Sukses

Journal: Jakarta Krisis Sumber Air Bersih, Tantangan Besar PAM Jaya

Cakupan layanan sumber air bersih perpipaan di DKI Jakarta baru mencapai 65 persen.

Jakarta - Fitra Iskandar (43) sudah lebih dari 30 tahun menggunakan layanan perpipaan PAM Jaya. Warga Kelurahan Kepala Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu mengaku tak punya pilihan lain dalam akses layanan air bersih.

Pasalnya, kualitas air tanah di wilayah tersebut buruk. Menurut Fitra, pada akhir 1980-an saja, air tanah sudah terasa asin, kendati kala itu masih bisa dipakai untuk cuci piring dan baju. "Semakin ke sini, rasa air tanahnya semakin asin, baru akhirnya ditinggalkan warga dan sepenuhnya pakai PAM," ucap Fitra kepada Liputan6.com.

Air PAM biasa dia pakai untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi. Untuk minum, Fitra memilih menggunakan air kemasan galon, sedangkan air PAM yang ingin digunakan untuk masak atau minum, biasanya ia endapkan dulu di ember sebelum dimasak. Layanan air PAM di tempat tinggal Fitra juga nyaris tidak pernah mati dan semburan airnya cukup besar.

Dua minggu lalu air yang keluar sangat kotor, tapi itu terjadi hanya sehari, setelah itu layanan normal kembali. "Tagihan rata-rata Rp200 ribu sebulan, itu pemakaian lima orang di rumah. Ya masih wajar lah harga segitu," katanya.

Setali tiga uang, Thomas (32) setiap bulannya mesti merogoh kocek Rp100 ribu-120 ribu untuk membayar tagihan air PAM (Perusahaan Air Minum). Warga Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini cukup puas dengan pelayanan dan kualitas air yang diperolehnya.

Air tersebut bisa ia gunakan untuk keperluan sehari-hari. Jumlah tagihan sebesar itu menurutnya masih wajar dengan pemakaian air sehari-hari untuk dua orang.

Sebelumnya Thomas pernah menggunakan air tanah, tapi dia mengaku memilih memakai air PAM, karena lebih bagus. "Airnya (PAM) kencang, terus bagus juga. Sehari-hari ya bisa dipakai mandi. Minum juga bisa tapi pakai penyaring air dulu," kata Thomas kepada Liputan6.com.

Fitra dan Thomas termasuk warga Jakarta Utara yang beruntung dapat memperoleh akses pelayanan perpipaan dari PAM Jaya. Dalam peta cakupan layanan jaringan perpipaan PAM Jaya, dari lima kota administrasi di DKI Jakarta, sejumlah area di Jakarta Utara dan Barat merupakan zona merah. Artinya, area itu belum memiliki akses perpipaan.

Sumber air dan cakupan layanan PAM Jaya (PAM Jaya)

Warna biru dalam peta cakupan layanan PAM berarti jaringan perpipaan sudah masuk di wilayah tersebut. Adapun warna hijau dalam peta itu artinya wilayah tersebut belum ada jaringan perpipaan, tapi kondisi air tanahnya masih bagus.

Belum 100 Persen

Lalu, bagaimana nasib wilayah yang belum dijangkau atau terlayani PAM, sedangkan kualitas air tanah di daerah tersebut tergolong buruk?

Kenapa juga PAM belum mampu memaksimalkan layanan air bersih, baik secara kualitas maupun kuantitas hingga 100 persen? Padahal, eksploitasi air tanah sudah harus dikurangi agar penurunan muka tanah di Jakarta tidak semakin parah.

Terdapat berbagai faktor kenapa wilayah tersebut tidak mempunyai akses perpipaan. Pihak PAM Jaya menyebut, ketiadaan sumber alternatif air baku menjadi penyebabnya. "Sampai dengan saat ini kami prioritas bagaimana melayani daerah-daerah yang berwarna merah tersebut," ujar Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang Herwono kepada Liputan6.com.

