Sukses

RUU Energi Baru Terbarukan Dinilai Cenderung Memberatkan PLN

Ia mengingatkan, potensi pasar pembangkit EBT bisa mencapai Rp 7.000 triliun hingga 2050.

Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan dikhawatirkan lebih berpihak kepada importir yang mengincar peluang hingga Rp 7.000 triliun atau setara APBN Indonesia 3,5 tahun. Aneka aturan dan rancangan aturan soal energi baru juga dikhawatirkan malah meningkatkan harga listrik.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, peralihan sumber energi primer dari fosil ke sumber ramah lingkungan memang harus dilakukan. Akan tetapi, peralihan itu harus mempertimbangkan kondisi nasional.

“Saat ini, industri dalam negeri belum mampu memproduksi panel surya untuk PLTS, komponen PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu), dan pembangkit EBT lain,” ujar Mamit dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/7/2021).

Seharusnya, dalam RUU EBT yang tengah dibahas di DPR ada upaya dan insentif untuk mendorong kemandirian nasional dalam produksi pembangkit EBT.

“Pemerintah harus mendorong penelitian dan juga riset sendiri sehingga bisa menghasilkan solar panel dengan harga yang lebih kompetitif. Kebutuhan solar panel ke depannya akan terus meningkat, jangan hanya terkesan memanjakan importir panel surya saja. Bagaimana kita harus bisa menciptakan kemandiri sektor energi. DPR harus memasukan komponen dalam negeri yang cukup besar terkait dengan PLTS maupun PLTB ini,” ujar Mamit.

Ia mengingatkan, potensi pasar pembangkit EBT bisa mencapai Rp 7.000 triliun hingga 2050. Pasar sebesar itu hanya akan dinikmati asing dan agennya di dalam negeri jika Indonesia tidak bisa mandiri dalam produksi pembangkit EBT.

Hal itu menunjukkan, aneka aturan dan rancangan aturan soal EBT lebih menekan pada aspek komersial. Padahal, transisi energi menuju EBT seharusnya menekankan pada pelestarian lingkungan.

“Ini sangat mengkhawatirkan,” ujar dia.

Mamit juga khawatir aneka aturan dan rancangan aturan soal EBT, khususnya terkait PLTS, berpeluang memicu biaya pokok produksi listrik. Dengan aturan sekarang, untuk setiap 1 GW PLTS IPP yang dimasukkan ke sistem, subsidi bisa bertambah sampai Rp 1,5 triliun.

”Hal ini disebabkan dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PV Rooftop maka akan menaikan biaya pokok produksi sebesar Rp6/kWh s.d  Rp8/kwh dan akan terus meningkat seiring dengan peningkatkan kapasitas PV Rooftop ini,” ujarnya.

Kenaikan BPP otomatis akan meningkatkan subsidi dan kompensasi. Jika tarif untuk pelanggan subdisi, pemerintah akan mensubsidi tarif listrik tersebut. Untuk pelanggan yang nonsubsidi tetapi tidak ada tarif adjustment, pemerintah harus memberikan dana kompensasi kepada PLN.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Beratkan PLN dan Pemerintah

Jika dinaikan maka akan memberatkan bagi masyarakat. Padahal, kondisi saat ini, pelanggan yang disubsidi hanya 25% dan yang nonsubsidi sebanyak 75% dari total pelanggan PLN.

“Hal ini akan sangat memberatkan bagi PLN maupun pemerintah. Selain itu, hal ini juga akan menyebabkan penurunan pendapatan bagi PLN dalam jumlah yang cukup signifikan,” kata dia.

RUU EBT yang mengharuskan PLN membeli seluruh listrik EBT dari penyedia daya swasta atau IPP juga bisa memberatkan. Sekarang, PLN tengah mengalami kelebihan pasokan daya karena banyak pembangkit IPP masuk dan konsumsi listrik turun di tengah pandemi.

“RUU EBT tidak tepat dan cendrung memberatkan PLN karena kondisi saat ini listrik sudah berlimpah seperti saat ini. Apalagi, listrik yang dihasilkan oleh EBT ini harganya masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri baik bagi Pemerintah maupun bagi masyarakat,” ujarnya.

Bagi pemerintah, jika memang tidak ada kenaikan tarif maka harus menanggung biaya kompensasi yang harus dibayarkan kepada PLN. Di sisi lain, jika dinaikkan maka akan menjadi beban bagi masyarakat terutama 75% bagi pengguna golongan non subsidi.

"PLN akan berhitung secara keseluruhan untuk setiap BPP mereka. Jadi saya kira, mumpung masih dalam tahap pembahasan para anggota DPR dan juga Kementerian ESDM harus memikirkan dampak yang dihasilkan jika ketentuan ini jadi diterapkan. Akan sangat memberatkan banyak pihak," ucapnya.

Dirinya menambahkan hal ini memberatkan PLN ke depannya di tengah kondisi oversuplly karena proyek 35GW serta konsumsi listrik yang rendah dan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan oleh pemerintah saat program 35GW ini di canangkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.