Sukses

Deretan Pro Kontra Pemecatan 51 Pegawai KPK Tak Lolos TWK

Menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, TWK tidak hanya dilakukan oleh KPK dalam proses peralihan pegawai menjadi ASN, tapi juga lembaga lainnya.

Liputan6.com, Jakarta - Beragam tanggapan muncul usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan memecat 51 pegawainya dari total 75 orang yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka meminta Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh pimpinan KPK.

"Segera disidangkan para pimpinan dalam dugaan pelanggaran kode etik terkait pemberhentian pegawai dalam tes wawasan kebangsaan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis diterima, Rabu (26/6/2021).

Sementara itu hal berbeda dilontarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Dia menyampaikan, TWK tidak hanya dilakukan oleh KPK dalam proses peralihan pegawai menjadi ASN, tapi juga lembaga lainnya. Ada juga di antara mereka yang gagal lolos penilaian TWK seperti layaknya 75 pegawai KPK.

"Pernah terjadi seperti itu kondisinya, bahkan di BPIP, juga ada begitu TWK, mereka tidak lolos. Kenapa itu tidak ribut? Kenapa yang KPK begitu diributkan, itu," kata Moeldoko.

Berikut deretan tanggapan pro kontra keputusan KPK memecat 51 pegawainya dari total 75 orang yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 9 halaman

1. Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan, pemecatan 51 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) merupakan pelanggaran konstitusi.

Adanya pelanggaran konstitusi pada pemecatan itu, menurutnya membuat penerapan pemecatan pegawai KPK ini tidak bisa dilakukan.

"Menurut saya tindakan pemecatan itu tindakan inkonstitusional dan tidak bisa digunakan," kata Feri pada Liputan6.com, Selasa, 25 Mei 2021.

Feri menegaskan, pemecatan itu juga telah menentang perintah presiden.

"Pemecatan itu bertentangan dengan berbagai hal, dari ketentuan undang-undang hingga perintah presiden," ucapnya.

Menurut Feri, adanya TWK sejak awal adalah tes yang tidak sah atau ilegal. Karena di PP 41/2020 tentang alih status pegawia KPK, terdapat ketentuan lima tahapan alih status, dalam lima tahapan itu tidak terdapat TWK.

"Oleh karena itu TWK ini adalah tahapan yang ilegal, tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam putusan MK," bebernya.

Keputusan pemecatan pegawai KPK itu, lanjuta Feri, juga telah menentang keputusan MK yang sifatnya berlaku bagi semua pihak.

"Putusan MK bersifat berlaku untuk semua orang termasuk BKN dan MenPANRB, jika terdapat tindakan yang bertentangan dengan putusan MK tentu saja melanggar prinsip konstitusional," pungkas Feri.

 

3 dari 9 halaman

2. Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengaku tidak sependapat dengan beberapa pihak yang menyatakan tes wawasan kebangsaan (TWK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berdasarkan hukum.

"Loh, perubahan UU KPK hukum atau bukan? Kalau yang terjadi atau tes itu perintah UU bukan? Kalau sesuai UU berdasarkan hukum bukan? Jadi yang benar saja deh," kata Margarito kepada wartawan, Selasa 25 Mei 2021.

Di dalam polemik tidak lulusnya sebagian kecil pegawai lembaga antirasuah, belakangan muncul surat yang dikirimkan sejumlah guru besar ke Presiden Jokowi.

Surat tertanggal 24 Mei 2021 itu diketahui memiliki beberapa poin. Satu di antaranya tentang penyelenggaraan TWK yang dianggap melanggar hukum.

Margarito menyadari surat dari para guru besar itu dilayangkan setelah beberapa pegawai KPK dinyatakan tidak lulus TWK.

Namun, alumnus Universitas Hasanuddin itu mengatakan banyak pegawai KPK yang lulus TWK. Hal itu mencerminkan tes tersebut tidak bermasalah dari sisi mana pun.

"Kenapa orang lain lulus? Kenapa ada yang tidak lulus? Pertanyaan itu menjelaskan bahwa ada ribuan yang lulus dan sekian yang tidak lulus. Normal kok," beber mantan anggota Panitia Seleksi Komisioner KPK itu.

Menurut pria kelahiran Ternate, Maluku Utara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) wajib taat terhadap konstitusi dalam menyikapi polemik yang muncul akibat tidak lulusnya sebagian pegawai KPK.

"Presiden harus pegang Undang-undang. Sudah, presiden kewajiban memegang Undang-undang," tandas Margarito.

 

4 dari 9 halaman

3. Pukat UGM

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman turut merespons hasil keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memecat 51 pegawainya dari total 75 orang yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).

Menurut dia, keputusan yang diambil dari hasil rapat pimpinan KPK bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), serta Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) bertentangan dengan perintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

"Menurut saya keputusan untuk tetap berencana memecat 51 pegawai KPK dan kemudian membuat pembinaan untuk 24 lainnya itu adalah bentuk pembangkangan terhadap Presiden Jokowi," kata Zaenur saat dihubungi Liputan6.com, Selasa, 25 Mei 2021.

Menurut dia, berdasarkan pernyataan Jokowi yang disampaikan belum lama ini, menyebutkan bahwa tes wawasan kebangsaan tidak seharusnya dijadikan sebagai dasar untuk memberhentikan 75 pegawai dari KPK.

Selain itu, Zaenur juga mengatakan bahwa pembinaan kepada 24 pegawai lainnya itu ada kemungkinan klausul tidak diloloskan setelah pelaksanaan pendidikan.

"Artinya secara total pidato Presiden Joko Widodo dibangkang sendiri oleh para pembantunya dan juga pemangku kepentingan lain," jelas dia.