Sampai tahun 2020, cakupan layanan sumber air di DKI Jakarta baru mencapai 65 persen. Sedangkan jumlah pelanggan PAM Jaya hingga Juni 2021 sekitar 907 ribu orang. PAM sendiri menargetkan layanan mencapai 100 persen pada 2030. Air perpipaan yang mengalir ke Jakarta diketahui kurang lebih 20.725 liter per detik.

Untuk mencapai cakupan layanan 100 persen, masih kurang sekitar 13.000 liter air per detik. Namun, pria yang akrab disapa Bambang ini menyebut, pada 2024 akan ada tambahan volume air sekitar 7.200 liter per detik dari Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Karian dan Jatiluhur.

Sementara di Kepulauan Seribu, yang tidak ada sumber air permukaan, PAM Jaya pada 2019 membangun Instalasi Pengolahan Air (IPA) SWRO atau Sea Water Reverse Osmosis, di mana air bakunya berasal dari laut. Terdapat sembilan dari 11 pulau berpenghuni di Kepulauan Seribu yang dilayani PAM melalui IPA SWRO atau secara cakupan mencapai 77 persen. Tapi, Bambang mengakui, biaya produksi SWRO jauh lebih mahal ketimbang menggunakan air permukaan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Kualitas Buruk Air Baku Sungai Jakarta

Pemprov DKI Jakarta dalam RAPBD tahun 2021-2022, mengusulkan adanya Peraturan Gubernur nomor 57 tahun 2021, yang mana pergub tersebut mengajukan dana subsidi sebesar Rp33,58 triliun pada APBD perubahan 2021 dan APBD 2022. Subsidi diberikan sebagai bentuk upaya Pemprov DKI Jakarta untuk kesetaraan pelayanan air bersih warga Ibu Kota.

PAM Jaya sendiri membutuhkan dana sebesar Rp30,1 triliun untuk memenuhi cakupan layanan sumber air bagi masyarakat Provinsi DKI Jakarta sampai 100 persen. Anggaran tersebut diperlukan untuk proses konstruksi beberapa inisiatif pemenuhan layanan sumber air hingga tahun 2030.

Biaya yang besar tersebut dibutuhkan untuk pembangunan jaringan distribusi dan transmisi. Alokasi dananya sendiri yang pertama untuk inisiatif regional yang terdiri atas proyek SPAM Karian (hulu), Jatiluhur (hulu-hilir) dengan keperluan anggaran Rp13,6 triliun.

Lalu, yang kedua yakni proyek SPAM Karian hilir yang memakan anggaran sampai Rp6,8 triliun. Dan ketiga adalah Buaran III, uprating Buaran, Ciliwung, Pesanggrahan, SPAM Komunal, dan untuk new improvement dengan total kebutuhan anggaran mencapai Rp9,7 triliun.

Dana yang dibutuhkan PAM Jaya untuk memenuhi kebutuhan 100 persen air bersih warga DKI Jakarta pada 2030 (PAM Jaya)

Pemprov DKI Jakarta dalam RAPBD 2021-2022 telah mengusulkan Pergub No. 57/2021, yang mengajukan dana subsidi dengan nilai Rp33,58 triliun pada APBD Perubahan 2021 dan APBD 2022. Pengajuan subsidi itu merupakan upaya merealisasikan kesetaraan pelayanan air bersih di DKI Jakarta.

Sampai sekarang, sumber air dan cakupan layanan perpipaan di DKI Jakarta masih begitu tergantung pada air baku yang berasal dari luar area. Sebanyak 81 persen layanan air baku minum perpipaan di DKI Jakarta berasal dari Waduk Jatiluhur atau setara 16.800 liter per detik, sedangkan enam persen diambil dari sungai yang ada di Jakarta.

