Sukses

Pandemi Melanda Dunia, tapi Mengapa COVID-19 Kini Lebih Mematikan di Indonesia?

Kasus kematian akibat COVID-19 jadi sorotan dunia. Indonesia dijuluki sebagai episentrum baru COVID-19, setidaknya di Asia. Apa pemicunya?

Liputan6.com, Jakarta - Kita tidak sedang baik-baik saja, Kawan. COVID-19 terus jadi ancaman. Indonesia, negara yang kita cintai sepenuh hati, kini dijuluki sebagai episentrum baru COVID-19, setidaknya di Asia. 

Predikat itu pastinya tidak menyenangkan. Tapi, data yang bicara. Angka penambahan kasus harian di sini lebih banyak dari negara-negara lain, bahkan melampaui India yang beberapa bulan lalu kita amati dengan ngeri dari jauh. 

Berdasarkan data Worldometer pada Minggu 25 Juli 2021, Indonesia ada di posisi kedua setelah Amerika Serikat, dengan angka penambahan kasus sebanyak 295.071 dalam tujuh hari terakhir. 

 

Tren mingguan (tujuh hari terakhir) kasus COVID-19 di dunia pada Minggu 25 Juli 2021. Indonesia ada di urutan kedua setelah Amerika Serikat.(Sumber: www.worldometers.info)

 

Jika itu masih dianggap biasa-biasa saja, ada data lain yang menunjukkan, penambahan angka kematian akibat COVID-19. Di situ, Indonesia jadi 'juara dunia', di atas Rusia, jauh melampaui Meksiko, Iran, Bangladesh, India dan Thailand.

 

Indonesia menempati posisi pertama soal jumlah penambahan angka kematian akibat COVID-19, berdasarkan data pada Minggu 25 Juli 2021 ((Sumber: www.worldometers.info)

 

Apa yang membuat kasus COVID-19 melonjak dan angka kematian tinggi di Indonesia? 

Menurut Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, kematian sejatinya adalah indikator keseriusan situasi pandemi di suatu negara atau wilayah. Bahkan, kata Dicky, hilangnya satu nyawa saja merupakan indikator kegagalan pengendalian pandemi atau wabah.

"Kematian kita sangat tinggi, karena apa? Karena gagal dalam menemukan kasus-kasus infeksi ini sejak awal, secara dini, secara cepat di masyarakat. Termasuk kaitannya dengan kapasitas testing dan tracing kita," kata peneliti di Global Health Security Policy di Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia itu kepada Liputan6.com. Atau dengan kata lain, kematian adalah 'indikator telat'.

Padahal, ia menambahkan, pandemi bukan baru saja terjadi. Sudah 16 bulan! Indikator lain adalah test positivity rate, yang dihitung dengan membandingkan jumlah orang yang positif dengan jumlah orang yang diperiksa.

Dicky mengungkapkan, test positivity rate Indonesia sejak pandemi itu selalu di atas 10 persen. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir sudah di atas 20 persen. "Dan itu sangat berbahaya, karena mengindikasikan bahwa kita gagal dan tidak bisa menemukan sebagian besar kasus infeksi. Dan itu berkontribusi pada angka kematian yang tinggi," tambah dia. 

Berdasarkan angka, kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia di atas 1.000. Namun, data tak selalu menunjukkan fakta. Bisa jadi lebih besar dari itu. 

Pada 25 Juli 2021, John Hopkins Coronavirus Resource Centre menyebut, case-fatality ratio COVID-19 atau rasio fatalitas per 100 kasus terkonfirmasi, Indonesia ada di angka 2,7 persen, di urutan ketujuh. Sementara, untuk kematian per 100.000 populasi (baik yang sehat maupun sakit), Indonesia ada di urutan ke 14 dengan angka 30,30. 

 

Dicky menambahkan, membandingkan data kematian antar negara tidak bisa  apple to apple. Apalagi sistem laporan kita tidak bisa dibandingkan dengan negara lain, misalnya Inggris atau Australia. 

