Sukses

HEADLINE: 1.303 Sekolah Jadi Klaster Covid-19 Selama PTM Terbatas, Penanganannya?

Pemerintah menemukan 1.303 sekolah menjadi klaster penularan Covid-19 dengan rincian terdapat 7.287 guru dan 15.456 siswa yang terpapar virus corona selama pelaksanaan PTM terbatas.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menemukan 1.000 lebih sekolah yang menjadi klaster penularan Covid-19 selama pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.

Berdasarkan data dari survei internal Kemendikbudristek yang dipublikasikan pada laman https://sekolah.data.kemdikbud.go.id/kesiapanbelajar/ per Kamis, 23 September 2021, tercatat ada 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19 atau 2,77 persen dari 47.005 sekolah yang mengisi survei. Dari angka tersebut, tercatat ada 7.287 guru dan 15.456 siswa terpapar virus corona. 

Klaster penularan Covid-19 terbanyak ada pada jenjang Sekolah Dasar (SD) mencapai 583 sekolah atau 2,77 persen dari jumlah satuan pendidikan yang mengisi survei. Jumlah guru dan siswa SD yang terkonfirmasi Covid-19 selama PTM terbatas sebanyak 3.166 guru dan 6.928 siswa.

Kemudian klaster Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berjumlah 251 sekolah atau 1,91 persen. Adapun jumlah guru dan siswa PAUD yang terkonfirmasi Covid-19 masing-masing sebanyak 956 pendidik dan 2.006 peserta didik.

Disusul klaster pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) berjumlah 244 sekolah atau 3,42 persen. Jumlah guru dan siswa SMP yang terinfeksi Covid-19 selama PTM terbatas masing-masing sebanyak 1.482 guru dan 2.201 siswa.

Jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) ditemukan klaster penularan Covid-19 sebanyak 109 sekolah atau 4,55 persen dengan rincian 797 guru dan 1.934 siswa terkonfirmasi positif virus corona.

Selanjutnya klaster pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 71 sekolah atau 3,07 persen dengan jumlah 605 guru dan 1.590 siswa SMK terkonfirmasi Covid-19. Dan terakhir terdapat 13 Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi klaster Covid-19 atau 3,27 persen dengan rincian 135 guru dan 112 terpapar corona.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan, pihaknya tidak akan menghentikan PTM terbatas meski ditemukan 1.000 lebih sekolah yang menjadi klaster penularan Covid-19.

Namun dia memastikan bahwa Kemendikbudristek akan terus memonitor kasus penyebaran dan penularan Covid-19 di sekolah yang menggelar pembelajaran tatap muka.

"Itu terus kita monitor. Bukan berarti PTM-nya akan diundur, masih harus jalan. PTM terbatas masih dilanjutkan," ujar Nadiem kepada wartawan di Kompleks DPR RI, Kamis (23/9/2021).

Mantan bos GoJek itu meminta sekolah yang menggelar PTM terbatas agar menguatkan penerapan protokol kesehatan (prokes) pencegahan Covid-19. Sekolah juga diminta terbuka kepada pemerintah terkait kondisi di lingkungannya.

Dia mengingatkan bahwa satuan pendidikan yang menggelar PTM terbatas harus segera menutup sekolah jika ditemukan kasus Covid-19 di lingkungannya.

"Protokol kesehatan harus dikuatkan, tapi sekolahnya masing-masing kalau ada kasus klaster ya harus ditutup segera," ujar Nadiem.

Kepala Bagian Humas Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taga Radja menyatakan bahwa pihaknya hanya menemukan satu sekolah yang menjadi klaster penularan Covid-19 saat pelaksanaan PTM terbatas. Data itu tentu jauh berbeda dengan temuan Kemendikbudristek yang menyebut ada 25 klaster sekolah di Jakarta.

"Kalau klaster itu hanya satu yang di SDN Klender, itu pun sudah di-tracing tiada lagi yang lain. (Soal 25 klaster) ini yang saya enggak berani menjawab, karena itu kan survei Kemendikbud," kata Taga saat dikonfirmasi, Kamis.

Berdasarkan hasil evaluasi PTM terbatas yang dilakukan Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada Rabu 22 September 2021, tercatat ada tujuh sekolah di Ibu Kota yang ditutup. Enam sekolah ditutup sementara karena ditemukan kasus Covid-19, sedangkan satu lainnya karena melanggar prokes.

