Sukses

Bisnis Gelap Mengintai Area Sekitar Pelabuhan

Di balik antrean kendaraan yang mengular di Jalan Raya Cakung – Cilincing menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, terselip 'bisnis gelap', salah satunya pungutan liar (pungli).

Liputan6.com, Jakarta - Barisan kontainer terlihat mengular di Jalan Raya Cakung – Cilincing menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada Rabu petang, 23 Juni 2021. Deru mesin bersama kepulan debu saling bertaut.

Pemandangan tersebut memang lazim terlihat di jalan menuju pelabuhan. Namun di balik antrean kendaraan, terselip 'bisnis gelap'.

Pertama, bisnis berbalut jasa pengamanan. Bisnis ini berada di luar pelabuhan. Kedua, bisnis pungutan liar (pungli) di dalam area pelabuhan.

Perwakilan perusahaan jasa pengamanan datang menemui perusahaan logistik. Mereka membawa proposal. Isinya, penawaran solusi pengamanan barang muatan dari dan menuju Pelabuhan Tanjung Priok.

Mereka datang setelah perusahaan logistik kewalahan menghadapi aksi preman jalanan. Mereka yang memanfaatkan bisnis hitam ini terorganisir, masing-masing ada pengurusnya.

Bisnis ini dikelola empat kelompok. Nama mereka sudah cukup tersohor di jalur ini. Bad Boy, Haluan Jaya Prakasa (HJP), Sapta Jaya Abadi (SJA), dan Tanjung Raya Kemilau (TRK). Empat kelompok ini mempekerjakan warga sekitar pelabuhan.

Warga lantas direkrut menjadi preman jalanan. Tugasnya adalah menebar ancaman kepada para sopir. Kelompok preman jalanan ini dikenal dengan nama Asmoro. Aksi mereka akan memaksa perusahaan menyewa jasa pengamanan.

Perusahaan itu datang bukan menawarkan jasa untuk mengawal truk maupun kontainer. Sekadar memberi stiker atau label logo perusahaan jasa pengamanan di kaca depan angkutan barang perusahaan rekanan.

Stiker ini menjadi penanda bagi para preman jalanan bahwa kendaraan itu bukan sasaran karena sudah membayar ongkos pengamanan.

"Kalau tidak salah untuk sebulan, 1 PT ditemukan Rp 177 Juta tiap bulan. Dia bisa terima dari beberapa perusahaan angkutan," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Kelompok Preman Jalanan

Kelompok Bad Boy memiliki 12 perusahaan rekanan. Total armada yang mendapat jaminan sekitar 134 unit. Kelompok Haluan Jaya Prakasa (HJP).

Kelompok ini memiliki 141 perusahaan jasa kontainer rekanan. Sapta Jaya Abadi (SJA) memiliki 23 perusahaan rekanan yang memiliki armada sebanyak 529 unit. Terakhir Tanjung Raya Kemilau (TRK). Kelompok ini memberi jaminan keamanan di jalan kepada 809 unit truk dari 30 perusahaan angkutan.

PT Tanjung Raya Kemilau (TRK) tercatat paling lama berkecimpung dalam bisnis yang menawarkan jasa pengamanan. Dari catatan Polisi, TRK sudah bergerak sejak 1980 hingga 1990.

Perusahaan ini kemudian mendaftarkan diri di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkum HAM) pada 2017-2018. Alamat perusahaan berada di Jalan Artreri Marunda Nomor 30 RT7/2 Semper Timur, Cilincing, Jakarta Utara.

Gurihnya bisnis gelap dikelola TRK ini melahirkan tiga kelompok jasa pengamanan lainnya, yakni Bad Boy, Haluan Jaya Prakasa (HJP), hingga Sapta Jaya Abadi (SJA). Namun tiga perusahaan ini tak terdaftar resmi di Ditjen AHU Kemenkum HAM.

Pimpinan tiga kelompok ini merupakan mantan pekerja di PT TRK. Lahir dari rahim yang sama, perusahaan-perusahaan memiliki model bisnis serupa, yaitu menawarkan jasa pengamanan dengan memberikan stiker perusahaan sebagai tanda aman di jalan.

"Semua rata-rata yang orang-orang dari Bad Boy, SJH, AJP dulunya pernah kerja di TRK. Tapi belum berbadan hukum. Jadi bikin sendiri jadi banyak stiker," kata Kanit 3 Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kompol M. Iskandarsyah saat berbincang dengan merdeka.com, pekan lalu.

 

3 dari 6 halaman

Bayar Rutin Per Bulan

Menurut Iskandarsyah, satu kontainer diwajibkan menyetor uang keamanan berkisar Rp 50 Ribu sampai Rp 100 Ribu per bulan.

Kontainer yang sudah membayar kemudian dilabeli stiker dipasang di dekat kaca sopir. Stiker itu sebagai syarat kendaraan untuk melintas agar tak diganggu para preman.

