dari sisi kepribadian pendidiknya.

Doni menjelaskan, ketika seseorang menjadi pendidik, maka dia memiliki kekuasaan yang lebih tinggi atas murid atau mahasiswanya. Dan ketika pendidik tersebut tidak memiliki integritas, maka dia akan cenderung memanfaatkan kekuasaan itu untuk kepentingannya.

Jadi posisi pendidik adalah posisi dengan kekuasaan yang lebih dan ada ketimpangan relasi kekuasaan antara pendidik dengan murid atau mahasiswa. Hal ini terjadi dari jenjang TK sampai universitas.

"Dengan demikian, pendidik berpotensi melakukan tindakan sewenang-wenang dengan memberikan ancaman. Apalagi sekolah agama, itu lebih mengerikan ancamannya kayak surga dan pakai ayat-ayat. Jadi dari pendidiknya sendiri, mereka belum memahami makna profesinya," kata Doni kepada Liputan6.com.

Kedua, tidak adanya assessment awal. Ketika merekrut pendidik, lembaga pendidikan tidak melakukan cek preferensi seksualnya. Alhasil, lembaga pendidikan tidak mengetahui apakah calon pendidiknya memiliki kelainan mental atau tidak.

Menurut Doni, seharusnya sejak awal ada assessment dan hal itu harus dilakukan rutin setiap tahun. Dan ketika ada kasus kekerasan seksual, maka harus langsung dilakukan assessment lagi.

"Selama ini pendidik dibilang kepribadiannya bagus, tapi kepribadiannya bagus itu ceknya gimana? Tidak ada instrumennya. Sehingga lembaga pendidikan hanya sekadar wawancara, lalu menerima. Padahal bisa saja guru itu paedofil atau memiliki kecenderungan hasrat seksual tinggi. Itu sebenarnya bisa dicek pakai assessment psikologis," ucap mantan anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tersebut.

Ketiga, tidak adanya sistem pelaporan yang penuh integritas. Doni mengatakan, banyak kasus kekerasan seksual tidak cepat terungkap, atau baru terungkap setelah banyak korban. Ini terjadi karena tidak adanya sistem pelaporan yang penuh integritas. Karena itu ke depannya harus dibangun sistem pelaporan ketika seseorang menghadapi predator, dia merasa aman dan nyaman saat melaporkan kasusnya.

Dosen di Universitas Multimedia Nusantara tersebut memberi contoh. Misalkan seorang anak dilecehkan oleh temannya, lalu kemudian melapor kepada guru. Tapi, oleh gurunya malah dilecehkan untuk kedua kalinya. Alhasil korban jadi terpuruk dua kali.

"Ini terjadi karena tidak ada sistem dan sistem untuk mengatasi kekerasan itu, tidak bisa hanya internal seperti satgas internal kampus. Itu tidak akan mungkin selesai, karena hanya menutupi saja dan menjaga nama baik kampusnya. Sudah banyak sekali kasusnya. Jadi, pendidiknya tidak ditindak, dan kasusnya tidak ditindaklanjuti juga."

 

Krisis Nasional

Alumni Boston College Lynch School of Education tersebut menilai, kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan sudah menjadi krisis nasional. Oleh karenanya sistem pelaporan di lembaga pendidikan harus bertingkat dan terhubung ke Dinas Pendidikan setempat dan Kemendikbud.

Selain itu lembaga seperti KPAI, Komnas Perempuan, Kementerian PPPA dan tokoh masyarakat juga perlu dilibatkan untuk membantu assessment.

"Misalkan satu sekolah di Papua ada indikasi kekerasan seksual, informasinya bisa langsung ke KPAI di Jakarta dan bisa langsung proses. Dari kementerian inspektorat bisa langsung turun ke sekolah dan menanyakan."

"Jadi mekanisme seperti ini kita belum ada, sehingga korban-korban justru tidak dilindungi hak-haknya, dan malah diteror balik," ujarnya.

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.