Taga merinci, kasus Covid-19 itu ditemukan di SDN 03 Klender sebanyak dua siswa, kemudian di SMK 66 ada satu guru yang berasal dari klaster rumah, SDN 02 Pondok Ranggon satu siswa juga dari klaster rumah, begitu juga SMP PGRI 20 ada satu guru, SMA 24 ada satu guru, dan SMA 20 satu siswa.

Saat ini semua sekolah tersebut sudah kembali dibuka setelah dilakukan tracing dan tidak ditemukan lagi penularan. Kecuali SDN 05 Jagakarsa yang belum diizinkan melakukan PTM terbatas karena melanggar prokes.

"Ketika ada temuan, walauapun itu klaster rumah kita langsung segara SOP-nya ditutup selama 3 hari, didisinfektan dan di-tracing langsung, ternyata dari enam sekolah itu hanya satu (klaster sekolah) yang Klender 03 yang ada 1 temannya kena, tapi setelah itu enggak ada lagi yang kena, semuanya negatif," ucapnya.

Taga menjelaskan, pihaknya bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta belum menyebut klaster jika hanya ditemukan satu orang yang terpapar Covid-19 pada sebuah tempat. Karena itu, Dinas Pendidikan DKI tidak menyebut lima sekolah di atas sebagai klaster penularan Covid-19. 

"Kalau sudah lebih dari satu atau menularkan, itu dikatakan klaster. Tentunya yang tadi seperti SDN Klender 03," katanya.

Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengaku tidak mengetahui perihal adanya 25 sekolah di Ibu Kota yang menjadi klaster penularan Covid-19 saat PTM terbatas. Namun dia meyakini bahwa PTM terbatas di Jakarta dilaksanakan berdasarkan standard operating procedure (SOP) yang telah ditentukan.

"Sejauh ini kami meyakini protokol kesehatan yang dilaksanakan PTM di sekolah sudah sesuai dengan mekanisme, SOP yang ada," ujar Riza di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (22/9/2021).

Kendati begitu, politikus Gerindra ini meyakini bahwa klaster tersebut dimungkinkan terjadi akibat penularan di luar sekolah.

"Walaupun nanti ada yang tertular, kemungkinan itu dalam perjalanan atau di rumah, bukan di sekolah. Kami sampai hari ini yakin optimis PTM tidak menimbulkan klaster," kata Riza.

Berdasarkan data survei Kemendikbudristek per Kamis, 23 September 2021, terdapat 25 sekolah di DKI Jakarta yang menjadi klaster penularan Covid-19 selama gelaran PTM terbatas. Angka itu setara dengan 2,77 persen dari 902 sekolah di Jakarta yang telah mengisi survei.

Kemendikbudristek mencatat, ada 227 guru dan tenaga kependidikan serta 241 siswa yang terkonfirmasi positif Covid-19 selama PTM terbatas di DKI Jakarta.

Klaster paling banyak ditemukan pada jenjang SMP yakni enam sekolah, PAUD lima sekolah, SD dua sekolah, SMA empat sekolah, SMK lima sekolah, dan SLB dua sekolah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Haruskah PTM Dihentikan?

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono mengaku telah mewanti-wanti pemerintah agar lebih hati-hati saat memberlakukan PTM terbatas. Seharusnya pemerintah memiliki data siswa yang terinfeksi Covid-19 untuk memfilter sekolah tatap muka. 

"Sebaiknya survei dulu pada anak SD, SMP, SMA berapa orang yang telah terinfeksi, jadi yang boleh masuk yang tidak terinfeksi, asal izin orangtua boleh masuk, tapi risikonya dia bisa terinfeksi," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis.

Tri Yunis menilai, pemerintah saat ini masih belum siap melaksanakan PTM terbatas. Apalagi, menurut dia, masih banyak pelajar terutama di tingkat SMA yang belum divaksinasi Covid-19. Karena itu, ia meminta agar pelaksanaan sekolah tatap muka ditunda dulu. 

"Ya ditunda lah, jadi online lagi. Kemudian setelah hasil survei baru dibuatkan kebijakan dasarnya," katanya.

Lebih lanjut, dia menyatakan bahwa kasus Covid-19 di Indonesia saat ini masih belum terkendali. 

"Menurut saya Menko Maritim mengatakan Ro-nya (reproduction number) sudah 0,9 itu terkendali jauh terkendali, waduh itu ahlinya siapa. Kalau terkendali itu bukan melihat Ro, tapi melihat keseluruhannya. Jadi menurut saya lihat kurva wabahnya," ucap Tri Yunis Miko.