"Padahal jasa pengamanan itu ternyata memelihara Asmoro digaji. Ada slip gaji nya, ada keterangan orangnya mengaku ‘iya saya pak, saya memang di lapangan kita menakut-nakuti sopir, menciptakan rasa tidak aman bila tidak pakai stiker. Kalau pakai stiker aman dijagain," kata Iskandarsyah.

Satu kendaraan angkutan barang, bisa memajang dua hingga tiga stiker perusahaan pengamanan. Kondisi ini memberatkan perusahaan.

Terkadang, ada perusahaan angkutan yang tidak mau ambil pusing dengan pemalakan di jalan. Alhasil, nasib sopir dipertaruhkan. Terkadang, sopir harus urunan. Mengeluarkan uang dari kantong sendiri. Demi keselamatan diri.

"Misalnya si driver dapat ongkos Rp300 ribu, dia sudah menyisihkan Rp50 ribu biar aman," ucap Iskandarsyah.

Ada empat titik yang biasanya dijadikan lokasi pengecekan stiker jasa pengamanan. Yakni UTC 1, UTC 2 sampai ke JICT, terutama mendekati titik point bongkar muat biasanya terjadi antrean panjang. Saat kemacetan itu, titik rawan bagi truk atau kontainer tanpa stiker.

Selain diganggu, mereka yang kedapatan tidak menggunakan stiker akan dipaksa ditempeli stiker oleh kelompok Asmoro yang dipekerjakan empat perusahaan jasa pengamanan. Mereka dipasangi stiker dan harus membayar. Uang itu kemudian disetorkan ke perusahaan jasa pengamanan.

Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia atau Dewan Penasehat Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) Ilhamsyah selalu melihat stiker jasa pengamanan yang menempel di truk angkutan barang pelabuhan.

Mengingatkannya akan sepak terjang kelompok legendaris Gajah Oling di Kawasan Pantura. Diakuinya, kelompok jasa pengamanan tumbuh subur seiring tingginya aktivitas bongkar muat Pelabuhan.

 

4 dari 6 halaman

Setoran di Setiap Pengkolan

Bisnis hitam juga terjadi di dalam Pelabuhan Tanjung Priok. Amin memutar mundur ingatannya saat keluhan sopir disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia lega.

Ulah garong-garong pelabuhan ditindaklanjuti dengan serangkaian penangkapan oleh pihak kepolisian. Amin sudah lama memendam kegelisahannya. Tentang praktik pungutan liar di dalam proses bongkar muat.

"Kalau tidak ada uang pungli, muatannya dilambatin," kata Amin.

Jam rawan terjadi di malam hari. Biasanya, pengawasan kendor. Ada beberapa ‘pos’ yang mengharuskan sopir memberi setoran.

Untuk melintasi satu pos, minimal harus merogoh Rp5.000. Satu kali Amin pernah tidak memberikan setoran. Dia tertahan hampir seharian. Tiba malam hari, hingga sore belum juga dilayani bongkar muat.

"Saya masuk (depo) sekitar jam habis isya, malam. Itu tengah hari bolong (siang keesokan harinya) belum (bongkar) muat. Menjelang sore baru bongkar muat," kata Amin.

Di kalangan sopir, uang setoran ini disebut Tila (uang muat). Uang Tila sudah rahasia umum. Diketahui perusahaan tempat para sopir bekerja. Terkadang perusahaan sudah membayarkan di muka, agar sopir dilancarkan. Tapi praktik di lapangan kadang berbeda. Sopir terpaksa mengandalkan ‘orang dalam’ supaya dipermudah.

Mulai staf hingga petugas keamanan terlibat dalam praktik culas. Total uang yang dikuras dari sopir kontainer bisa mencapai Rp13 ribu sekali masuk ke Depo PT Greating Fortune Container. Depo yang sangat terkenal di kalangan sopir kontainer Pelabuhan.

 

5 dari 6 halaman

Gambaran Lengkap Adanya Pungli

Gambaran detil pungli yang terjadi di Depo Fortuner dijelaskan secara fasih oleh MF lewat secarik kertas di hadapan meja penyidik Polres Jakarta Utara.

Dia merupakan salah satu dari 12 orang ditangkap polisi di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis 10 Juni 2021. Dari gambar yang diberikan, pungli ada hampir di setiap pos persinggahan.

Sejak bergabung dengan PT Greating Fortuner Container 15 bulan silam, MF sudah mengetahui praktik ini.

Dia tak pernah mematok harga kepada sopir kontainer. Hanya saja, selama ini MF sering menerima uang Rp 5.000 setiap kontainer melakukan pengecekan. Tarif itu berbeda dari rekannya yang mencuci satu gerbong kontainer dengan harga Rp 2.000.

"Di surveyor Rp 2.000. Di gate Rp 2.000. Di washing (cuci kontainer) Rp 2.000. Di staking Rp 2.000. Baru pos security ini Rp5.000. Total Rp 13.000," kata MF saat ditemui merdeka.com di Mapolres Jakarta Utara, Rabu 23 Juni 2021.

