Sukses

8 Tanggapan soal Pro Kontra Tes PCR Jadi Syarat bagi Penumpang Pesawat

Pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib PCR tes bagi mereka penumpang pesawat guna mencegah penyebaran Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib tes PCR bagi mereka penumpang pesawat guna mencegah penyebaran Covid-19. Aturan baru pada masa perpanjangan PPKM Jawa-Bali ini pun menuai beragam tanggapan pro dan kontra.

Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menilai, pengetatan syarat penerbangan pesawat dinilai bagus untuk mencegah terjadinya gelombang ketiga Covid-19.

"Bagus kalau PCR. Seharusnya itu diberlakukan juga buat kereta api, kemudian buat bus, buat kapal laut, semua moda transportasi pakai PCR. Ya harusnya begitu," ujar Tri Yunis, Minggu 24 Oktober 2021.

Meski begitu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kebijakan wajib tes PCR bagi penumpang pesawat diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen.

"Diskriminatif, karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen, bahkan tidak pakai apapun," ucap Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.

Berikut sederet tanggapan pro dan kontra terkait kebijakan wajib tes PCR bagi penumpang pesawat yang dihimpun Liputan6.com:

 

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 10 halaman

1. Pengusaha Hotel

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyoroti syarat kewajiban tes swab PCR untuk izin naik pesawat yang dianggap terlalu kemahalan.

Harga tes swab PCR dinilai masih terlalu tinggi untuk ukuran masyarakat umum. Di sisi lain, itu justru jadi lahan basah bagi klinik maupun rumah sakit sebagai pihak pengada.

"Harga testing juga harus benar-benar yang relevan. Jangan sampai harga tersebut jadi konsumsi bisnis tersendiri dari klinik-klinik," seru Maulana kepada Liputan6.com, Jumat 22 Oktober 2021.

Maulana menilai, harga tes PCR yang lebih murah pun sebenarnya tetap menguntungkan bagi pelaku usaha kesehatan. Sebab, akan banyak masyarakat yang membutuhkan itu sebagai syarat perjalanan dengan pesawat.

"Harusnya tes PCR itu enggak ada lagi yang (hasilnya) 24-10-6 jam, semua hasilnya di bawah 6 jam. Kemudian harga PCR juga sudah harus di kisaran Rp 100 ribu-Rp 200 ribu. Mengingat kalau kita perhatikan dari volume pelaksanaan tes PCR juga cukup tinggi," ungkap dia.

Kebijakan wajib PCR untuk naik pesawat disebutnya pasti akan berpengaruh terhadap permintaan di pasar penerbangan. Terlebih, klinik atau rumah sakit pengada malah memanfaatkan kebijakan itu sebagai peluang bisnis.

"Pelayanan untuk mendapatkan tes itu kan dibagi-bagi, ada yang 24 jam, 10 jam, dan 6 jam. Akhirnya pada saat masyarakat ingin berangkat, sedikit yang mau ambil 24 jam. Rata-rata 10 dan 6 jam. Kalau kita ambil 10 dan 6 jam, tentu harganya mahal, dan tidak sesuai dengan apa yang disampaikan pemerintah bahwa tes itu enggak boleh mahal," terang dia.

Dia berharap pemerintah bisa menurunkan atau dapat membuat suatu kebijakan juga terhadap testing yang sebenarnya sudah dikatakan menjadi kewajiban untuk semua orang untuk bergerak.

Jika situasi ini dibiarkan, ia memprediksi syarat wajib tes PCR untuk izin naik pesawat akan menghambat pergerakan masyarakat. Sehingga ujung-ujungnya bakal menghambat pertumbuhan ekonomi.

"Jadi harga tesnya juga harus murah. Kalau kita dipaksa seperti ini, sementara di sisi lain masyarakat yang ingin bergerak tidak diperbolehkan, tapi di sisi lainnya pelaksanaan tes itu jadi keuntungan tersendiri bagi pelaksanaan tes itu. Harusnya enggak seperti itu," tuturnya.

"Karena bagaimanapun dengan adanya ppkm yang sudah membaik, tentu harapan dari masyarakat dan pelaku usaha itu juga besar, bahwa mereka bisa berkegiatan kembali," tandas Maulana.

 

3 dari 10 halaman

2. Pekerja Bandara

Serikat Karyawan Angkasa Pura (Sekarpura) II bersurat kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat tersebut Sekarpura II mengeluhkan ketidakberimbangan penerapan persyaratan perjalanan antar moda transportasi, khususnya soal kewajiban tes PCR.

