Sukses

Membangun Empati, Tak Harus Kaya Untuk Berbagi di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 bikin orang susah, makin susah. Tapi, Indonesia punya modal menghadapinya yaitu solidaritas dan goyong royong.

Liputan6.com, Jakarta - Muhammad Ridwan, bersantai sejenak di pos ronda yang jaraknya hanya selemparan batu dari tempat tinggalnya. Sambil menghisap rokok, ia ditemani Herman, sahabat karibnya.

Sejak pandemi Covid-19, Ridwan sangat sibuk. Sebagai Ketua RT di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, ia memiliki tanggung jawab memantau kesehatan dan keperluan warganya yang menjalani isolasi mandiri.

Selama masa PPKM Level 4, sedikitnya ada 25 orang yang berjuang melawan Covid-19 di lingkungannya. Data itu diperoleh Ridwan dari warga yang berinisiatif melaporkan kepada pengurus RT.

"Tugas kita mengontrol dan sosialiasi kepada tetangga-tetangga terdekat bahwa warga ini lagi isoman. Barang kali bapak, ibu ada rezeki silahkan bantu," kata Ridwan.

Di lingkungan Ridwan, ada program bertajuk "Dari Warga Untuk Warga". Jadi, uang kas yang dihimpun dari warga, dibelikan sembako dan diberikan kepada warga yang menjalani isoman.

"Sebelum PPKM, bantuan untuk warga isoman dari uang kas dulu, tapi pas masa PPKM, kasus meledak. Akhirnya uang kas jebol juga," ujar dia.

Pembagian sembako kepada warga yang menjalani isolasi mandiri di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok (Liputan6.com / Ady Anugrahadi)

Ridwan kemudian berinisiatif menggalang dana. Ia mengirimkan pesan ke grup RT yang diikuti 150 warga. "Saya share ke grup bunyinya begini 'Ada beberapa orang yang isoman, barang kali ada yang ingin membantu silahkan kirim langsung ke posko'," ucap dia.

Tak disangka, ajakan itu disambut baik warga. Mereka berbondong-bondong mendatangi posko logistik untuk menyerahkan berbagai sembako seperti beras, minyak, telor, gula, teh dan suplemen seperti lemon dan kelapa hijau. Ada pula yang memberikan dalam bentuk uang.

"Alhamdulillah di lingkungan kami, rasa kemanusiaan selalu hidup. Kami bersyukur warga kami punya kepedulian yang sangat tinggi terhadap sesama," ucapnya.

Tak Harus Kaya Untuk Berbagi

Di Timur Jakarta, ratusan orang tiap harinya antre di depan sebuah rumah, di daerah Cilangkap. Mereka ingin mendapatkan nasi bungkus gratis.

Adalah Aditya Prayoga yang mendirikan sebuah tempat bernama Rumah Makan Gratis. Di rumah tersebut, Adit membagi-bagikan ratusan bungkus nasi setiap hari. Semuanya gratis.

"Dulu sebelum pandemi bisa 300 bungkus setiap hari, tapi saat PPKM ini sekitar 150 per hari," kata Adit.

Pembagian nasi bungkus di Rumah Makan Gratis (Liputan6.com / Jonathan Pandapotan Purba)

Adit percaya, kebahagiaan bisa diraih dengan membahagiakan orang lain. Ia mengaku merasakan ketenangan, kebahagiaan dan keberkahan ketika berbagi dan membantu sesama.

Adit mendirikan Rumah Makan Gratis buat siapa pun yang lapar dan membutuhkan makanan. Ia percaya, tak perlu jadi orang kaya untuk membantu orang lain.

"Mau orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, siapa pun dia, apapun agamanya, boleh makan di sini," kata Adit.

Tiap harinya, ratusan orang dari berbagai latar belakang datang. Mulai dari pemulung, pelajar, tukang ojek, pedagang sampai karyawan swasta. Tak ada syarat untuk bisa makan kenyang di Rumah Makan Gratis.

"Semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita merasakan kebahagiaan, semakin besar kita merasakan keberkahan itu datang," ujarnya.

Indahnya Berbagi

Di Banyuwangi, semangat solidaritas antarwarga juga bermunculan. Salah satunya datang dari komunitas pelukis, Artos Kembang Langit, yang menyediakan lapak berbagai kebutuhan pokok warga untuk diambil secara gratis bagi mereka yang membutuhkan.