Menurutnya, setiap kematian akibat COVID-19 seharusnya jadi pembelajaran penting buat Indonesia. "Di negara-negara tetangga kita seperti Singapura dan Vietnam, itu menjadi studi kasus, pembelajaran. Kenapa dia sampai meninggal? Apa yang menyebabkan, apakah testing dan tracing yang lambat dan tidak terdeteksi atau komorbid?" kata pria kelahiran Jawa Barat itu.

Dicky menambahkan, sebenarnya pasien COVID-19 dengan komorbid bisa diselamatkan, asal kapasitas testing dan tracing Indonesia memadai, sehingga tidak sampai meninggal, karena cepat ditemukan untuk mendapatkan perawatan.

"Jadi komorbid-komorbid ini sebetulnya tidak masalah kalau misalnya dia ada komorbid, terinfeksi (COVID-19) juga. Enggak akan harus menyebabkan dia meninggal. Tapi, syaratnya ya cepat ditemukan," kata dia. 

Jangan langsung mengaitkan kematian akibat COVID-19 dengan komorbid. Tidak selalu begitu. "Nah, ini yang terjadi adalah kombinasi dia punya komorbid dan terlambat ditemukan juga karena kapasitas 3T kita yang rendah dan lemah, sehingga ini yang memperparah situasinya," tambahnya.

Sementara itu, dokter Kamil Muhammad, inisiator Pandemic Talks, sebuah platform informasi dan data tentang COVID-19 Indonesia, menilai, pendataan di Indonesia belum sesuai dengan kenyataan. Banyak biasnya. 

"Indonesia melaporkannya tidak sesuai dengan standarisasi yang direkomendasikan, misalnya dari WHO. Standarisasi definisi misalnya, laporan kematian itu kan sampai sekarang belum diganti, yakni kematian yang terkonfirmasi plus suspect. Indonesia kan tidak pernah melaporkan suspect. Itu yang bikin bias," jelas Kamil ketika dihubungi Liputan6.com.

Itu mengapa, dia menambahkan, margin of error-nya lebar. Sementara di Amerika Serikat dan Inggris, suspect dimasukkan laporan kematian.

Jawaban versi pemerintah disampaikan Koordinator PPKM Darurat, Luhut Binsar Pandjaitan. Ia mengungkapkan, dari hasil penelitian tim di lapangan, angka kematian akibat COVID-19 meningkat karena beberapa faktor. Yakni, kapasitas RS yang sudah penuh, pasien yang ketika datang saturasinya sudah buruk, serta meninggal karena tidak terpantau ketika melakukan isolasi mandiri di rumah.

"Rata-rata pasien yang meninggal menderita komorbid atau belum menerima vaksin," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu pada Minggu 25 Juli 2021. 

Dan, ada lagi fakta yang tak bisa dielak. Di tengah pandemi COVID-19, tak semua orang yang kena penyakit itu bisa dirawat di rumah sakit. Banyak yang terpaksa atau memilih isolasi mandiri atau isoman. Saat sakit makin parah, tak sedikit yang meninggal di rumah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sendirian hingga Napas Penghabisan

Tak semua pasien COVID-19 yang isoman seberuntung Zulfikar Abubakar dan Wawan Isab Rubiyanto. Fikar, yang dinyatakan positif pada 20 Juli 2021 kini tinggal di lantai dua rumahnya. Masih ada sang istri di lantai bawah yang menyediakan makanan. Saudara-saudaranya yang khawatir mengirimkan obat-obatan serta vitamin, inhaler, juga tabung oksigen kosong kalau-kalau diperlukan. 

Pak RT yang tanggap segera mengisi tabung itu hingga penuh dan siap pakai. "Tetangga juga pada mendukung. Bergantian kirim makanan," kata dia. 