Kendati terdapat 13 sungai yang melewati wilayah Ibu Kota, ditambah ada 108 embung, situ, dan waduk di DKI Jakarta, faktanya hanya enam persen air baku yang bisa dimanfaatkan untuk pelayanan air minum warga Jakarta. Enam persen air baku yang berasal dari sungai di Jakarta yakni sekitar 1.200 liter air per detik, di mana Kali Krukut menyumbang 400 liter air per detik dan Banjir Kanal Barat sebesar 800 liter per detik. Untuk mengolah air baku yang berasal dari sungai di Jakarta, kata Bambang, diperlukan treatment lanjutan, karena kualitasnya yang di bawah standar. Proses pengolahannya pun ditambahkan teknologi yang lengkap sehingga biayanya menjadi lebih mahal.

Bambang menerangkan, kondisi yang ada sekarang mesti dimanfaatkan hingga menyentuh standar cakupan layanan minimal sebanyak 80 persen. Sebab, berdasarkan regulasi yang berlaku, apabila belum 80 persen, semua keuntungan PAM harus dipakai demi mencapai standar tersebut.

Masih ada 35 persen celah yang belum terpenuhi dalam cakupan layanan PAM Jaya untuk mencapai 100 persen. PAM perlu menciptakan pasokan air sebanyak 11.150 liter per detik serta non-revenue water (NRW) yang hanya sampai 18 persen. Non Revenue Water (NRW) atau ATR (Air Tak Berekening) merupakan perbedaan jumlah air yang masuk ke sistem distribusi dengan air yang tercetak di rekening. NRW adalah jumlah dari air yang dikonsumsi tak berekening (unbilled consumption) dan kehilangan air (water losses).

Rintangan dan Hambatan

Bambang mengatakan, ada tantangan dan rintangan dalam upaya PAM mencapai target 100 persen cakupan layanan sumber air bagi masyarakat Provinsi DKI Jakarta. Salah satu rintangannya yakni sengketa lahan.

Menurut Bambang, ada warga yang punya KTP DKI dan berhak memperoleh air bersih, tapi tinggal di daerah lahan yang menjadi sengketa. Sebelumnya, PAM tidak bisa melayani warga-warga seperti itu. Namun, kini bisa dengan Sambungan Langsung Khusus (SLK), agar warga yang menempati daerah yan status kepemilikan lahannya tidak jelas, tetap memperoleh air bersih.

Yang kedua adalah resources yang terbatas, dalam hal ini adalah air baku. Di Kepulauan Seribu, tidak memungkinkan lagi kita terus-menerus melakukan ekstraksi Air Tanah Dalam, sehingga dibuat SWRO supaya warga di sana mendapatkan air berkualitas. Area-area yang berwarna merah di peta cakupan layanan PAM DKI Jakarta, dilayani dengan cara atau model melalui kios-kios air.

Kemudian, ketiga ada keterjangkauan. Dalam beberapa hal, SWRO memiliki harga pokok produksi lebih tinggi, dibanding tarif yang diberlakukan kepada warga yang memperoleh airnya. PAM memastikan keterjangkauan, tapi tetap melihat operasionalnya yang harus full cost recovery. Ini yang kemudian memunculkan subsidi tarif, merujuk kepada Permendagri 70/2016; Permendagri 21/2020.

3 dari 5 halaman

Pencemaran Sumber Air

Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga, mengatakan Jakarta sebenarnya tidak kekurangan stok air. Justru DKI memiliki banyak sumber air. Masalahnya, sumber air tersebut tercemar dan tidak pernah dioptimalkan.

"Ada beberapa sumber air yang kalau dari awal direncanakan dengan baik, justru kita mempunyai potensi air yang berlebih. Air permukaan ada 13 sungai. Kalau kita jamin airnya bersih, tidak ada sampah dan limbah, berarti air itu kan siap pakai. Jumlah 13 sungai itu lebih dari cukup kalau kita gunakan sebaik-baiknya," kata Nirwono kepada Liputan6.com.