Lapak Berbagi Teman Peduli Sesama (Lapak TPS), begitu mereka menjulukinya. Ini adalah aksi sedekah yang mengajak warga yang mampu secara ekonomi untuk membantu warga lain yang terdampak pandemi covid-19.

Lapak Teman Peduli Sesama (Foto:Dok.Pemkab Banyuwangi)

Bantuan yang diberikan bisa bermacam-macam, mulai aneka sayuran, sembako, hingga nasi bungkus. "Siapapun boleh menaruh sedekahnya di Lapak TPS ini. Dan siapapun yang membutuhkan, silakan mengambil apa yang ada di sini. Gratis," kata Imam Maskun, Ketua Komunitas Artos Kembang Langit.

"Sebenarnya semua ikut terdampak. Termasuk para pelaku seni juga terdampak. Namun, kami yakin masih banyak orang yang mampu (ekonominya) dan memiliki jiwa solidaritas tinggi. Makanya, kami sepakat membuat TPS ini untuk mengajak warga saling berbagi. Ayo bersama saling membantu," urai Imam.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tak Ada Ruang Untuk Egois

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan, dalam situasi pandemi seperti saat ini, kesadaran tentang solidaritas sosial otomatis akan muncul. Baik itu antarnegara, antardaerah, antarkomunitas, hingga antarorang.

Dan jika seseorang dalam konteks pandemi bersikap egois, maka pasti akan dikecam masyakarat. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang terjadi.

"Kemarin kita lihat ada pedagang manfaatin situasi dengan naikkin harga obat. Dikecam masyarakat kan. Padahal kalau dalam situasi tidak pandemi, situasi normal, masyarakat paling diam saja, orang-orang berpikir ya namanya juga dagang, wajar naikkin harga," kata Hamdi kepada Liputan6.com.

Dalam psikologi, manusia sangat kuat digerakkan oleh norma sosial di sekitarnya. Dan secara otomatis, situasi pandemi mengaktifkan norma-norma solidaritas sosial yang jauh lebih kuat dibanding keadaan normal.

"Orang itu sulit orang berperilaku berlawanan dengan norma solidaritas sosial di tengah pandemi, karena pasti akan dikecam. Dan kita inginnya, mudah-mudahan, setelah pandemi ini selesai, semangat solidaritas sosial seperti ini kita pelihara."

Orang yang memiliki sifat egois pun, kata Hamdi, bisa berubah di tengah pandemi. Sebab, nilai-nilai solidaritas sosial yang ada sekarang cukup tinggi.

"Orang yang tak solider juga bakal punya persepektif dimana dia berpikir, kalau tak bantu orang sekarang, kalau giliran nanti kena Covid-19, nanti tak ada yang mau bantu."

Mantan anggota pansel KPK itu menjelaskan, manusia berperilaku dengan selalu memperkirakan apa konsekuensi dari tindakannya di mata orang lain dan bagaimana antisipasi dia, ketika orang lain melihat tingkah lakunya.

"Gampangnya, dia berpikir hukum take and give itu berlaku. Jadi, walapun orang itu egois, paling tidak dia merasa ada prinsip pertukaran sosial ketika membantu orang lain di masa pandemi."

(Liputan6.com/Abdillah)

Motif Altruistik

Dalam psikologi, ada teori Altruisme. Artinya tindakan sukarela yang dilakukan individu atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Tindakan ini biasanya didasari oleh pengaruh emosional, seperti empati.

Altruisme dapat mencakup berbagai macam perilaku, mulai dari mengorbankan hidup seseorang untuk menyelamatkan orang lain, memberikan uang untuk amal atau menjadi sukarelawan di dapur umum, hingga hanya menunggu beberapa detik untuk menahan pintu terbuka bagi orang asing.

Seringkali orang berperilaku altruistik ketika mereka melihat orang lain dalam keadaan yang menantang dan merasakan empati, sehingga muncul keinginan untuk membantu.

"Dan dalam keadaan pandemi seperti ini, mudah sekali motif Altruistik terbangkitkan karena norma sosialnya lebih dominan ke arah solidaritas," ucap Hamdi.