Sementara, Wawan tinggal sendirian di rumah sejak 3 Juli 2021. Hasil tesnya belum juga negatif sejak itu. Istri dan anak-anaknya diungsikan ke rumah mertua yang tak jauh dari sana. Kiriman makanan rutin diterimanya tiap pagi. Ia juga mendapat bantuan beras dan mi instan dari para tetangga. 

Masa-masa paling berat buat Wawan adalah ketika gejala yang dialaminya lumayan parah. Lidah hambar, penciuman hilang, mumet berat dan sesak napas. Itu 2-3 hari setelah dinyatakan positif. "Saat itulah saya merasa takut," tambah dia. 

Untungnya kondisinya itu sekarang membaik. Ada hal menguntungkan lain buat Wawan dan Fikar: keduanya sudah divaksin, dosis lengkap, jauh sebelum kena COVID-19. 

Berdasarkan data situs vaksin.kemkes.go.id, ada 208.265.720 sasaran vaksin yang terdiri atas tenaga kesehatan, lanjut usia, petugas publik, masyarakat rentan, dan masyarakat umum, termasuk yang berusia 12-17 tahun.

Hingga 25 Juli 2021 pukul 18.00 WIB, baru 44.551.337 atau 21,39 sasaran vaksin yang mendapatkan suntikan pertama.

Sementara, yang sudah mendapat suntikan kedua persentasenya lebih kecil lagi, 8,61 persen atau sebanyak 17.933.565 orang.

Data laporcovid19.org mencatat, sejak Juni hingga 25 Juli 2021, ada 2.670 kematian akibat COVID-19 isolasi mandiri dan di luar rumah sakit. Kasus paling banyak dilaporkan di Jakarta.  

Di antaranya, ada seorang pasien positif Covid-19 yang sedang isolasi mandiri di sebuah apartemen di Ciputat, Tangerang ditemukan meninggal dunia pada 10 Juli 2021. Usianya masih muda, 25 tahun. Tinggal sendirian, ia tak terpantau saat kondisinya memburuk.

Sementara, pria asal Korea Selatan berusia 89 tahun meninggal dunia saat isolasi mandiri di unit Apartemen Prapanca, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia sebenarnya tinggal bersama sang putra, yang kala itu pindah sementara ke tempat lain untuk menghindari penularan COVID-19.

"Besarnya angka kematian isoman dan di luar RS di DKI Jakarta bukan berarti tingkat kematian di daerah lain lebih rendah," demikian penjelasan yang menyertai data itu, seperti dikutip dari laporcovid19.org.

 

 

Sejauh ini, baru Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang secara resmi mau terbuka, mendata dan memberikan data kematian pasien isomannya. Sehingga, bisa dianggap data yang ada di Jakarta sudah mendekati situasi nyata. " Di daerah lain masih seperti fenomena puncak gunung es." Padahal, keterbukaan sejatinya adalah kunci menyelesaikan masalah. 

Inisiator Lapor Covid19, Irma Hidayana, mengatakan, di antara warga yang meninggal ketika isoman, ada beberapa orang yang sebelumnya ditolak rumah sakit. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan LaporCovid19 pun mendesak pemerintah serius menyingkap data kematian ketika isolasi mandiri kepada publik sekaligus membenahi upaya penanganan wabah untuk mencegah kejadian kematian serupa berulang.

Sebelumnya, Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, telah mendesak pemerintah memperbanyak rumah sakit darurat atau rumah sakit lapangan demi merawat pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga tanpa gejala atau OTG.

Zubairi menilai, kebijakan tersebut untuk mengantisipasi warga positif COVID-19 meninggal dunia saat isoman. Selain itu, dia menyarankan agar pasien COVID-19 yang boleh isoman mesti memiliki hasil rontgen paru dengan kondisi normal dan juga saturasi oksigen yang baik.

"Karena banyak pasien dengan keluhan berat tidak bisa masuk ke rumah sakit. Artinya, tidak 100 persen pasien Covid-19 itu sebenarnya boleh isoman begitu saja," tulis prof. Zubairi di Twitter pribadinya, Minggu (18/7/2021).

