Sukses

Special Content: Bersikap Tegas Sebelum Menyesal Anak Terjerumus Kecanduan Gim Online

Belakangan, gim online menjadi sorotan di Indonesia, karena terdapat sejumlah kasus anak-anak yang menjurus ke kriminal akibat kecanduan.

Liputan6.com, Jakarta - Di era digital seperti sekarang, gim online menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Anak-anak menjadi golongan yang paling banyak menggemarinya.

Gim online kini menjadi sorotan di Indonesia, setelah sejumlah kasus anak-anak yang menjurus ke kriminal. Salah satunya adalah kasus orang tua yang malah memarahi kasir minimarket Indomaret, setelah anaknya mencuri ratusan ribu rupiah dari dompet sang ayah untuk membeli top up gim online.

Belum lama ini juga ada kasus bocah SMP di Sidoarjo, Jawa Timur, yang membakar rumah tetangganya. Pelaku yang kecanduan gim online diduga kesal, karena tak mendapatkan uang untuk top up gim online yang membutuhkan kuota internet itu.

Itu mungkin saja hanya dua kasus kecanduan gim pada anak yang muncul ke permukaan. Yang tidak diketahui khalayak luas, boleh jadi jumlahnya jauh lebih banyak. Hal ini didasari dari keterangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Menurut data di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Jawa Barat, hingga Februari 2021, itu ada sekitar 140 anak yang sudah berkonsultasi karena kecanduan gim online. Masih dari keterangan KPAI, terdapat pula sejumlah anak yang dirawat di RSJ Cisarua karena alasan serupa.

Komisioner KPAI, Jasra Putra, menyebut, tanda-tanda kecanduan bisa dilihat ketika orangtua mengambil gadget-nya, lalu sang anak mengamuk atau menangis kencang dan teriak. Dia pun beranggapan, apabila sudah ada anak-anak yang masuk rumah sakit jiwa karena kecanduan gim, maka situasinya sudah gawat.

Jasra mengungkapkan, memang selama pandemi ketika anak-anak banyak di rumah, durasi penggunaan gadget menjadi lebih tinggi. Selain untuk pembelajaran sekolah banyak melalui daring, gadget juga dipakai oleh anak-anak untuk berkomunikasi, mencari informasi, dan bermain gim online.

Dalam survei KPAI di bulan Juni 2020, dari 25 ribu anak yang disurvei usia 10 sampai 18 tahun, 70 persen di antaranya sudah memiliki gadget sendiri. Gadget itu difasilitasi oleh orang tua mereka.

"Lalu kami tanya, penggunaan gadget atau waktu gadget ini untuk apa saja? Misalnya, ada yang belajar, ada yang gim online, dan paling banyak itu gim online. Gim kekerasan, gim perang-perang. Hampir 60 persen anak-anak menyatakan bahwa handphone yang difasilitasi oleh orang tua itu, rata-rata untuk gim, hanya 30 persen untuk pembelajaran," beber Jasra Putra ketika dihubungi Liputan6.com.

Dia menyebut, situasi ini harus menjadi kekhawatiran kita. Apalagi, rata-rata mereka itu memakai gawai (gadget) itu lima jam per hari. Lima jam dengan penggunaan seperti itu, hanya 30 persen untuk pembelajaran.

"Ini dalam pandemi tahun kedua ini, kalau kita tidak bisa melakukan upaya-upaya pencegahan, baik di tingkat keluarga maupun dalam bentuk kebijakan, ya tentu anak-anak kita akan mengalami situasi kecanduan gim," ujarnya.

(Triyasni / Liputan6.com)

 

Gangguan Kesehatan

Kecanduan tentu hanya salah satu dampak buruk dari gim yang dimainkan berlebihan. Dampak buruk lain yang perlu diketahui akibat memainkan gim secara berlebihan antara lain, gangguan penglihatan, potensi obesitas, ancaman terpapar radiasi elektromagnetik yang bisa menyebabkan gangguan fungsi otak sehingga anak sulit berkonsentrasi.

