Sukses

Menguji Nyali Presiden Jokowi dan Pimpinan KPK di 30 September

Angka keramat itu pun kembali ramai di khalayak. Namun, bukan lagi dikaitkan dengan PKI, tapi penyingkiran para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos TWK.

Liputan6.com, Jakarta "Ingat, Mas, Mas sedang melaksanakan rencana besar untuk kepentingan orang banyak. Segala sesuatu yang bersifat pribadi harus disingkirkan demi karier mas dan juga demi masa depan anak-anak kita."

Demikianlah petikan dari novel karya Putu Wijaya yang berjudul Nyali yang diterbitkan pertama kali tahun 1983. Percakapan seorang komandan yang tengah dinasehati istrinya. Sang komandan sempat meragu untuk menumpas para gerombolan Zabasa yang dianggap sebagai penganggu.

Banyak yang mengaitkan novel tersebut akan intrik politik orde baru dan dengan kejadian Gerakan 30 September, yang perlahan memuluskan karir Soeharto sehingga akhirnya menjadi Presiden kedua RI.

Angka keramat itu pun kembali ramai di khalayak. Namun, bukan lagi dikaitkan dengan PKI, tapi penyingkiran para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos TWK.

"G30STWK. Hari ini kami dpt SK dr pimpinan KPK. Mereka memecat kami! berlaku 30 september 2021. Layaknya, mereka ingin terburu2 mendahului Presiden sebagai kepala pemerintahan. Memilih 30 September sbg sebuah kesengajaan. Mengingatkan sebuah gerakan yg jahat & kejam. Diterima?," demikian pernyataan eks Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono dalam akun twitternya @girisuprapdiono seperti dikutip Liputan6.com, Kamis (16/9/2021).

Baginya, ada langkah yang terorganisir dalam rangka mempercepat pemecatan para pegawai KPK. Padahal, batas waktu peralihan sendiri masuk di bulan Oktober 2021.

"Rupanya, ada gerakan koordinasi percepatan pemberhentian oleh "pihak pemerintah" & pimp KPK. Menurut UU KPK, batas waktu akhir 2 th peralihan kami a/ 17 okt 2021. Mrk sudah gak tahan & memilih 30 september. Ada apa?," kata Giri.

"Jadi..siapa yang mengendalikan negara ini?," sambungnya.

Penyidik nonaktif KPK, Novel Baswedan sudah mengetahui dirinya akan dipecat pada 30 September 2021. Menurut Novel, hal tersebut merupakan risiko yang harus dia terima sebagai penegak hukum yang memberantas korupsi.

"Kami sadar memberantas korupsi musuhnya berat, lawannya banyak, demi kepentingan bangsa dan negara maka kami mengambil jalan itu. Kami akan selalu sampaikan bahwa setiap langkah yang kami lakukan, kami sadar dengan segala risikonya dan kami akan berbuat sebaik-baiknya," ujar Novel di Gedung KPK.

Meski demikian, Novel menyayangkan tindakan pimpinan KPK yang dia anggap sebagai pembangkangan terhadap hukum. Dia menyebut, rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM menyatakan proses tes wawasan kebangsaan (TWK) melanggar.

Rekomendasi tersebut telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Menurut Novel, meski MK menyatakan TWK konstitusional, namun dalam implementasinya, tes tersebut tidak boleh melawan hukum, sewenang-wenang, atau dilakukan dengan maladministrasi.

"Jadi saya kira permasalahan ini menunjukkan satu di antaranya pimpinan KPK menunjukkan seperti berani melawan hukum. Ini tentunya saya sebagai lebih dari 20 tahun sebagai penegak hukum sedih. Coba kita bisa bayangkan," kata Novel.

Novel menyebut dirinya dan 56 orang lainnya yang akan dipecat sudah memperjuangkan hak sebagai pegawai KPK. Menurut Novel, setidaknya sejarah akan mencatat dirinya dan pegawai lain pernah berjuang dalam pemberantasan korupsi.

"Setidaknya sejarah akan mencatat kami berbuat baik. Kalau pun ternyata, negara memilih atau pimpinan KPK dibiarkan untuk tidak dikoreksi perilakunya melanggar hukum, masalahnya bukan karena kami," kata Novel.

Ketua Wadah KPK Yudi Purnomo Harahap tengah menyiapkan gugatan hukum atas pemberhentian tersebut. Menurut dia, kondisi tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. Padahal, para pegawai yang dipecat itu memberikan pengabdian penuh dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan. Mengapa para pejuang antikorupsi, penyidik, penyelidik, dan pegawai lainnya yang selama belasan tahun ini telah memberantas korupsi namun pada kenyataannya malah diberhentikan dengan alasan TWK," jelas Yudi.

Yudi pun kembali mengingatkan instruksi Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Mei 2021 lalu yang mengatakan bahwa TWK tidak boleh dijadikan sebagai dasar pemecatan pegawai KPK.

Dengan kondisi sekarang, hanya Jokowi yang dinilai dapat menangani langsung masalah tersebut.

"Kami berharap bahwa keputusan Presiden nanti adalah keputusan yang bijak demi upaya untuk menyelamatkan pemberantasan korupsi," Yudi menandaskan.