Dalam sehari, MF mengantongi paling kecil Rp 50 ribu. Pendapatan sampingan ini di luar upah diterimanya sebagai pegawai PT Greating Fortuner Container sebesar Rp 4,2 juta per bulan. Dia mengklaim, pemberian uang dilakukan sopir secara sukarela.

Aksi MF dan 11 rekannya mencari tambahan rezeki itu berakhir setelah ditangkap anggota Satuan Reskrim Polres Metro Jakarta Utara bersama Unit Reskrim Polsek Cilincing saat menggelar operasi berantas premanisme di beberapa lokasi pada Kamis siang 10 Juni 2021.

Dia ditangkap polisi setelah kedapatan meminta pungutan liar (pungli) kepada sopir kontainer. Uang pecahan Rp2 ribu dan Rp5 ribuan tersimpan di tas kecilnya. Dia pun tak berkutik diciduk polisi.

Penangkapan MF dilakukan polisi tak lama setelah menerima arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait pemberantasan premanisme dan aksi pungli yang kerap menyasar sopir kontainer di Terminal Tanjung Priok Jakarta Utara. Perintah Kapolri itu setelah mendapat telepon dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengeluhkannya praktik pungli di Pelabuhan Tanjung Priok.

Sebanyak 24 terduga preman dan pelaku pungli digelandang ke Mapolres Metro Jakut. 24 orang diciduk dari dua lokasi berbeda yaitu di Depo Dwipa Kharisma Mitra Jakarta KBN Marunda dan Depo PT. Greating Fortune Container (GFC) Indonesia Terminal Jl Cakung Industri I No 12 Rorotan Cilincing Jakarta Utara.

"24 orang itu dari dua lokasi ya," kata Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Guruh Arif Darmawan saat dihubungi, Kamis 10 Juni 2021.

 

6 dari 6 halaman

Jalur Merah

Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia atau Dewan Penasehat Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) Ilhamsyah mengungkapkan, pungli di Pelabuhan Tanjung Priok bukan hal baru.

Praktik pungli yang baru-baru ini diungkap kepolisian merupakan salah satu dari aksi liar petugas pelabuhan mencari uang tambahan.

"Itu baru pungli-pungli di lapangan ya. Ini kan yang terlihat di permukaan. Padahal di Pelabuhan Tanjung Priok itu sebenarnya banyak, ada juga nanti pungli dalam bentuk istilahnya closing," kata Ilhamsyah saat berbincang dengan merdeka.com.

Closing time adalah waktu barang untuk naik ke kapal. Dalam proses ini membutuhkan waktu tujuh hingga Sembilan jam.

Namun, praktiknya dalam proses tersebut terkadang terjadi keterlambatan waktu yang dimanfaatkan petugas untuk melakukan pungli. Apabila perusahaan memberikan uang tambahan, maka prosesnya semudah melewati jalan tol.

Ada lagi sebutan jalur merah. Praktik pungli ini melibatkan banyak pihak. Termasuk Bea Cukai. Jalur merah di mana barang yang dibawa diperiksa kesesuaian dokumennya.

Praktik pungli terlihat dari aksi petugas yang tidak memeriksa barang. Kalaupun diperiksa, hanya sampe depan saja. Terpenting, mendapatkan tanda tangan dari petugas Bea Cukai.

Praktik pungli di jalur merah sangat rentan memicu penyelundupan. Sebab, kontainer Panjang 40 feet terkadang hanya dicek bagian depan. Hingga berita inii diturunkan, pihak Bea Cukai belum memberikan respons terkait dugaan pungli melibatkan petugasnya.

Pesan singkat maupun telepon kepada Humas DJBC - Bea Cukai Adit belum direspons. Sementara Kanit 3 Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kompol M. Iskandarsyah mengaku belum masuk pada penyelidikan pungli di jalur merah.

Terpisah, pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai premanisme sulit diberantas lantaran bukan lagi bergerak secara invidual. Polisi harus memetakan secara luas preman berkedok pegawai pelabuhan dan pungli lain di sekitar pelabuhan.

Dia menyambut baik respons cepat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo beserta jajarannya setelah mendapatkan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberantas pungutan liar. Seharusnya hal sama bisa dilakukan di seluruh daerah Indonesia.

"Konsekuensinya memang tidak cukup bagi reskrim untuk bekerja sendirian di lapangan, kulit Intel juga harus memperluas endusannya bahkan kalau kita sepakat memang disinyalir ada oknum-oknum nakal yang bermain di situ, maka unit internal dari masing-masing lembaga juga patut untuk mengecek ada tidaknya oknum aparat yang nakal dibalik aksi-aksi premanisme termasuk di Tanjung Priok," kata Reza.

 

 

Reporter : Nur Habibie, Ronald, Muhamad Agil Aliansyah, Henny Rachma Sari

Sumber : Merdeka

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.