Pada tahun 2016, KPAI pernah melakukan survei dan merilis daftar gim-gim yang tidak direkomendasikan untuk anak-anak, karena dinilai berbahaya. Setelah itu, menurut Jasra, situs KPAI diserang dan di-takedown selama tiga sampai empat hari. Kendati diserang, dia menilai, jangan takut ke depannya bagi regulator saat harus menyampaikan gim-gim mana saja yang tidak ramah anak dan membahayakan.

Jasra menyatakan, dari beberapa gim yang tidak direkomendasikan KPAI untuk anak-anak, itu bisa menjadi awal pengawasan orangtua dan semua pihak.

Dia berharap media massa juga mengedukasi secara berkesinambungan bagaimana anak-anak Indonesia terlindung dalam situasi kecanduan apa pun dan di manapun. Ketika anak mulai menjadi kecanduan gim, lalu sesungguhnya pihak mana yang mesti bertanggung jawab? Lalu, siapa patut dinilai berperan dalam kondisi anak yang menjadi seperti itu?

Di sisi lain kita tidak memungkiri bahwa di era digital sekarang, memainkan gim ternyata juga dapat menghasilkan uang yang tidak sedikit. Banyak anak, remaja, sampai orang dewasa yang berprofesi sebagai gamer profesional. Bayarannya pun terbilang besar.

Fakta ini menunjukkan bahwa anak-anak juga bisa tidak hanya menjadi komoditas dari gim online. Ketika memiliki bakat dan tersalurkan di jalur yang positif dan suportif, ternyata anak-anak yang menggemari gim bisa menjadi profesi yang menghasilkan.

Saksikan Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Bikin Mata Minus

Spesialis mata, dr. Elvioza, SpM(K) menjelaskan, dalam ilmu kedokteran ada istilah Computer Vision Syndrome, yakni kumpulan gejala yang berhubungan dengan gangguan mata akibat penggunaan perangkat elektronik berbasis komputer, seperti laptop, dekstop, handphone, dan tablet.

Ketika jarak antara gadget gim online terlalu dekat dengan mata, maka ada potensi gangguan penglihatan baik jangka pendek maupun panjang.

"Jadi, otot mata itu bekerja ketika kita melihat dari dekat, ototnya kontraksi. Kalau kita melihat terus-menerus, mata bekerja terus, pada akhirnya akan kelelahan. Kelelahan ini manifestasinya banyak. Mata jadi ngantuk, pegal dan penglihatan buram untuk saat itu," kata Dr. Elvioza kepada Liputan6.com.

Untuk jangka panjang, bisa memicu terjadinya miopia (minus) pada mata. "Orang yang tadinya matanya minus, maka minusnya akan bertambah. Sementara orang yang tadinya tidak minus, akan jadi minus."

Lama waktu main gim online dari jarak dekat, kata Dr. Elvioza, harus dibatasi. Sebab, mata manusia butuh istirahat. "Paling gampang patokannya adalah triple twenty, artinya kita bekerja jarak dekat 20 menit, kemudian melihat jauh 20 detik, sejauh 20 meter. Nah, itu mata bisa relaksasi."

Ketika bermain gim online berjam-jam, maka mata akan melotot dan frekuensi mengedip berkurang 20 hingga 30 persen. Hal ini berbahaya karena mengedip sangat penting untuk kesehatan mata.

"Mengedip itu kan membasahi permukaan mata. Dengan permukaan yang basah, segala kotoran dan bakteri dibersihkan. Kalau tak berkedip dan melotot terus, maka akibatnya timbul dry eye atau mata kering."

Mata kering adalah kelainan multifaktorial dari tear film yang menimbulkan gejala berupa rasa tidak nyaman (nyeri, mengganjal, dan mudah iritasi), gangguan penglihatan dan ketidakstabilan lapisan air mata dengan potensi kerusakan di permukaan mata (kornea).