 

Berkilah Atas Nama Hukum

Pimpinan KPK telah melakukan pembahasan pemecatan 57 pegawai yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada awal pekan ini. Surat keterangan pemberhentian dengan hormat sendiri telah dilayangkan dan tertera resmi pada 30 September 2021.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, hal ini menindaklanjuti putusan MK dan MA.

"Kami pada tanggal 13 September menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) tersebut melakukan koordinasi," kata dia di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (15/9/2021).

Menurut Ghufron, pihaknya memilih berkoordinasi dengan Kemenpan RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) usai MA dan MK mengeluarkan putusan terkait gugatan pelaksanaan TWK.

"Kami ingin memberikan keputusan berdasarkan hukum yang kuat," jelas dia.

Hasil koordinasi tiga instansi tersebut, lanjut Ghufron, menyatakan bahwa pemecatan bisa dilakukan di akhir bulan September 2021.

Selain itu, dibahas juga terkait pelantikan 18 pegawai yang lolos pelatihan bela negara, dan tiga orang yang akan melakukan TWK susulan.

"Maka kemudian kami keluarkan SK sebagaimana hasil-hasil dari koordinasi dengan pemerintah tersebut," kata Ghufron.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menunggu Jokowi

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra mengatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus turun tangan terkait nasib 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lulus menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan akan dipecat pada 30 September 2021.

"Fatsun atau sopan santunnya, Presiden sebagai pemimpin eksekutif puncak mesti menertibkan Pimpinan KPK yang berlaku sewenang-wenang," kata dia, saat dikonfirmasi, Kamis (16/9/2021).

Selain itu, Feri menilai, Presiden Jokowi juga harus mengikuti rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman Republik Indonesia.

"Fatsunnya pula Presiden mengikuti rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM sebagai lembaga resmi negara," jelas dia.

Sementara, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, melihat jika Presiden Jokowi tidak turun tangan, maka dipandangnya seperti lari dari tanggung jawab.

"Menurut saya, pembiaran Jokowi harus dipahami bahwa ini yang memberhentikan pegawai KPK adalah Jokowi. Sebab, yang buat UU 19, PP Alih Status, dan PP Manajemen Pegawai kan Jokowi," kata dia.

Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Sigit Riyanto turut melihat sikap Jokowi yang terkesan lepas tangan atas polemik pemecatan pegawai KPK.

Hingga akhirnya kini lembaga antirasuah itu dinilai mengalami involusi dan pemberantasan korupsi mengalami regresi.

"Tidak konsisten dengan pidato pertama, terdahulu, ketika TWK dirgugat banyak pihak karena tidak relevan," kata Sigit.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengingatkan Presiden Jokowi mempunyai peran penting terkait polemik pemecatan pegawai KPK.

Dia menyinggung UU KPK yang menjadikan Presiden sebagai figur sentral dalam tubuh KPK. Peralihan status pegawai lembaga antirasuah itu dari staf independen menjadi PNS telah dengan sendirinya menjadikan Jokowi adalah atasan langsung.

"Dengan begitu, maka sudah semestinya Presidenlah yang mengambil alih kasus peralihan ini setelah terjadi kisruh dalam prosesnya. Presiden pula yang sudah semestinya memastikan bahwa rekomendasi baik dari Komnas HAM maupun Komisi Ombusmand, dilaksanakan oleh bawahannya," kata Ray saat dikonfirmasi, Kamis (16/9/2021).

"Jika bawahannya tidak melaksanakan apa yang menjadi tugas mereka, sudah semestinyalah Presiden menegur atau bahkan memberi sanksi atas mereka. Bukan sebaliknya, mengeluhkan bahwa semua hal dikembalikan kepada Presiden," sambungnya.

Juru Bicara (Jubir) Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman enggan berkomentar banyak soal sikap Presiden terkait nasib pegawai KP) yang tak lolos TWK dan akan dipecat pada 30 September 2021.

Menurut dia, hal itu adalah kewenangan KPK sebagai lembaga independen.

"KPK lembaga independen sehingga segala hal terkait KPK menjadi wewenang KPK. Mohon wawancara Jubir atau Komisioner KPK," kata Fadjroel saat dikonfirmasi Liputan6.com, Kamis (16/9/2021).

Pernyataan Fadjroel hampir sama dengan yang disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko beberapa waktu lalu.

Moeldoko menyinggung soal strukur organisasi dan tanggung jawab tugas dari sebuah institusi.

Menurut dia, tidak semua urusan badan atau lembaga yang berpolemik dengan persoalan internal lantas dibawa ke tangan presiden untuk diselesaikan.

Hal ini disampaikannya menanggapi pertanyaan wartawan terkait sejumlah pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK.

"Kita berbicara struktur ya, dalam struktur itu ada kotak, organisasi itu struktur ada kotak, dalam kotak itu ada pejabatnya. Dalam pejabatnya itu ada job description-nya, tugas dan tanggung jawabnya. Jangan semua persoalan itu lari ke presiden," tutur Moeldoko kepada wartawan, Rabu,18 Agustus 2021.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.