Sukses

Special Content: Kasus Kekerasan Seksual Terus Bertambah, Pengesahan RUU PKS Makin Mendesak

Indonesia saat ini dianggap berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual sehingga desakan kian kuat untuk mengesahkan RUU PKS atau Rancangan Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual.

Jakarta - Kasus pelecehan maupun kekerasan seksual terhadap perempuan kian marak. Beberapa kasus belakangan kembali menyita perhatian publik, karena melibatkan sosok yang dikenal.

Bulan lalu, anak anggota DPRD Kota Bekasi melakukan perkosaan kepada remaja putri berusia 15 tahun. Bukan hanya diperkosa, remaja putri itu bahkan diduga dijual oleh pelaku yang berusia 21 tahun hingga terkena penyakit kelamin.

Terbaru, influencer ternama tanah air, Gofar Hilman, dituding melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan pada 2018. Hal tersebut disampaikan sang korban dalam Twitter miliknya, yang kemudian viral.

Rentetan kasus kekerasan seksual pada 2020 juga banyak menjadi sorotan seperti peristiwa di Denpasar. Kala itu korban yang hamil lalu dinikahkan dengan pemerkosanya. Parahnya, usai melahirkan korban malah kembali diperkosa oleh mertuanya.

Terdapat pula kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pegawai sebuah gerai kopi modern kepada pelanggannya. Kemudian ada cerita remaja korban pemerkosaan yang dititipkan di rumah aman lembaga pemerintah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. Tapi, bukannya memperoleh perlindungan dan pendampingan, korban justru diperkosa kembali, kali ini pelakunya malah Kepala UPT P2TP2A itu sendiri.

Berdasarkan laporan catatan tahunan 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, dari total 3.602 kekerasan terjadi di ranah publik, 58 persen adalah kekerasan seksual meliputi pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, persetubuhan dan sisanya percobaan perkosaan, pelecehan dan persetubuhan. Angka ini meningkat 6 persen dari tahun sebelumnya.

Fenomena tersebut juga ditenggarai hanya menjadi puncak gunung es, atau sebagian kecil dari yang terjadi di sesungguhnya di lapisan masyarakat. Komnas Perempuan menemukan, sebanyak 35 orang perempuan mengalami kekerasan seksual setiap harinya.

Dalam skala internasional, PBB mencatat 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan seksual semasa hidupnya. Rentang 2016-2019 terdapat 55.273 kasus kekerasan yang dilaporkan, di mana 41 persen di antaranya termasuk kekerasan seksual dan sisanya kasus perkosaan.

Di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat ada 392.610 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2017. Pada 2018, jumlahnya menjadi 406.178 kasus atau naik 16,5 persen. Lalu pada 2019, kekerasan terhadap perempuan naik menjadi 431.471 kasus. Sementara sepanjang 2020, angkanya menurun menjadi 299.911 kasus.

Data kekerasan kepada perempuan sepanjang 2020 (Abdillah Liputan6.com / Komnas Perempuan)

Dorong RUU PKS

Melihat deretan panjang kasus yang ada, Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, pada Maret 2021, pun setuju bahwa Indonesia sekarang berstatus darurat kekerasan seksual. Sayangnya, proses hukum atas kasus kekerasan seksual di tanah air masih minim, karena banyak kendala. Dari seluruh kasus yang dilaporkan, hanya kurang 30 persen yang dapat diproses secara hukum.

Jika dilihat dari sisi yuridis, kekerasan seksual diatur dalam beberapa regulasi seperti KUHP, Undang- Undang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPO), serta diatur juga dalam KUHAP. Tapi, aturan dalam Undang-Undang dianggap belum memadai.

Peraturan yang ada saat ini masih fokus terhadap aspek pidana dan pemidanaan pelaku, namun kurang memerhatikan pemenuhan hak-hak korban dan pemulihan psikologis korban. Ganjalan lainnya yakni masih terbatasnya definisi kekerasan seksual dalam hukum kita. Berdasarkan 15 jenis kekerasan seksual yang telah diidentifikasi Komnas Perempuan, belum semuanya bisa diproses oleh sistem hukum yang berlaku di negara ini.

Kondisi ini yang kemudian mendorong adanya undang-undang spesifik yang mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual untuk melindungi korban. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sendiri sebenarnya diinisiasi Komnas Perempuan sejak 2012. Tapi, baru pada Mei 2016, DPR meminta Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademi payung hukum RUU PKS.