3 dari 5 halaman

Benteng Utama Cegah Kecanduan Gim

Sebelum pandemi COVID-19, dalam 24 jam yang dimiliki anak-anak setiap hari, tujuh jam di antaranya berada di sekolah, tujuh jam di masyarakat atau berinteraksi dengan teman, dan sisanya berada di rumah. Sekarang di masa pandemi, nyaris di rumah setiap hari, hanya sebagian kecil yang sudah sekolah tatap muka.

Komisioner KPAI, Jasra Putra, berpendapat, jika situasinya telah memungkinkan, kebijakan membuka pembelajaran tatap muka ini dapat dilakukan. Hal itu sebagai upaya untuk menghindari anak-anak terpapar dari kecanduan game. Sebab, lewat pembelajaran tatap muka, kata dia, ada interaksi langsung dengan guru walaupun waktunya terbatas, namun dilakukan setiap hari.

Upaya lain untuk menghindari kecanduan game pada anak yakni, pemerintah bisa memastikan pengguna provider, baik dari swasta, untuk memastikan bagaimana mekanisme perlindungan anak juga berada di dalam aplikasi itu.

"Kalau memang ada aplikasi-aplikasi yang tidak ada mekanisme perlindungan anak dan tidak ada tanggung jawab terkait perlindungan anak, saya kira harus ada teguran dari regulator ya, terutama terkait aplikasi-aplikasi tersebut," ucapnya.

Jasra mengatakan, aplikasi di gawai misalnya, tidak boleh game-game kekerasan yang ada bercak darah dan sejenisnya. Dia menilai, apabila itu yang terus-menerus disaksikan oleh anak-anak, dikhawatirkan mereka terbiasa melihat situasi kekerasan dan menjadi terbiasa menyelesaikan persoalan dengan kekerasan.

"Di tingkat keluarga, ini tentu menjadi benteng pertama dan utama. Keluarga itu misalnya, yang memfasilitasi gadget ini kan orang tua. Mengasih kuota internet itu orangtua. Walaupun ada kuota Kemendikbud ya, dan itu kan sudah ada penggunaannya," ujarnya.

"Dan tentu ketika orangtua memfasilitasi gadget ini, kita berharap harus ada kesepakatan yang terus-menerus dilakukan orangtua kepada anak. Kesepakatannya misalnya, ketika memfasilitasi gadget, gadget ini untuk apa saja dalam setiap hari itu harus disampaikan," tuturnya, lagi.

Jasra juga menambahkan, orang tua harus menentukan kapan saja anak dapat bermain gim. "Ada jam belajar, ada gim, begitu. Ada istirahat, dan seterusnya. Saya kira orangtua harus bikin daftar jadwal setiap hari dan itu disepakati dengan anak. Dan orangtua tentu mengingatkan jadwal-jadwal yang sudah disepakati. Nah, saya kira itu pola yang bisa kita lakukan agar anak-anak kita ini tidak terlalu jauh keterpaparan terkait kecanduan gim in," ujarnya.

Minat Baca Rendah

Di sisi lain, tingginya angka anak-anak bermain gim, tidak sejalan dengan minat baca. Berdasarkan laporan Programme for International Student Asessment (PISA) pada 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia di peringkat 72 dari 77 negara, kemudian skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, lalu skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara.

Tiga skor tersebut menunjukkan penurunan dari tes PISA 2015. Ketika itu, skor membaca Indonesia berada di peringkat 65, skor sains di peringkat 64, dan skor matematika di peringkat 66. Tes PISA merupakan pengujian anak-anak sekolah berusia 15 tahun di berbagai negara, di mana ada 600 ribu murid sekolah yang berpartisipasi dari seluruh dunia.

Menurut Jasra, rendahnya minat baca di Indonesia seharusnya menjadi tantangan untuk industri teknologi tanah air. Industri teknologi diminta menyajikan bahan-bahan bacaan yang tidak monoton.