Sementara itu, Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menuturkan bahwa PTM terbatas harus menjadi salah satu prioritas karena menyangkut kualitas pendidikan dan masa depan anak-anak atau generasi penerus.

"Itu sebabnya kenapa dalam skema besar strategi pandemi, dalam setiap pandemi termasuk di Indonesia sejak 2008 itu, saya bilang ya sekolah itu paling akhir ditutup ketika terjadi pandemi dan paling awal dibuka sejak pandemi berakhir. Itu secara global tidak berubah sampai sekarang," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (23/9/2021).

Karena itu, kata dia, semua pihak harus memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya program pembelajaran tatap muka, namun dengan meminimalisasi berbagai risiko. Caranya dengan benar-benar menerapkan strategi tracing, testing, dan treatment (3T) secara transparan dan valid.

"Kalau datanya tidak valid ya ini akan membuat seperti sekarang, bahwa katanya turun misalnya, tapi dengan adanya klaster ini membuktikan sebaliknya. Dan ini juga jadi contoh bahwa kalau testing-nya dilakukan benar kita akan tahu kondisi sebenarnya," ujar Dicky.

Memang belum semua anak sekolah bisa mendapat vaksinasi Covid-19, karena untuk saat ini vaksin corona baru bisa diberikan kepada usia 12 tahun ke atas. Namun begitu, data epidemiologi secara global menunjukkan bahwa anak memiliki risiko terpapar paling rendah.

"Data global sejauh ini rata-rata 2 persen, enggak jauh beda dari Indonesia. Ini klasternya ya 2 persenan. Tapi tentu kita harus belajar dalam artian harus dikaji betul apa yang menyebabkan terjadi ini. Mana titik lemah, titik lengah yang harus diperbaiki, termasuk perbaikan manajemen pengendalian di tingkat daerah dan nasional, juga bahwa datanya harus kuat, harus valid," katanya.

Dicky menuturkan, munculnya ribuan sekolah yang menjadi klaster penularan Covid-19 menunjukkan bahwa ada persoalan pada data yang disajikan pemerintah. Artinya kasus penularan corona yang semula dinyatakan sudah aman, ternyata belum aman.

Selain itu, keberadaan orang dewasa di sekitar anak-anak sekolah juga harus dikaji kembali. Karena tidak menutup kemungkinan, penularan pada klaster sekolah berasal dari interaksi dengan orang-orang dewasa. Karena itu, interaksi anak dengan orang dewasa, seperti penjemputan sekolah dan sebagainya harus dihindari, kecuali dengan orangtuanya. 

"Kemudian makan misalnya, siswanya makan di sekolah, tapi gurunya malah makan di luar, atau pegawai, satpamnya. Atau ada orang yang nongkrong di sekolah, mikirnya sepi, nungguin. Ini hal-hal kecil tapi perlu diperhatikan. Cari dari unsur itu, orang dewasa yang ada di sekolah, enggak mesti guru, semua yang ada berinteraksi di sekolah atau bahkan di luar sekolah ini jangan-jangan banyak ojek nongkrong, nunggu, atau pedagang, itu harus dikaji, jadi catatan," ucap Dicky.

Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa fenomena seperti ini juga ditemukan di beberapa negara yang bahkan kasusnya lebih terkendali, seperti Australia. Di negeri kanguru itu, klaster penularan Covid-19 di sekolah meningkat lima kali lipat sebelum ada varian Delta. 

"Tapi hal yang menggembirakan tidak ada fatalitas, kematian enggak ada. Bahkan yang masuk ICU pun tidak ada. Masuk rumah sakit ada di bawah 2 persen tapi umumnya karena enggak ada yang ngerawat. Kalau ada yang ngerawat ya bisa di rumah. Nah itu dengan protokol ketat, dengan respons public health 3T, 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas), vaksinasi populasi yang juga kuat," tuturnya.

Dicky khawatir, kasus penularan Covid-19 yang terjadi selama pelaksanaan PTM terbatas ini sama seperti kejadian di Brisbane, Australia. Kata dia, klaster sekolah di Brisbane muncul setelah orangtua salah satu siswa SMA yang memiliki mobilitas tinggi di luar rumah terinfeksi Covid-19 dan menularkan kepada anaknya. Virus tersebut kemudian terbawa ke sekolah.