Sebulan kemudian, DPR dan pemerintah sepakat memasukkan RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Presiden Joko Widodo pun menyatakan dukungannya terhadap RUU tersebut. Komisi VIII DPR, yang membidangi agama dan sosial diputuskan menangani RUU PKS. Tapi, hingga DPR periode 2014-2019 berakhir, RUU PKS belum juga disahkan.

Malah, RUU PKS masuk daftar RUU kontroversial yang disoroti publik dan termasuk yang memicu aksi besar-besaran di sejumlah daerah di Indonesia pada September 2019. RUU tersebut akhirnya dioper ke DPR periode 2019-2024. Namun, pada Juni 2020, RUU PKS dicabut dari Prolegnas. RUU ini baru masuk kembali di Prolegnas Prioritas 2021 bersama 32 RUU lainnya setelah ditetapkan Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Saksikan Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Darurat Kekerasan Seksual

Pengesahan RUU PKS dinilai sudah sangat mendesak. Indonesia sekarang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, mendorong agar RUU PKS segera disahkan. Menurut dia, data dan fakta telah membuktikan bahwa Indonesia benar-benar membutuhkan sistem yang holistik untuk bisa menghapuskan kekerasan seksual. Selain itu, perlu payung hukum yang komprehensif untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual mulai dari pencegahan, perlindungan hingga penanganan.

"Saya melihat bahwa dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas tahun 2020 justru menjadi pelajaran sekaligus perjalanan yang berharga bagi kita semua. Pada akhirnya memunculkan upaya bagi kami selaku eksekutif untuk semakin progresif menghimpun berbagai perspektif, pandangan, upaya, pendapat, serta masukan. Maka dimasukkannya kembali RUU PKS dalam Prolegnas tahun 2021, tentunya membawa harapan besar bagi kami semua agar RUU PKS segera disahkan," kata dia di situs resmi Kementerian PPPA.

Bintang mengungkapkan, angka kekerasan seksual yang dilaporkan oleh penyintas begitu memprihatinkan. Menurut dia, supaya penyintas berani melapor dan mendapatkan penanganan yang tepat, diperlukan penguatan di sejumlah bidang. Dia menyebut, urgensi dan desakan dari masyarakat sangat kuat agar RUU PKS disahkan.

"Yang harus jadi perhatian kita semua adalah meningkatkan pencegahan melalui edukasi sejak dini, yang dilakukan secara masif dan sistematis, mengenai bentuk-bentuk kekerasan dan bagaimana melaporkannya."

(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Angin Segar

Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2018, menunjukkan 1 dari 17 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual, sementara kasus pada anak perempuan lebih tinggi, dimana 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalaminya. Sementara itu, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, menunjukkan 1 dari 3 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Data Catatan Tahunan 2020 dari Komnas Perempuan juga memperlihatkan selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat 792% (8 kali lipat).

Dengan kembali masuknya RUU PKS dalam Prolegnas 2021, itu seakan menjadi angin segar bagi para korban kekerasan seksual serta pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan RUU PKS, supaya dapat segera disahkan menjadi Undang-Undang.

Apalagi, masyarakat sendiri begitu mendukung keberadaan RUU PKS. Hasil survei Inequality International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada 2020 menghasilkan, 70,5 persen masyarakat Indonesia setuju, karena RUU PKS disusun berdasarkan pengalaman korban dan pendampingan korban.

Desakan agar RUU PKS disahkan juga datang dari Para pimpinan serikat pekerja dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). RUU ini diyakini bisa melindungi pelecehan seksual di lingkungan kerja.

Pemberlakuan RUU PKS dinilai langkah maju, karena tidak hanya membahas tindak pidana kepada pelaku, tetapi juga rehabilitasi untuk pelaku supaya tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu, RUU ini memberikan perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban, yang selama ini tidak diatur dalam Undang-Undang yang sudah ada.

Yang patut ditekankan, kekerasan seksual bukan hanya dialami oleh perempuan. Tidak sedikit laki-laki yang juga menjadi korban. Dari penelitian INFID menyebutkan, 66,7 persen perempuan mengalami kekerasan seksual, sementara 33,3 persen dialami laki-laki. Selain itu, kekerasan seksual juga dapat terjadi pada bayi, balita, anak-anak, lansia, bahkan mayat sekalipun.