Di sisi lain, dalam temuan kasus-kasus di lapangan, dr. Hadianti Adlani Sp.PD KPTI, mengungkapkan, kondisi sekarang cukup memprihatinkan, karena yang datang ke rumah sakit belakangan ini, rata-rata sudah menjalani isoman di rumah dengan proses yang tidak diketahui apakah sesuai dengan standar. Informasi tentang standar isoman sendiri sesungguhnya sudah cukup banyak beredar luas.

Jika tak sesuai standar, kata Hadianti, itu turut memengaruhi perjalanan penyakit COVID-19 yang diderita sang pasien. Terlebih, pasien tersebut memiliki komorbid atau penyakit penyerta.

"Penyakit komorbid itu apa? Yaitu penyakit-penyakit yang sudah diderita sebelum terkena COVID-19, yang sudah menahun diderita antara lain seperti, hipertensi, diabetes melitus atau kencing manis, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit-penyakit seperti kanker, asma. Itu pastinya akan memengaruhi perjalanan penyakit COVID-19 yang dideritanya juga," terang Hadianti ketika dihubungi Liputan6.com.

Hadianti sendiri diketahui merupakan dokter spesialis penyakit dalam, konsultan penyakit tropik-infeksi, yang fokus menangani penyakit infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit. Dalam penanganan COVID-19 selama ini, dia mengaku menemui sejumlah kasus di mana pasien yang isoman tidak menyadari dirinya memiliki komorbid, hingga akhirnya berujung pada kematian.

Ia menambahkan, perburukan kondisi COVID-19 yang diperkirakan berkaitan dengan varian Delta, terjadi pada hari-hari ketujuh sampai sepuluh.

"Jadi bisa kita bayangkan, dia sudah satu minggu di rumah tanpa tahu ada penyakit komorbid atau tidak, tiba-tiba terjadi perburukan, dibawa ke rumah sakit, kita periksa lengkap, ternyata dia sudah ada komorbid-komorbid yang saya sebutkan tadi," bebernya.

Komorbid terbanyak adalah hipertensi dan kencing manis. Selain dua itu, pada usia dewasa muda, ada lagi obesitas atau kegemukan. "Kalau ada obesitas, ini sekarang menjadi pantauan kita. Karena secara mekanisme penyakitnya dia juga sudah punya kondisi yang untuk terjadi implamasi di tubuhnya itu sudah cukup berat juga apalagi kalau dia terkena dengan infeksi COVID-19," tambah Hadianti. 

Sayangnya, di Indonesia obesitas tidak masuk dalam kategori komorbid. Angka penduduk obesitas di Indonesia juga belum terdata dengan baik dan belum dianggap sebagai suatu masalah. Padahal, di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Italia, dan Jepang, obesitas menjadi komponen komorbid.

 

3 dari 4 halaman

Setelah Delta, Waspada Varian Baru

Di Indonesia, banyak ditemui kasus pada pasien COVID-19 tanpa komorbid yang berujung pada kematian. Menurut dr. Hadianti Adlani Sp.PD KPTI, komorbid memang bukan satu-satunya penyebab utama pasien COVID-19 meninggal dunia. Jika meninggal tanpa komorbid, kata Hadianti, kemungkinan karena mekanisme penyakitnya.

"Jadi kan mekanisme infeksi itu tergantung tiga hal. Pertama, respons imun dari pasiennya dalam menghadapi infeksi. Kedua, faktor dari virusnya. Berapa banyak virus ada di dalam tubuhnya. Kita sebut sebagai viral load. Semakin banyak virusnya, tentu infeksinya semakin berat. Ketiga, lingkungan. Bagaimana paparan terhadap pasien tersebut terjadi beberapa kali atau berulang. Kalau terjadi berulang-ulang kali tentu penyakitnya jadi semakin berat," papar dokter yang berdinas di RSUD Tangerang Selatan ini.