"Kenapa anak-anak bisa berjam-jam mengikuti atau main gim, ya karena ada sesuatu yang menarik. Ada tantangan dari level 1, level dua dan seterusnya. Bahkan untuk menyelesaikan itu, sangat ada tantangan. Nah, saya kira, bahan-bahan bacaan kita, pembelajaran kita, guru-guru kita, harus mampu membuat media-media pembelajaran yang menarik bagi anak-anak kita dalam memanfaatkan teknologi informasi," papar Jasra.

"Ini menjadi tantangan dunia pendidikan kita di pandemi tahun kedua. Apalagi, Mas Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim) ahli teknologi. Ini tantangan bagi beliau bagaimana mewujudkannya dalam situasi pandemi, media-media pembelajaran harus mampu menandingi game tadi. Seperti karakter gim tadi, ada pembelajaran menantang atau siswa diminta berpikir keras menyelesaikan gim itu. Guru-guru kita harus mampu membuat media-media pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan pada akhirnya menyenangkan," katanya.

Terkait fakta bahwa terdapat peluang profesi menjadi gamer profesional yang menghasilkan uang, Jasra tidak menutup mata. Tapi, dia percaya semua itu harus dilakoni dengan fokus dan memperoleh dukungan maksimal yang positif dari lingkungan terdekat. Dia percaya, itu juga dibutuhkan bakat yang perlu diasah dengan tepat.

"Profesi gamer merupakan peluang ke depan bagi anak-anak kita untuk katakanlah untuk mencari atau mengembangkan bakatnya. Tentu, sejak awal harus ada penjelasan. Harus ada bimbingan dari orangtua atau guru terkait profesi-profesi yang katakanlah menjadi gamer atau youtuber dan seterusnya. Tentu harus ada penjelasan dan contoh-contoh kepada anak-anak kita, 'Kalau ananda jadi Youtuber, kira-kira seperti ini ke depan. Kalau ananda menjadi gamer, seperti ini ke depan'," tutur Jasra.

Tapi, dia menekankan, apabila ingin menjadi gamer profesional, anak-anak tidak boleh melupakan pendidikan. Selain itu, yang dipersiapkan juga mesti semaksimal mungkin, sehingga anak-anak Indonesia bukan hanya sebagai komoditas gim online semata.

KPAI juga mendorong pihak-pihak terkait, termasuk provider dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), memiliki mekanisme yang mengutamakan perlindungan anak. Lalu, regulasi pemerintah harus ditegakkan terhadap aplikasi-aplikasi yang membahayakan anak-anak Indonesia.

4 dari 5 halaman

Dampak Kecanduan Gim

Anak atau individu yang mengalami kecanduan gim tentu mengalami berbagai macam dampak buruk. Menurut Psikolog Oktina Burlianti, segi kesehatan menjadi dampak nyata dari kecanduan gim. Sebab, kecanduan gim sangat berpotensi membuat anak jadi obesitas, karena kurang gerak dan seringkali dibarengi sambil ngemil atau makan ketika bermain gim.

Lalu, ada ancaman radiasi elektromagnetik yang dampaknya bisa menghambat perkembangan syaraf anak. Selain perkembangan syaraf, dampak dari radiasi elektromagnetik adalah gangguan fungsi otak yang menyebabkan anak sulit berkonsentrasi, dan juga gangguan pada mata.

Oktina mengatakan, secara perilaku, anak yang kecanduan gim memiliki kecenderungan antisosial dan individual. Hal itu dikarenakan kurangnya anak berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Bermain gim secara berlebihan mengarahkan dan mendorong anak bersikap individualistik dan antisosial.