3 dari 5 halaman

Penghambat

Ketika kekerasan seksual sudah masuk kategori darurat, sayangnya, di parlemen, RUU PKS malah dikaitkan dengan isu seks dan hubungan sesama jenis. RUU ini pun melahirkan pro dan kontra. Hal itu pula yang membuat RUU ini selama 12 tahun sempat terabaikan.

Dalam perjalanan pembahasan RUU PKS, terjadi beberapa kali penundaan. Penundaan yang beberapa kali terjadi karena ketika pembahasan lebih mendalam, muncul perdebatan yang jauh dari substansi. Bukan hanya itu, perbedaan ideologi dan paham berpikir di antara anggota Komisi VIII DPR juga menjadi hambatan belum disahkannya RUU ini.

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menyebut bahwa tidak ada alasan lagi untuk DPR menunda RUU PKS, yang aturan hukumnya mempunyai sifat khusus (lex specialis). RUU ini sudah harus segera dibahas. Sebab, Baleg DPR sudah menetapkan RUU ini sebagai prioritas pada 2021.

"Kalau sudah di Baleg, akan segera disahkan. Karena kan pembahasannya sebenarnya sudah dari dulu, cuma sempat dikeluarkan dari prolegnas kan pada akhirnya," kata Mariana ketika dihubungi Liputan6.com.

Sejak RUU PKS kembali masuk Prolegnas, kata Mariana, tidak ada tarik-ulur lagi dalam pembahasannya. Menurut Mariana, saat ini Baleg sedang banyak menerima pendapat publik terlebih dahulu.

"Apa kata pendapat publik atau pendapat umum, untuk memberikan mereka gambaran-gambaran substansi apa yang belum atau perlu dimasukkan di RUU PKS," ucap mantan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan ini.

(Liputan6.com/Johan Tallo)

Panjang perjalanan Komnas Perempuan dalam mendorong disahkannya RUU PKS. Dari melakukan lobi, pemberian kapasitas tentang substansi RUU tersebut. Lalu, melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR hingga menyerahkan draft RUU versi Komnas Perempuan dan masyarakat sipil juga naskah akademik.

"Komnas Perempuan sudah banyak melakukan memberikan kapasitas ke anggota legislatif untuk mereka bisa mendapatkan bayangan tentang RUU tersebut. Jadi, kami sangat aktif untuk melobi substansi dari RUU itu. Jadi, kami masih menunggu prosesnya saja. Memantau prosesnya di sana," papar Mariana.

Dukungan Semua Fraksi DPR

Setelah masuk Prolegnas lagi, RUU PKS, kata Mariana, mendapat suara dukungan yang solid dari semua fraksi di DPR. Menurut wanita berusia 45 tahun ini, apabila ada fraksi yang sebelumnya menolak, pada akhirnya mereka setuju RUU ini masuk daftar Prolegnas.

"Menurut kami itu kemajuan, meskipun belum sampai ke tahap substansi. Tinggal menunggu langkah konkret berikutnya saja nih masuk ke substansi. Masuk ke pembahasan dan isinya tidak menyimpang dari apa yang sudah diusulkan sebelumnya. Untuk pemulihan korban kan, paling utama itu," bebernya.

Para korban kekerasan seksual cenderung takut melaporkan kasus yang dialaminya, karena konon membayangkan stigma aparat penegak hukum dan ancaman kriminalisasi. Korban kekerasan seksual membutuhkan kepastian hukum atas tindakan yang dilakukan pelaku. Korban memerlukan bantuan demi mendapatkan keadilan.

"Pendampingan terhadap korban sih sejauh ini sudah banyak lembaga-lembaga yang melakukan respons cepat. Sementara Komnas Perempuan kan kewenangannya bukan di pendampingan, tapi dia lebih memberikan rekomendasi atau rujukan, lembaga apa yang bisa standby untuk mendampingi korban mereka, berdasarkan kebutuhan korban yang sudah kami klasifikasi kebutuhannya. Misalnya kebutuhan untuk proses hukum atau psikis," ujarnya.

"Dan biasanya kalau kami memberikan rekomendasi kepada pihak korban, dari proses hukum itu biasanya lebih kuat si korban dan pendamping dalam menghadapi kasusnya. Tapi, memang kita sangat kekurangan lembaga-lembaga pendamping ini, di mana lembaga pendamping itu juga butuh penguatan kapasitas, SDM dan juga anggaran," jelas Mariana.