Karena itu, dia meminta pemerintah juga memperhatikan kondisi di lingkungan masyarakat umum. Sebab, menurutnya, penularan Covid-19 di masyarakat bisa 10 kali lipat lebih banyak dari klaster yang ditemukan di sekolah selama PTM terbatas. 

"Ini yang jadi catatan serius. Karena yang harus ditindaklanjuti dari kasus ini bukan sekolahnya, tapi masyarakatnya. Berarti di masyarakat ini ada kurang kuat respons di 3T, kurang kuat terutama di 5M dan vaksinasi," kata Dicky.

"Jadi responnya, perbaikannya bukan hanya di sekolah saja tapi di public health intervention-nya, di kabupaten kota provinsi itu yang harus diperkuat, di-review, dilihat lagi. Kalau kemarin katanya misalnya turun berarti ada data yang tidak kuat rujukannya, sumber datanya, ini yang harus diperbaiki," tandasnya.

3 dari 4 halaman

Sebaran Klaster Sekolah Selama PTM Terbatas

Kemendikbudristek menemukan 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19 selama pelaksanaan PTM terbatas. Hal itu terungkap dari data survei yang dilakukan oleh Kemendikbudristek dan dipublikasikan pada situs https://sekolah.data.kemdikbud.go.id/ per Kamis, 23 September 2021.

Jawa Timur menjadi provinsi paling banyak ditemukan klaster Covid-19 di sekolah selama gelaran PTM terbatas. Terdapat 165 atau 2,77 persen sekolah di Jawa Timur yang menjadi klaster penyebaran Covid-19.

Kemudian diikuti Jawa Barat dengan temuan klaster Covid-19 pada 149 sekolah atau 2,25 persen. Disusul Jawa Tengah yang mencatat temuan klaster pada 131 sekolah atau 3,70 persen.

Selanjutnya ada Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 104 sekolah atau 6,08 persen. Serta Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang masing-masing mencatat jumlah klaster di sekolah sebanyak 52 atau 2,43 persen dan 51 atau 3,88 persen.

Berikut sebaran klaster Covid-19 pada sekolah di seluruh Tanah Air:

  1. DKI Jakarta: 25 sekolah (2,77 persen)
  2. Jawa Barat: 149 sekolah (2,25 persen)
  3. Jawa Tengah: 131 sekolah (3,70 persen)
  4. DI Yogyakarta: 41 sekolah (3,77 persen)
  5. Jawa Timur: 165 sekolah (2,11 persen)
  6. Aceh : 30 sekolah (2,95 persen)
  7. Sumatera Utara: 52 sekolah (2,43 persen)
  8. Sumatra Barat: 51 sekolah (3,88 persen)
  9. Riau: 29 sekolah (2,82 persen)
  10. Jambi: 30 sekolah (3,27 persen)
  11. Sumatera Selatan: 32 sekolah (3,43 persen)
  12. Lampung: 43 sekolah (3,79 persen)
  13. Kalimantan Barat: 50 sekolah (3,16 persen)
  14. Kalimantan Tengah: 49 sekolah (4,94 persen)
  15. Kalimantan Selatan: 29 sekolah (2,64 persen)
  16. Kalimantan Timur: 19 sekolah (4,63 persen)
  17. Sulawesi Utara: 8 sekolah (1,97 persen)
  18. Sulawesi Tengah: 18 sekolah (3,16 persen)
  19. Sulawesi Selatan: 33 sekolah (1,25 persen)
  20. Sulawesi Tenggara: 5 sekolah (0,98 persen)
  21. Maluku: 8 sekolah (1,90 persen)
  22. Bali: 9 sekolah (1,21 persen)
  23. Nusa Tenggara Barat: 32 sekolah (3,06 persen)
  24. Nusa Tenggara Timur: 104 sekolah (6,08 persen)
  25. Papua: 31 sekolah (6,75 persen)
  26. Bengkulu: 15 sekolah (3,59 persen)
  27. Maluku Utara: 6 sekolah (2,71 persen)
  28. Banten: 44 sekolah (2,59 persen)
  29. Kepulauan Bangka Belitung: 16 sekolah (6,69 persen)
  30. Gorontalo: 15 sekolah (2,77 persen)
  31. Kepulauan Riau: 13 sekolah (4,05 persen)
  32. Papua Barat: 9 sekolah (5 persen)
  33. Sulawesi Barat: 2 sekolah (0,72 persen)
  34. Kalimantan Utara: 9 sekolah (2,79 persen)

 

4 dari 4 halaman

Infografis Penanganan Klaster Covid-19 di Sekolah

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.