Jakarta juga memiliki 109 situ, danau, embung dan waduk. Belum lagi ditambah perencanaan pembangunan 20 waduk baru sampai 2030. Artinya, kata Nirwono, kalau semua waduk itu dioptimalkan terutama ketika musim hujan untuk menampung air yang banyak dan bebas dari sampah serta limbah, maka ini juga menjadi potensi air yang bisa digunakan.

"Selain itu, di utara Jakarta ada laut yang begitu luas. Air sungai yang terbuang atau mengalir ke laut, itu masih bisa potensinya untuk ditampung dan digunakan sebagai air bersih. Ini yang tidak dilakukan."

"Potensi air semua itu selama ini jadi tempat pembuangan sampah dan limbah yang mengakibatkan air tidak siap digunakan. Kalau pun diolah butuh kerja keras. Ini yang membuat seolah-olah Jakarta kekurangan air," ucap dia.

Dosen Universitas Trisakti itu mengakui, kualitas sumber air Jakarta untuk menyuplai ke PAM Jaya memang di bawah standar. Tapi, itu terjadi karena kesalahan manusia, bukan alamnya.

"Harusnya di sungai itu kan tidak ada pemukiman, sehingga kita bisa menjamin bahwa air sungai yang mengalir tadi bebas dari sampah dan limbah rumah tangga. Begitu juga dengan situ, embung dan waduk, kita membayangkan itu di sekitarnya taman, bukan pemukiman, sehingga dapat dijamin air hujan yang ditampung itu bebas dari sampah dan limbah."

Pencemaran sungai, kata Nirwono, berasal dari bangunan yang ada di tepi sungai. Mulai dari pemukiman sampai industri rumah tangga.

"Kalau itu ditertibkan, otomatis kan sumber utama pencemarannya bisa dihentikan. Selama kita masih memperlakukan air permukaan sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah, maka sampai kapan pun sumber air yang ada di Jakarta tidak bisa digunakan PAM."

"Jadi di sini bagaimana tanggung jawab pemprov DKI menjamin kualitas air permukaan itu layak digunakan PAM," ucap dia.

Nirwono menjelaskan, kunci pengadaan air bersih di Jakarta ada tiga, yakni kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Secara kuantitas, Jakarta seharusnya tak kekurangan karena memiliki banyak sumber air.

Sementara secara kualitas, Jakarta harusnya memiliki kualitas air yang bagus. Namun, karena sumbernya tercemar, maka kualitasnya berada di bawah standar. "Kalau secara kontinuitas, sepanjang tahun ini kan hujan terus. Artinya pasokan air memadai, sayangnya tidak dikelola dengan baik," ucap pria lulusan Royal Melbourne Institute of Technology tersebut.

4 dari 5 halaman

Tarif Air PAM, Mahal atau Murah?

Tarif air perpipaan di Jakarta paling rendah berada pada titik Rp 1.050 per meter kubik (1 meter kubik = 1.000 liter), sedangkan tertinggi mencapai Rp14.650 per meter kubik. Tarif rata-ratanya sendiri berada di sekitar angka Rp7.900.

Hal itu berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 91 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO) Air Minum Semester 1, Tahun 2007.

Menurut Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo, pihaknya telah menyesuaikan tarif pelanggan bagi keperluan rumah tangga, sosial, hingga industri. Sementara untuk di luar Jakarta, ia mengakui daerah lain ada yang tarifnya lebih tinggi dan lebih rendah.

"Jadi harus punya benchmark-lah. Karena model tarif kita kan memang subdisi ya, internal subsidi. Ada yang tinggi untuk komersial industri, dan yang rendah untuk sosial itu Rp1.050," ungkap Bambang.

Tempat-tempat yang digunakan untuk kegiatan sosial seperti panti asuhan, panti jompo, rumah ibadah, serta fasilitas publik, tarif yang dikenakan oleh PAM sebesar Rp 1.050 per meter kubik. Sementara untuk kategori rumah tangga kelas bawah dan yang selevel, tarifnya Rp3.550 per meter kubik, tapi apabila pemakaian air mencapai 20 meter kubik atau lebih, tarifnya menjadi Rp5.500 per meter kubik.