Menurut wanita bergelar Magister Humaniora di Universitas Indonesia itu, sejauh ini negara masih menganggap bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan itu hal yang biasa. Hal tersebut ditunjukkan dengan sedikitnya lembaga-lembaga layanan dan pendamping, yang mengakibatkan susahnya pendampingan ketika banyak kasus terjadi, karena penyelesaiannya mesti satu per satu.

4 dari 5 halaman

Gangguan Psikis Korban

Psikolog Oktina Burlianti mengatakan, tindakan pelecehan seksual harus disikapi dengan serius. Sebab, bukan hanya menimbulkan rasa tidak nyaman, pelecehan seksual juga membuat korban rentan mengalami berbagai gangguan psikis.

"Respons pertama korban pelecehan seksual biasanya adalah menyalahkan diri sendiri. Dia merasa bahwa itu salah dia, kemudian ada rasa malu, takut dan marah. Ini yang sering jadi masalah. Belum lagi budaya dan nilai-nilai kita yang menganggap bahwa pelecehan terjadi karena wanitanya yang genit, wanitanya yang godain, atau sengaja pakai baju ketat," kata Oktina kepada Liputan6.com.

"Kalau bercerita ke keluarga, kita tak tahu nilai-nilai di keluarganya seperti apa, takutnya nanti malah korban sendiri yang disalahin karena dikira genit. Jadi, hal pertama yang harus dilakukan sebaiknya mencari bantuan profesional, entah itu yang berbayar atau gratis."

Menurut Oktina, di era sekarang tidak terlalu sulit untuk mencari bantuan psikis ketika seorang perempuan mengalami pelecehan seksual. "Bisa ke Komnas Perempuan atau bisa ke Puskesmas, karena sekarang di sana juga ada layanan khusus untuk perempuan. Kalau mau membuka diri, korban butuh pendampingan, tidak akan kuat sendirian menghadapinya."

Tak jarang ketika pelecehan seksual terjadi, justru korbannya yang dibully di media sosial. Menurut Oktina, hal ini tak lepas dari "Budaya masyarakat".

"Ini mungkin sebenarnya karena budaya kita yang meletakkan perempuan harusnya di rumah, jangan keluar malam. Lalu juga Patriarki, sistem sosial dimana-mana laki-laki selalu di atas perempuan, laki-laki lebih benar, perempuan lebih lemah, bahwa perempuan kalau keluar malam pasti genit. Jadi, ada stigma yang salah di budaya kita dan perlu diedukasi ulang."

Wanita lulus Universitas Indonesitas itu menjelaskan, ada dua tipe pelecehan seksual yang sering dialami perempuan yakni secara verbal dan fisik.

"Kalau verbal, misalnya kita lagi jalan dipanggil 'Suit-suit'. Itu sebenarnya sudah termasuk pelecehan. Memang kalau seperti tatapan mata, itu agak sulit dibuktikan, tidak seperti pelecehan fisik. Tapi sebenarnya apapun yang memang merendahkan kita, bahkan itu verbal dan membuat kita tidak nyaman, itu bisa dikatakan pelecehan."

Ilustrasi korban pelecehan seksual (shutterstock)

Baby Boomer Anggap Pelecehan Seksual Tak Serius

Pelecehan seksual sering dianggap tak serius oleh baby boomer, generasi yang lahir pada tahun 1946 hingga tahun 1964. Dinamakan baby boomer, karena angka kelahiran bayi yang sangat besar seperti boom setelah berakhirnya Perang Dunia II.

Menurut Oktina, generasi baby boomer kurang peka dengan pelecehan seksual karena era sekarang sangat berbeda dengan era ketika mereka tumbuh.

"Dulu kan dunia lagi susah ya, zaman perang. Artinya kehidupan lebih sulit dari yang kita hadapi sekarang. Jadi, hal-hal seperti pelecehan seksual dianggap lebih ringan dibanding apa yang mereka hadapi dulu."

"Dulu kebutuhan sandang dan pangan saja susah untuk didapat. Sementara sekarang ekonomi sudah jauh lebih baik, sehingga orang-orang lebih peduli dengan isu-isu yang sebenarnya juga sudah lebih penting dari dulu," ucap Oktina.

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.