Sukses

Oknum Polisi Pemerkosa Remaja di Maluku Utara Ditetapkan Jadi Tersangka

Korban pemerkosaan saat ini di bawah perlindungan LSM Doana. Kasus ini ditangani oleh Ditreskrimum unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polda Maluku Utara.

Liputan6.com, Jakarta - Seorang oknum polisi di Halmahera Barat, Maluku Utara (Malut), Briptu II telah ditetapkan sebagai tersangka. Dia diduga melakukan tindakan pemerkosaan terhadap seorang remaja putri berumur 16 tahun.

"Pelaku sudah diproses hukum, sudah ditetapkan tersangka, sudah ditahan sudah dilakukan rekonstruksi kemarin," kata Kabid Humas Polda Maluku Utara Kombes Adip Rojikan kepada merdeka.com, Rabu (23/6/2021).

Adip mengatakan, setelah dilakukan penahanan di Polres Ternate, pihaknya saat ini sedang fokus untuk tahap pemberkasan kasus pemerkosaan.

Dia menjelaskan, korban saat ini diberikan perlindungan di bawah LSM Doana. Kasus ini ditangani oleh Ditreskrimum unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polda Maluku Utara.

"Saat ini (kondisi korban) baik, dan kemarin juga sudah dimintai pemeriksaan tambahan," kata Adip.

Peristiwa ini bermula saat korban pada Minggu malam 13 Juni 2021 hendak menuju ke Kota Ternate namun kemalaman dan berencana menginap di Sidangoli. Lalu, sekitar pukul 01.00 Wita, tiba-tiba didatangi polisi dan diamankan untuk dimintai keterangan di Polsek Jailolo Selatan.

Pada saat dilakukan pemeriksaan, diduga Briptu II melakukan pemerkosaan terhadap korban di ruangan di Polsek Jailolo Selatan. "TKP kejadian di Polsek Jailolo Selatan," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

ICJR Minta Oknum Polisi Diduga Perkosa Remaja di Maluku Utara Dihukum Berat

Merespons kasus pemerkosaan tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta supaya pelaku harus diusut secara komprehensif, baik tindakan di luar kewenangan yang dilakukan. Terlebih tindakan pemerkosaan terhadap anak yang dilakukannya.

"Pemberatan pidana terhadap pelaku yang merupakan aparatur negara harus diaplikasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengingat peran sentral pelaku yang seharusnya memberikan rasa aman kepada korban," kata Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati dalam keterangan tulis, Rabu (23/6/2021).

ICJR juga meminta pemerintah serta DPR RI untuk segera membatasi kewenangan polisi lewat pengubahan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"ICJR mendorong Pemerintah dan DPR serta lembaga independen lain seperti Komnas HAM dan Ombudsman untuk melakukan audit kepada kewenangan besar kepolisian yang minim mekanisme pengawasan. KUHAP harus segera diubah untuk memperkuat pengawasan dan kontrol atas kewenangan Polisi, termasuk menghapuskan tempat-tempat penahanan di kantor-kantor polisi," desak Maidina.

Untuk jangka panjang, menurut Maidina penting untuk pemerintah dan DPR menyisir pasal-pasal karet di Rancangan KUHP yang berpotensi memperbesar kewenangan Kepolisian dalam kondisi pengawasan yang sangat minim di KUHAP.

Maidina juga menilai, kasus tersebut bisa terjadi tidak lepas dari glorifikasi yang dilakukan oleh media dan pihak humas Kepolisian yang merasa berhak untuk melakukan tindakan terhadap masyarakat, baik takut terhadap situasi yang dihadapinya maupun takut terhadap anggota kepolisian yang sering kali mengancam tanpa dasar.

Padahal kewenangan kepolisian untuk mengekang kebebasan orang dibatasi dalam KUHAP. Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka, dan hanya apabila telah terbit surat perintah penangkapan yang didasari adanya bukti permulaan yang cukup.

"Anggota kepolisian jelas tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau upaya paksa begitu saja sesuai perintahnya tanpa dasar yang jelas dan sesuai undang-undang," tegas Maidina.

Menurut Maidina, kasus ini juga menjadi penguat untuk menghapuskan tempat-tempat penahanan di kantor kepolisian. Tempat penahanan ini sering menjadi sarang penyiksaan dan tindakan melanggar hukum lainnya yang dilakukan oleh aparat.

Legitimasi adanya tempat penahanan di Kantor Kepolisian bersifat sementara. Dalam penjelasan Pasal 22 KUHAP bahwa tempat penahanan di kantor kepolisian hanya dibenarkan ketika tidak ada Rutan.

"Sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia tempat penahanan harus dibedakan dari institusi yang melakukan penahanan untuk menjamin adanya pengawasan bertingkat," kata dia.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.