Adapun untuk kategori rumah tangga menengah dan selevelnya, tarif yang dikenakan senilai Rp4.900 per meter kubik, namun jika pemakaian air mencapai 20 meter kubik atau lebih, tarifnya menjadi Rp7.450 per meter kubik.

Untuk kategori rumah tangga menengah atas dan selevelnya seperti aparteman menengah atas, perkantoran, restoran, rumah sakit swasta, dan industri kecil dikenai tarif air PAM sebesar Rp6.825 per meter kubik, tapi tarif menjadi Rp 9.800 apabila pemakaian mencapai 20 meter kubik atau lebih.

Kemudian untuk kategori pelanggan seperti hotel berbintang, salon kecantikan, kafe, bank, pabrik, hingga apartemen mewah dan kondominium wajib membayar tarif air senilai Rp12.550 per meter kubik. Tarif tertinggi yakni sebesar Rp14.650 per meter kubik dikenakan untuk Pelabuhan Tanjung Priok.

Petugas sedang menarik pipa ilegal yang digunakan warga untuk menyedot air Pam Jaya, Pluit, Jakarta Utara, Kamis (22/5/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo).

Dengan tarif sebesar itu, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, seharusnya kualitas air yang didapat sudah sangat bersih dan siap minum. Seperti di Singapura, air layanan perpipaannya sudah bisa langsung diminum oleh pelanggan.

Seperti dilansir situs pemerintahan Singapura pub.gov.sg, tarif air bersih siap minum yang harus dibayarkan penduduk Singapura sebesar 1,21 dolar Singapura per meter kubik ditambah pajak 50 persen dan waterborne fee 0,92 dolar Singapura. Jadi, total dibayar sebesar 2,74 dolar Singapura per meter kubik atau setara Rp28.905 per meter kubik. Tapi, bila pemakaian air melebihi 40 meter kubik, maka tarif menjadi 3,69 dolar Singapura per meter kubik atau sekitar Rp38.927.

Sementara itu, berdasarkan data yang dikumpulkan, pada 2020, tarif air bersih di Malaysia yang dikenakan kepada pelanggan yakni sebesar 1,38 ringgit per meter kubik air atau setara Rp4.716 per meter kubik. Lebih murah dibandingkan Indonesia, yang tarif rata-ratanya mencapai Rp7.900.

Belajar dari Singapura

Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga berharap, Jakarta bisa belajar dari Singapura. Dengan bentuk pulau dan sumber air yang terbatas, Singapura berhasil mandiri secara kebutuhan air. Kuncinya adalah Negeri Singa mampu melakukan pengelolaan air secara berkelanjutan.

"Di Singapura, air selokan bisa ditampung kemudian diolah dengan teknologi terbaru dan diproduksi sebagai air botolan, langsung diminum. Ini menunjukkan bahwa air itu sebenarnya bisa diolah, bisa digunakan, bahkan bisa diminum untuk kebutuhan sehari-hari," ujarnya.

Menurut dia, kalau Singapura bisa, maka Jakarta juga harusnya bisa. Sayangnya, Jakarta punya tidak agenda besarnya.

"Kapan warga Jakarta bisa minum dari keran seperti di Singapura. Kalau mau jalan pintas, kan bisa langsung kerjasama dengan Singapura, kita adopsinya teknologinya. Sayangnya, selama 20 tahun ini saya tidak melihat ada rencana induk atau semacam masterplan-nya," ucap dia.

"Kalau kita lihat dari komitmen gubernurnya, paling tidak dari tahun 2000-an zaman Pak Gubernur Sutiyoso sampai sekarang, tidak ada satu pun gubernur yang berani menyatakan pada tahun sekian di Jakarta akan tersedia air bersih untuk warga ibukota, bisa minum dari keran seperti di Singapura," dia memungkas.

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.