"Kami bermaksud menyampaikan keluhan terkait adanya ketidakberimbangan penerapan persyaratan perjalanan dengan menggunakan pesawat udara yang mana dalam Instruksi Menteri dan surat edaran yang mengatur tentang pelaku perjalanan domestik," tulis surat yang ditandatangani Ketua Umum Sekarpura II, Trisna Wijaya di Tangerang-Banten, Sabtu 23 Oktober 2021.

Secara khusus Sekarpura II menyampaikan keluhan para penumpang pesawat yang merasa tidak adil karena harus menunjukkan hasil tes PCR negatif Covid-19. Sementara pengguna transportasi lainnya seperti pengguna mobil pribadi, motor, bus, kereta api dan kapal laut diperbolehkan menggunakan hasil negatif tes swab antigen.

"Timbul pertanyaan dari mereka (pengguna jasa transportasi udara) bahwa mengapa hanya khusus pengguna jasa transportasi udara yang wajib menggunakan PCR (H-2), sementara pengguna jasa transportasi lainnya bisa hanya cukup menggunakan antigen (H-1)," ungkap Trisna.

Padahal, kata Trisna dari sisi kesiapan fasilitas transportasi udara dalam penerapan protokol kesehatan sudah menerapkan protokol kesehatan dan memberikan fasilitas standar yang diminta pemerintah.

Seperti sistem pengecekan suhu tubuh, handsanitizer, sterilisasi barang menggunakan sinar UV dan lainnya. Selain itu penggunaan aplikasi PeduliLindungi juga dilakukan sebagaimana ketentuan pemerintah.

"Bandara sebagai tempat perpindahan penumpang sampai saat ini adalah tempat yang teraman dalam pencegahan penularan Covid-19," kata dia.

Selain itu, para awak kabin juga telah mendapatkan vaksinasi lengkap. Sarana dan prasarana di dalam pesawat juga selalu menyemprotkan desinfektan secara berkala dan dilengkapi teknologi pengelolaan udara High Efficiency Particulate Air (HEPA). Bahkan crew kabin akan menegur penumpang yang lalai terhadap protokol kesehatan.

Trisna mengatakan dari sisi lama waktu dan risiko proses interaksi selama perjalanan di bandara dinilai lebih aman. Sebab penerapan protokol kesehatan dinilai lebih baik karena orang-orang di dalam bandara telah memenuhi syarat untuk terbang. Sementara itu pada pengguna transportasi lainnya, titik-titik tempat berkumpul atau interaksi cenderung lebih beresiko terjadi penularan.

"Banyak titik-titik tempat berkumpul atau berinteraksi yang beresiko terjadi penularan selama menempuh perjalanan di rest area, kapal atau titik lainnya," kata dia.

Sehingga dari perbandingan tersebut bisa terlihat secara langsung tingkat risiko penularan Covid-19 lebih rendah ketika menggunakan transportasi udara dibandingkan jika menggunakan transportasi darat. Untuk itu dia meminta Pemerintah untuk meninjau kembali persyaratan wajib PCR untuk para pengguna transportasi udara.

"Demikian surat ini kami sampaikan, semoga penerapan persyaratan wajib PCR untuk para pelanggan pengguna jasa layanan transportasi udara dapat dikaji kembali," kata Trisna menutup surat.

 

4 dari 10 halaman

3. Epidemiolog

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai syarat tes PCR Covid-19 untuk penumpang pesawat terbang tak urgen dan tak relevan. Pasalnya penyebaran Covid-19 di pesawat relatif lebih aman dibandingkan mode transportasi lain.

"Saking relatif aman di pesawat, sehingga PCR ini menjadi tidak urgen dan tidak relevan," kata Dicky saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu 23 Oktober 2021.

Dia menyampaikan bahwa secara global, sangat sedikit ditemukan adanya klaster penyebaran Covid-19 di pesawat. Dicky mencontohkan pada awal pandemi Covid-19 ada penerbangan dari Wuhan, China menuju Kanada selama kurang lebih 12 jam.

Menurut dia, tidak ada penumpang pesawat itu yang terpapar virus corona. Padahal, ada dua orang yang positif Covid-19 ikut dalam penerbangan itu.

"Saya tidak melihat urgensinya ya, dan saya mengkhawatirkan nanti orang menjadi kontraproduktif lah," ujarnya.

Dicky berpendapat rapid tes antigen cukup menjadi syarat untuk penumpang pesawat. Terlebih, saat ini telah ada vaksinasi Covid-19 dan sudah banyak masyarakat yang mendapat suntikan vaksin.

"Saat ini kan sudah ada vaksinasi ada testing rapid tes antigen juga yang selain cukup efektif, juga cost efektif terjangkau," tutur Dicky.