3 dari 4 halaman

Bantuan Spontanitas

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, mengatakan, pola bantuan yang terjadi di masyarakat saat ini lebih banyak bersifat spontanitas. Hal itu, kata Sunyoto, sebaiknya diatur dan dikembangkan agar jadi lebih teratur.

"Perlu diatur bagaimana retribusinya, mekanismenya. Kalau spontanitas seperti sekarang, ya warga misalnya, bisa bantu ketika ada uang, tapi kalau tidak ada uang, ya tidak kasih bantuan lagi," kata Sunyoto kepada Liputan6.com.

Oleh karena itu, menurut Sunyoto, harus dibangun pola ketika bantuan itu datang, baik dari yang berbasis agama, adat, komunitas sampai bisnis.

Misalnya pengusaha memberikan bantuan sosial kepada masyarakat, pemerintah bisa memberikan keringanan pajak kepada pengusaha tersebut. "Jadi ketika pengusaha memberikan bantuan, bisnisnya bisa tetap jalan."

(Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pria lulusan University of Guelph, Canada itu menilai, di tengah situasi pandemi saat ini, hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah saja tidak akan cukup. Bantuan seperti bansos sudah bagus, tapi tetap kurang. Apalagi jumlah orang miskin di Indonesia begitu banyak.

Menurut dia, ibarat piramid, jumlah orang miskin Indonesia jauh lebih besar dibanding negara maju seperti Singapura. "Kalau di sana, mungkin santunan lebih mudah karena jumlah orang miskinnya lebih sedikit," ujarnya.

Dia menjelaskan, di negara agraris seperti Indonesia, bantuan sosial yang bukan berasal dari pemerintah, memang biasanya lebih kuat. "Tapi kalau negara industri seperti Singapura atau Korea Selatan, bobot jaminan sosial dari negaranya yang justru lebih kuat," ujar Sunyoto, lagi.

4 dari 4 halaman

Negara Paling Dermawan

Laporan World Giving Index (WGI) yang dirilis Charity Aid Foundation (CAF) menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai negara paling dermawan tahun 2021.

Indonesia mendapatkan skor 69 persen, naik dari skor 59 persen di indeks tahunan terakhir yang diterbitkan pada 2018. Saat itu, Indonesia juga menempati peringkat pertama dalam WGI.

WGI adalah laporan tahunan yang diterbitkan oleh CAF, menggunakan data yang dikumpulkan oleh Gallup, dan memeringkat lebih dari 140 negara di dunia berdasarkan seberapa dermawan mereka dalam menyumbang.

Pada laporan WGI 2021, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari tiga katagori atau indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang pada orang asing/tidak dikenal, menyumbang uang dan kegiatan kerelawanan/volunteer.

Hasil penelitian CAF menunjukkan lebih dari delapan dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang pada tahun ini. Sementara tingkat kerelawanan di Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari rata-rata tingkat kerelawanan dunia.

Direktur Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, menyambut baik prestasi yang ditorehkan oleh sektor filantropi tanah air. Menurutnya, pandemi dan krisis ekonomi tak menghalangi masyarakat untuk berbagi.

“Yang berubah hanya bentuk sumbangan dan jumlahnya saja. Masyarakat yang terkena dampak tetap berdonasi uang, meski nilai sumbangan lebih kecil, atau berdonasi dalam bentuk lain, seperti barang dan tenaga (relawan). Terbukti di beberapa lembaga sosial dan filantropi jumlah donasi tetap naik, meski peningkatannya tidak setinggi pada saat normal," ujarnya.

Laporan WGI 2021 menunjukkan Indonesia berhasil mempertahankan posisinya di peringkat pertama di tengah pandemi dibandingkan negara-negara lain yang posisinya jatuh dalam WGI karena penerapan kebijakan penguncian dan pembatasan wilayah.

Sebagian besar negara Barat yang biasanya menempati sepuluh besar daftar negara paling dermawan posisinya merosot kemungkinan karena efek pandemi.

Misalnya, Amerika Serikat jatuh ke posisi 19 dunia, setelah sebelumnya secara konsisten ditempatkan di Top 5. Sementara Irlandia, Inggris dan Singapura merosot dari peringkat lima dan enam ke peringkat 26 dan 22.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.