Sukses

Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo Raih Gelar Doktor dari UPH

Hadi Pornomo mengusung disertasi berjudul "Eksistensi Single Identity Number Dalam Bank Data Perpajakan Sebagai Upaya Hukum Pencegahan Tindak Pidana Korupsi".

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Hadi Poernomo meraih gelar doktor dari Universitas Pelita Harapan (UPH) dengan predikat summa cumlaude. Penerima bintang Mahaputra Utama ini mengusung disertasi berjudul "Eksistensi Single Identity Number Dalam Bank Data Perpajakan Sebagai Upaya Hukum Pencegahan Tindak Pidana Korupsi".

Hadi Poernomo menilai, Single Identity Number (SIN) dapat menggenjot penerimaan pajak negara.

"SIN Pajak merupakan sebuah alat yang krusial dalam penerimaan perpajakan. SIN Pajak dapat digunakan baik untuk ekstensifikasi maupun intensifikasi dalam penerimaan pajak, sehingga SIN Pajak dapat menjadi jalan bagi Indonesia untuk terbebas dari utang negara sampai mencapai kemandirian fiskal. Tujuan utamanya pencapaian kesejahteraan bangsa secara mandiri melalui pajak," ujar Hadi dalam keterangan tulis, Minggu (15/8/2021).

Tidak hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai target penerimaan negara melalui pajak, konsep link and match SIN Pajak juga dinilai bisa digunakan untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi. Konsep tersebut akan memetakan data yang benar dan data yang tidak benar, serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT. 

"Artinya tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh WP (wajib pajak). Dalam penanganan kasus korupsi dikenal pembuktian terbalik, sehingga WP yang melaporkan SPT secara tidak benar akan diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa hartanya diperoleh secara legal," papar dia.

Hal tersebut akan membuat WP berpikir ulang untuk melakukan sebuah perolehan harta secara ilegal, sehingga SIN pajak akan dapat digunakan untuk pemberantasan korupsi. Bahkan konsep link and match tersebut diklaim dapat digunakan untuk mengurangi kredit macet secara signifikan.

Hadi Poernomo menutirkan, SIN Pajak dapat digunakan sebagai pencegahan korupsi karena memiliki karakteristik yang sama, yaitu adanya kesempatan dari subyek untuk menyembunyikan harta dan cara perolehannya. Dalam perpajakan, kesempatan tersebut didapat karena pemberlakukan Self Assessment System melalui UU 6/1983 yang memberikan kewenangan wajib pajak untuk menghitung sendiri mengenai penghasilannya dalam SPT. 

"Yang kemudian terjadi adalah, WP merasa mendapatkan kesempatan untuk melakukan manipulasi SPT karena DJP tidak memiliki data pembanding atas SPT tersebut," kata mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sudah Ada di Zaman Bung Karno

Hadi menjelaskan ide ini berasal dari konsep transparansi yang sudah digagas sejak zaman Bung Karno melalui Perppu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Konsep transparansi pada Perppu 2/1965 tersebut direformulasi kembali mulai tahun 2001 melalui Grand Strategy DJP, disusul dengan Keputusan Bersama Pemerintah dan DPR pada 16 Juli 2001. 

Konsep tersebut dituangkan dalam UU 19/2001 pada 14 November 2001. Berdasarkan hal tersebut, sejak 2001 DJP melakukan penandatanganan MoU dengan pihak terkait baik dari Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga, Swasta dan Pihak-pihak lain untuk membuka data baik yg non rahasia baik data finansial maupun non finansial, dan menyambungkan data tersebut secara sistem ke DJP.

"Bahkan undang-undang mengenai transparansi melalui SIN Pajak yang telah hadir sejak tahun 2007 melalui UU 28/2007 pada Pasal 35A dan disempurnakan lagi pada tahun 2017 melalui UU 9/2017. 

Pasal 35A UU 28/2007 menyebutkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP," jelas dia.

Era tersebut, kata Hadi memberi kewajiban semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain wajib untuk saling membuka dan menyambung sistem ke pajak yang non rahasia baik yang finansial/non finansial ke DJP, meskipun masih adanya beberapa hambatan terkait masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan.

Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan Perppu 1/2017 yang mengatur secara khusus akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI. Perpu tersebut kemudian pada 8 Mei 2017 disahkan lembaga legislatif melalui UU 9/2017.

"UU ini secara legal formal menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU, antara lain UU tentang perbankan. Sehingga semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain, wajib untuk membuka dan terhubung ke dalam sistem perpajakan, baik data yang bersifat rahasia maupun non rahasia dan data finansial maupun non finansial.

Namun meskipun secara de jure SIN Pajak ini telah memiliki landasan yang kuat, namun secara de facto SIN Pajak ini belum dapat terlaksana," beber dia.

Namun praktiknya, menurut Hadi terjadi inkonsistensi regulasi, yaitu ketentuan UU yang belum lurus terkait dengan akses DJP terhadap transaksi keuangan, menjadi salah satu penyebabnya. Dalam peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam peraturan pemerintah, yang diturunkan kembali dalam peraturan menteri serta surat edaran. Aturan-aturan tersebut secara jelas membuat pengaturan yang melampaui peraturan yang di atasnya, antara lain adanya subdelegasi aturan yang tidak sesuai kaidah, pembatasan penggunaan dan pembatasan nilai. 

"Seperti terlihat dalam ketentuan Pasal 35A UU KUP jelas diatur dengan penggunaan frasa “diatur dengan Peraturan Pemerintah” yang menurut ketentuan yang diatur dalam Angka 203 Bab II Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memiliki arti bahwa pendelegasian pembentukan peraturan turunan Pasal 35A UU KUP diberikan kepada peraturan setingkat Peraturan Pemerintah," katanya.

Namun, pada kenyataannya pasal tersebut diatur dengan didelegasikan kembali ke tingkat peraturan menteri. Akibatnya, menurut Hadi tujuan dan sasaran dari UU yang mengaturnya tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga perlu executive review atau revisi atas peraturan oleh lembaga eksekutif secara lengkap dengan melakukan review atau mengubah atau mengganti beberapa peraturan yang inkonsisten.

"Selain itu, faktor kelembagaan juga perlu menjadi perhatian. DJP saat ini merupakan sebuah eselon 1 di bawah sebuah kementerian. Padahal DJP mengemban amanat dari UUD1945 dan 9 undang-undang, antara lain UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Bea Meterai, UU PBB, UU PPSP, UU TA, UU Akses Informasi Keuangan, UU Ciptaker, dan UU Pengadilan Pajak," pungkas dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.