Sukses

Akademisi Sebut Tak Masalah Ada Pasal Penghinaan Presiden di KUHP, Definisi Harus Jelas

Agus Surono setuju bahwa pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden tetap harus ada dalam KUHP.

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar, Agus Surono setuju bahwa pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden tetap harus ada dalam KUHP.

Menurutnya, publik harus memiliki aturan, agar tidak seenaknya menghina lembaga negara.

Adapun ini disampaikan dalam diskusi virtual dengan judul 'pasal penghinaan presiden ancam demokrasi?' pada Minggu (13/6/2021).

"Pasal ini harus ada, karena ini kita bicara lembaga kepresidenan. Lembaga negara, kalau orang bisa menghina seenak-enaknya sendiri repot negara ini," kata dia.

Meksi demikian, Agus berharap jika pasal itu jadi dimasukkan ke dalam KUHP, harus memiliki definisi yang jelas.

"Saya ingin sampaikan perlu ada definisi yang jelas antara kritik dan penghinaan," ungkap dia.

Tidak hanya itu, Agus juga meminta agar nantinya delik aduan harus tegas. Sehingga proses mekanisme yang didahului dengan restorative justice.

"Di mana ada proses mekanisme perdamaian antara pelaku dan korban ini harus jelas. Mengedepankan pidana sebagai ultimum remedium," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Berbeda

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, pasal penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden berbeda dalam RUU KUHP berbeda pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Perbedaannya jenis delik pasal tersebut.

"Pasal penghinaan itu adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara, yang pertama, itu berbeda dengan yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Edward di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Delik pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang baru merupakan delik aduan, hanya presiden atau wakil presiden yang bisa melaporkan. Mahkamah Konstitusi sebelumnya mencabut pasal penghinaan yang merupakan delik biasa.

"Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," kata Edward.

"Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah Presiden atau Wakil Presiden," sambungnya.

 

 

 

Reporter: Intan Umbari/Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.