"Anti sosial itu, dia cenderung melanggar aturan-aturan dan norma-norma sosial. Nah, sekarang yang sedang ramai dibicarakan adalah, karena game dan gadget ya kecanduan ini, munculnya generasi BLAST. Apa sih generasi BLAST? Ya itu singkatan, B itu boring atau mudah bosan, L itu lonely atau menyendiri, A itu angry atau mudah marah, S itu stress atau mudah tertekan, T itu tired atau mudah lelah," beber Oktina kepada Liputan6.com.

Psikolog lulusan Universitas Indonesia ini mengungkapkan, berdasarkan penelitian, 93 persen anak SD dari kecanduan gim itu mengarah ke akses pornografi. Lalu, 21 persen remaja melakukan aborsi, kemudian 135 anak menjadi pelaku kekerasan, 5 persen remaja tertular penyakit seksual, 63 persen remaja sudah berhubungan seks di luar nikah.

"Ini adalah masalah-masalah yang ditimbulkan karena masalah kecanduan gim saja. Perlu diingat bahwa kecanduan gim itu hampir sudah pasti, terutama pada anak laki-laki berlanjut ke akses pada pornografi. Nah, kemudian sesudah kecandungan pornografi, dia juga akan komorbid juga dengan kecanduan-kecanduan lainnya. Bisa kecanduan obat-obatan atau narkoba," terang Oktina.

Dia menekankan pentingnya peran orangtua untuk bertindak dan bersikap tegas kepada anak. Oktina juga memberikan beberapa tips mencegah anak kecanduan gim, di antaranya;

1) Orangtua tetap memegang peran sebagai penanggung jawab dan pendidik anak. Orang tua harus punya otoritas untuk membuat aturan dan batasan, termasuk penggunaan gadget;

2) Alihkan dengan aktivitas-aktivitas kreatif yang nyata seperti bermain musik, menjalani hobi, dan kegiatan lain yang diminati anak;

3) Diskusikan bahaya gadget dengan anak sedini mungkin dengan menggunakan bahasa yang dimengerti anak;

4) Penggunaan ponsel yang bertujuan untuk telepon atau pesan singkat (SMS) dibolehkan untuk batasan usia, karena untuk komunikasi.

Dia meminta orangtua jangan takut ketika dibilang "suka mengatur" oleh anak. Sebab, menjadi kewajiban orangtua untuk mengajarkan mana yang benar dan yang salah. Ketegasan dari orangtua dibutuhkan dalam penggunaan gadget oleh anak.

 

Prinsip Tiga D

Kemudian, Direktur Sekolah Citta Bangsa Cibubur ini juga menyebut ada tiga prinsip yang perlu diketahui oleh orangtua dalam mengizinkan penggunaan gadget atau gawai kepada anak. Hal ini juga dapat menghindari risiko anak kecanduan gadget dan gim online.

"D pertama yakni Dibutuhkan. Kalau memang dibutuhkan, artinya tidak ada batasan waktu. Seperti tadi, untuk komunikasi ketika anak sekolah, kalau offline ya. Atau ketika anak bepergian, sms segala macam. D yang kedua yaitu Dipinjamkan. Dipinjamkan itu dari usia anak sudah bisa pakai. Kalau sekarang terkadang satu tahun saja sudah bisa dipinjamkan. Itu sampai berusia 18 tahun. Sebelum anak usia 18 tahun, itu anak benar-benar kok boleh orang tua mengatur dan kasih batasan. Tugas orang tua justru kasih batasan, karena memang otak anak belum berkembang, di situlah fungsi orang tua sebagai pendidik," jelasnya.

"D yang ketiga adalah Didampingi. Penggunaan gadget bermain gim boleh-boleh saja sebenarnya, asal didampingi. Karena kalau tidak didampingi, karakter anak tidak bisa kita bentuk. Anak akan mencari panutan lain. Maksudnya didampingi seperti apa? Dari apa yang dia mainkan, dia lihat, dia dengar. Tugas orang tua dalam mendidik adalah memberi makna. Makna dari apa yang dia lihat itu apa? Apa makna positif dan negatifnya. Apa dampaknya," papar Oktina.

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.