Tiga komponen itu mutlak harus diperhatikan. Tak hanya dari sisi pasien. "Jadi, banyak faktor yang harus kita perhatikan, apapun itu infeksinya. Apalagi di COVID-19 yang transmisinya cepat sekali. Di varian Delta ini bisa enam sampai delapan kali dibanding dengan yang (COVID-19) klasik dulu, itu penyebarannya tiga sampai lima kali," ucap Hadianti.

Hadianti mengungkapkan, dalam beberapa kasus yang dia temui di lapangan belakangan ini, jumlah kematian pasien COVID-19 dengan atau tanpa komorbid perbedaannya sekarang tidak mencolok. Padahal, di awal-awal pandemi, perbedaannya jelas, di mana kondisi komorbid sangat memengaruhi hingga akhirnya berujung kematian pada pasien.

Di awal-awal pandemi yang masih COVID-19 klasik, kata Hadianti, di mana belum terjadi mutasi, pasien-pasien dengan komorbid angka kematiannya tinggi. Data nasional sejauh ini mencatat pada pasien hipertensi kematian sebesar 13,4 persen, kencing manis 11,8 persen, dan penyakit jantung 7,8 persen. Tapi, data pasien obesitas belum tercatat.

Dia berpendapat, kasus-kasus kematian tanpa komorbid yang ditemuinya kemungkinan merupakan pasien yang terinfeksi COVID-19 varian Delta. Namun, itu masih berdasarkan analisanya, sebab data pastinya belum diketahui.

"Kalau kita lihat dari gejala, kemudian kondisi pemeriksaan PCR-nya, hasil nilai CT Scan-nya. Kalau kita boleh anggap itu ke arah varian Delta, itu mendukung untuk kondisi ini (kematian tanpa komorbid)," imbuh Hadianti.

Menurut Hadianti, dinamika perubahan COVID-19 ini akibat adanya mutasi serta akibat ulah manusianya juga dengan mobilitas. Dia memprediksi, COVID-19 akan ada selama mobilitas tinggi, karena manusia sebagai host atau inang tempat virus itu hidup. "Jadi, bisa dibayangkan kapan COVID-19 ini bisa selesai, kalau manusia atau kitanya tidak memutus rantai penyakit dari diri kita."

 Pada Minggu, 25 Juli 2021, Presiden Joko Widodo mengumumkan, pemerintah memperpanjang PPKM Level 4 dengan berbagai pertimbangan, termasuk dengan kemungkinan munculnya varian baru COVID-19.

"Kita harus selalu waspada, ada kemungkinan dunia akan menghadapi varian lain yang lebih menular," tutut Jokowi dalam konferensi pers virtual. 

Dunia memang belum lepas dari ancaman COVID-19. Kita pun tak boleh jumawa. 

 

Pakar kesehatan top Amerika Serikat, Anthony Fauci menerima suntikan vaksin COVID-19. (Photo credit: Patrick Semansky POOL/AFP)

 

Apa yang terjadi di Amerika Serikat bisa jadi pelajaran. Setelah mengalami penurunan tajam di awal Juni 2021, belakangan angka COVID-19 di Negeri Paman Sam meningkat.

Peningkatannya lumayan tajam, 65 persen dalam 1 pekan. AS berada di posisi pertama di daftar penambahan kasus tertinggi di dunia dalam seminggu. Disusul Indonesia.

"Kita menuju ke arah yang salah," kata dokter dan pakar imunologi asal Amerika Serikat, Anthony Stephen Fauci dalam wawancaranya dengan CNN.

Peningkatan kasus itu, menurut Fauci, dipicu banyak orang yang sebenarnya rentan namun tak mau divaksinasi. Data Centers for Disease Control and Prevention atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, hanya sekitar 49,1 persen warga AS yang sudah divaksin dengan dosis penuh.

4 dari 4 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.