Sementara itu, Pengetatan syarat penerbangan dinilai bagus untuk mencegah terjadinya gelombang ketiga Covid-19. Aturan yang mewajibkan pelaku perjalanan domestik atau penumpang pesawat untuk menyertakan hasil pemeriksaan negatif Covid-19 dengan skema polymerase chain reaction atau PCR dinilai sudah tepat.

"Bagus kalau PCR. Seharusnya itu diberlakukan juga buat kereta api, kemudian buat bus, buat kapal laut, semua moda transportasi pakai PCR. Ya harusnya begitu," kata Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono, Minggu (24/10/2021).

Dia pun mengakui aturan pengetatan bagi penumpang pesawat dengan menyertakan hasil pemeriksaan negatif Covid-19 dengan skema PCR itu memiliki sisi positifnya.

"Positifnya, itu kan nilai PCR bisa benar-benar menjamin kalau dia benar-benar negatif, atau kalau dia positif, dia benar-benar positif. Kalau tes antigen kan masih ada eror, masih ada kesalahan 5 persen," katanya.

Sehingga, ketimbang tes antigen, PCR dinilai lebih akurat. Dia menilai berbahaya jika tidak dilakukan pengetatan syarat penerbangan.

"Terjadi penularan di pesawat lah, karena kapasitasnya ditingkatkan jadi 100 persen," ungkapnya.

Terlebih, Pandemi Covid-19 gelombang ketiga mengancam Indonesia saat ini. Sehingga, pengetatan syarat penerbangan itu menjadi sebuah keharusan.

"Ya harus lah, tapi untuk semua transportasi harusnya, ya harus untuk mencegah kemungkinan gelombang ketiga," pungkasnya.

 

5 dari 10 halaman

4. YLKI

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen.

"Diskriminatif, karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen, bahkan tidak pakai apapun," katanya yang dikutip dari Antara.

Tulus juga menuturkan Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR di lapangan banyak diakali oleh penyedia sehingga harganya naik berkali lipat.

"HET PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah 'PCR Ekspress', yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," tuturnya.

Tulus menilai syarat wajib PCR sebaiknya dibatalkan atau minimal direvisi. Misalnya, waktu pemberlakuan PCR menjadi 3x24 jam, mengingat di sejumlah daerah tidak semua laboratorium PCR bisa mengeluarkan hasil cepat.

"Atau cukup antigen saja, tapi harus vaksin dua kali. Dan turunkan HET PCR kisaran menjadi Rp 200 ribuan," imbuh Tulus.

Tulus meminta agar kebijakan soal syarat penumpang pesawat terbang benar-benar ditentukan secara adil.

"Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak pihak tertentu yang diuntungkan," pungkas Tulus Abadi.

 

6 dari 10 halaman

5. Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19

Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19, dokter Reisa Kartikasari Broto Asmoro menjelaskan, syarat wajib PCR diberlakukan untuk mengantisipasi penularan Covid-19.

Mengingat mobilitas masyarakat yang semakin tinggi menjelang libur akhir tahun baik Natal maupun tahun baru 2022.

"PCR ini dicanangkan karena mobilitas masyarakat yang makin tinggi. Sedangkan memang penegakkan standar atau gold standar dari WHO sendiri adalah pemeriksaannya PCR. Jadi tentu yang harus digunakan di situ adalah PCR. Untuk penerbangan persyaratannya per 24 Oktober ini adalah PCR untuk semua pelaku penerbangan Jawa-Bali," ujar dr Reisa di sela meninjau sentra vaksinasi di Pagelaran Keraton Kasunanan Surakarta, Sabtu.

Selain itu, pemberlakuan syarat wajib PCR juga untuk mengantisipasi gelombang ketiga Covid-19 yang diprediksi akan terjadi akhir tahun ini. Reisa menyebut, sudah banyak peraturan-peraturan dan peningkatan kewaspadaan mengenai protokol kesehatan yang ada.

"Jadi dengan adanya jumlah kasus yang makin melandai, kemudian penularan infeksi yang menurun, banyak kemudian masyarakat yang menganggap sepele, menganggap abai. Ini yang membuat pemerintah akhirnya membuat peraturan-peraturan, seperti yang berhubungan dengan penerbangan ini," katanya.

Selain itu juga diberlakukan karantina selama 5 hari bagi WNI dan WNA yang masuk ke Indonesia. Hal tersebut disesuaikan dengan perhitungan masa inkubasi.

