Sukses

PKS: Koalisi dan Oposisi Jomplang, Wacana Amandemen UUD 1945 Jadi Berbahaya

PKS menilai, apabila amandemen UUD 1945 nekat dilakukan, maka proses adu argumen dan pembahasan tidak akan optimal karena masih fokus menangani Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyatakan, amandemen UUD 1945 bukanlah suatu hal yang terlarang. Namun, saat wacana presiden tiga periode tengah berkembang seperti saat ini, sehingga melakukan amandemen maka justru berbahaya.

Hal ini menanggapi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkilfi Hasan yang melontarkan pernyataan amandemen UUD 1945 sudah berusia 23 tahun dan perlu dievaluasi. PAN juga telah menyatakan sikap bergabung dengan parpol koalisi pendukung Presiden Jokowi.

"(Amandemen) tidak dilarang, tapi dalam kondisi isu tiga periode sudah berkembang, plus perimbangan koalisi dan oposisi yang jomplang, ide amandemen berbahaya," ujar Mardani pada wartawan, Rabu (1/9/2021).

Tak hanya masalah isu tiga periode dan jomplangnya jumlah koalisi dan oposisi, situasi pandemi juga tidak memungkinkan pembahasan amandemen secara optimal. Mardani mengingatkan agar semua pihak fokus mengatasi pandemi Corona.

Mardani menyebut, apabila amandemen UUD 1945 nekat dilakukan, maka proses adu argumen dan pembahasan tidak akan optimal. Ia mengingatkan amandemen harus dilakukan secara total dan penuh kehati-hatian.

"Plus di masa pandemi kita tidak bisa optimal mengadu hujat/argumen," kata dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ketum PAN: Setelah 23 Tahun, Amandemen Perlu Dievaluasi

Sebelumnya, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan melontarkan wacana amandemen, ia berpendapat perlu ada evaluasi setelah 23 tahun berjalannya amandemen UUD 1945.

"Jadi setelah 23 tahun, hasil amandemen itu menurut saya memang perlu dievaluasi. Termasuk demokrasi kita ini, kita mau ke mana perlu dievaluasi," ucap pria yang kerap disapa Zulhas, Selasa 31 Agustus 2021.

Wakil Ketua MPR itu mengakui, banyak masukan mengenai amandemen UUD 45, termasuk ada celetukan mengenai sistem demokrasi terpimpin yang cocok diterapkan.

Namun, ia menilai bahwa sesuai sila keempat Pancasila, maka demokrasi harus berlandaskan musyawarah dan mufakat.

"Ada juga yang mengatakan, kita cocoknya perlu demokrasi terpimpin. Ada yang bicara gitu. Saya menyampaikan, jelas dong sila keempat itu 'Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan'. Jadi, kalau mau kita ini memang demokrasi yang musyawarah, demokrasi dimusyawarahkan. Dipimpin oleh orang yang punya hikmah. Jadi bukan terpimpin. Kalau di sila keempat itu kan demokrasi dimusyawarahkan," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.