"Masa inkubasinya kan kalau 5 hari dari kedatangan sudah dilakukan PCR, hari keempat dilakukan PCR, maka sudah bisa kurang lebih menggambarkan kondisi kesehatan. Jadi dirasa 5 hari cukup," jelas dia.

 

7 dari 10 halaman

6. Partai Golkar

Wakil Ketua Komisi IX DPR Fraksi Golkar, Melki Laka Lena, memahami keputusan pemerintah terkait tes PCR menjadi syarat perjalanan menggunakan pesawat terbang yang tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri. Melki memilih melihat sisi positif dari kebijakan tersebut.

Melki memandang syarat tes PCR memang diperlukan dalam melakukan perjalanan jarak jauh. Tujuannya untuk mencegah terjadinya potensi penularan virus corona.

"Dengan konteks itu kami bisa memahami apa yang menjadi keputusan Inmendagri ini karena dengan adanya PCR itu lebih memungkinkan kita untuk mencegah agar orang-orang yang berpotensi menularkan itu tidak kemudian ada pada aktivitas publik," ujar Melki di kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat.

Melki menyebut, tes PCR lebih baik digunakan sebagai syarat untuk mencegah penularan virus. Menurutnya, lebih baik mencegah adanya klaster ketimbang menanganinya.

"Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik mencegah ada potensi munculnya klaster dari pada baru diobati, itu lebih ribet," ucap Melki.

Selain itu, dia menambahkan, salah satu parameter untuk memastikan penanganan pandemi berjalan baik adalah percepatan vaksinasi. Ia berujar, saat ini pemerintah tengah memastikan cakupan dan rasio vaksinasi di daerah.

"Jadi jangan kaget apabila ada daerah yang indikator-indikator lainnya bagus tapi kalau vaksinasinya rendah itu masuk dalam PPKM levelnya bisa naik," tutupnya.

 

8 dari 10 halaman

7. PDIP

Pemerintah menerapkan kebijakan tes PCR menjadi syarat perjalanan menggunakan pesawat terbang. Peraturan tersebut tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut, bahwa pemerintah sudah berupaya untuk mendorong aspek keadilan sosial. Hasto mengatakan, biaya tes PCR yang sebelumnya tinggi juga sudah diturunkan pemerintah.

"Pemerintah juga mendorong untuk terus menerus agar aspek keadilan sosial itu ditegakkan. Biaya PCR yang sebelumnya cukup tinggi berhasil ditekan oleh pemerintah," katanya di kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat.

Selain itu, lanjut Hasto, pemerintah terus menggencarkan vaksinasi gratis untuk masyarakat. Badan Intelijen Negara (BIN) juga membantu pemerintah menyukseskan vaksinasi.

"Pada saat bersamaan, program vaksinasi juga terus menerus dilakukan. Bahkan BIN melakukan dengan gerakan door to door," ucapnya.

Hasto menjelaskan, tes PCR sebagai syarat perjalanan harus dilihat secara menyeluruh. Hal itu guna mencegah penyebaran virus ketika masyarakat menggunakan transportasi.

"Ini kan upaya yang harus dilihat secara keseluruhan. Ketika seseorang masuk dan di dalam angkutan publik baik kereta api, pesawat terbang, ya syarat-syarat seperti itu memang harus dipenuhi," pungkas dia.

 

9 dari 10 halaman

8. Menko Luhut Binsar Pandjaitan

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, kebijakan tes PCR Covid-19 menjadi syarat naik pesawat bukan tanpa alasan. Menurut dia, aturan ini diterapkan karena mobilitas warga akhir-akhir ini mulai meningkat.

Pasalnya, tingginya mobilitas masyarakat dikhawatirkan akan membuat kasus Covid-19 melonjak kembali. Oleh sebab itu, pemerintah mewajibkan penumpang pesawat tes PCR, meski saat ini kasus Covid-19 di Indonesia sudah membaik.

"Perlu dipahami bahwa kebijakan PCR ini diberlakukan karena kami melihat risiko penyebaran yang semakin meningkat karena mobilitas penduduk yang meningkat pesat dalam beberapa minggu terakhir," kata Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers usai rapat bersama Presiden Jokowi, Senin (25/10/2021).

Dia mengingatkan bahwa beberapa negara kembali mengalami lonjakan kasus Covid-19 setelah melakukan relaksasi aktivitas masyarakat. Padahal, tingkat vaksinasi Covid-19 di negara-negara tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

"Contohnya seperti Inggris, Belanda, Singapura dan beberapa negara Eropa lainnya," ucap Luhut.

 

 

 

(Lesty Subamin)

10 dari 10 halaman

Perbedaan Rapid Test Antibodi, Rapid Test Antigen, Swab PCR Test

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.