 

5 dari 9 halaman

4. Amnesty International Indonesia

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pemecatan terhadap 51 pegawai KPK yang tidak lolos TWK merupakan bentuk pelanggaran.

"Pemberhentian ini merupakan pelanggaran atas hak kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan," kata Usman dalam keterangan tertulis.

Dia memandang, pertanyaan yang diajukan dalam TWK mengenai kepercayaan agama hingga pandangan politik sangat tidak berhubungan dengan wawasan kebangsaan.

Berdasarkan standar HAM internasional maupun pekerja harus dinilai berdasarkan kinerja dan kompetensinya.

"Pemberhentian yang dilakukan berdasarkan tes ini jelas melanggar hak-hak sipil para pegawai dan juga hak-hak mereka sebagai pekerja," tutur Usman.

Karena hal itu, Usman meminta pemberhentian pegawai KPK dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dari Komnas HAM.

"KPK harus transparan dan memberikan informasi yang jelas kepada publik tentang kriteria yang membuat 75 pegawai ini tidak lolos TWK," tegas Usman.

 

6 dari 9 halaman

5. ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyambangi Mabes Polri, Jakarta Selatan untuk mengirimkan surat kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi itu meminta KPK memecat Ketua KPK Firli Bahuri dari kepolisian.

"Perihal permintaan agar penarikan atau pemberhentian Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri sebagai anggota kepolisian," tutur Peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Mabes Polri.

Kurnia menyebut, permintaan tersebut muncul berdasarkan rangkaian sikap dan perilaku Firli Bahuri selama menjabat sebagai Ketua KPK. Hal tersebut pun secara tidak langsung dinilai telah mencoreng nama baik Polri.

"Ada beberapa laporan atau kejadian yang kami sampaikan. Yang pertama di tahun 2020, ada kasus pengembalian paksa Kompol Rossa Purbobekti. Yang kedua, ada kasus pelanggaran etik yang bersangkutan saat mengendarai helikopter mewah. Dan yang ketiga, yang paling fatal terkait dengan tes wawasan kebangsaan," papar dia.

Dalam tes wawasan kebangsaan, lanjut Kurnia, ada dua isu penting yakni pertama, adanya pelanggaran hukum lantaran tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian kedua, ada indikasi pembangkangan perintah dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

"Ada dua alasan terkait pembangkangan perintah Presiden, yang pertama konsekuensi dari UU KPK, KPK masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif, sehingga dalam konteks administrasi harusnya tunduk kepada perintah Presiden," kata dia.

"Yang kedua, dalam UU Kepolisian secara jelas bahwa Presiden adalah atasan dari Polri, dan karena saat ini Firli Bahuri masih berstatus sebagai anggota Polri aktif, maka dari itu kami laporkan kepada Kapolri," ucap Kurnia membeberkan.

Selain itu, ICW juga mendesak Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh pimpinan KPK.

"Segera disidangkan para pimpinan dalam dugaan pelanggaran kode etik terkait pemberhentian pegawai dalam tes wawasan kebangsaan," terang Kurnia.

Selain kepada Dewas, ICW juga meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk kembali proaktif dan meminta klarifikasi terkait pemecatan tersebut. Apalagi Jokowi sebelumnya telah meminta agar hasil TWK tidak dijadikan sebagai dasar pemecatan pegawai KPK.

"Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan seluruh pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK," tegas Kurnia.

Kurnia meyakini, dengan titah Presiden Jokowi, maka pemecatan dapat dibatalkan dan seluruh pegawai KPK yang saat ini berstatus nonaktif dapat dialih statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara atau ASN.

"Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara," Kurnia menandasi.

 

7 dari 9 halaman

6. PKS

Senada, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, menyatakan KPK tidak menjalankan arahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Presiden meminta hasil TWK tidak serta merta menjadi dasar pemecatan pegawai.

"Apa indikator mereka ini dapat rapor merah? Jangan setengah-setengah menyampaikan ke publik. Putusan MK sampai arahan presiden sudah jelas, proses peralihan status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK tanpa terkecuali. Semua mesti diberi kesempatan ucap presiden," kata Mardani saat dikonfirmasi.

Mardani menyebut, pemecatan 51 pegawai tersebut adalah bagian dari upaya pelemahan KPK. Sebab, sebagian yang tak lolos TWK adalah pegawai yang berprestasi.

"Mau pakai cara apapun perlu dilihat gambar besarnya bukti terhadap pelemahan KPK. Karena mayoritas 75 itu penyidik, penyelidik, kasatgas dan pejabat eselon yang selama ini sudah mengharumkan nama KPK. Tidak mudah punya institusi yang dicintai rakyat. Ke-75 pegawai KPK itu selama ini punya prestasi," katanya.

Apalagi, kata Mardani, para pegawai KPK tersebut justru telah menjalankan amanah konstitusi dan menjaga NKRI dari para koruptor.

"Justru mereka selama ini yang menjalankan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dengan serius dan gigih dalam bentuk pemberantasan korupsi. Masyarakat masih harus bersatu menjaga pelemahan sistematis terhadap KPK," ujarnya menandaskan.

 

8 dari 9 halaman

7. Kepala Staf Kepresidenan

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan, TWK tidak hanya dilakukan oleh KPK dalam proses peralihan pegawai menjadi ASN, tapi juga lembaga lainnya. Ada juga di antara mereka yang gagal lolos penilaian TWK seperti layaknya 75 pegawai KPK.

"Pernah terjadi seperti itu kondisinya, bahkan di BPIP, juga ada begitu TWK, mereka tidak lolos. Kenapa itu tidak ribut? Kenapa yang KPK begitu diributkan, itu," kata Moeldoko kepada awak media, Rabu (26/5/2021).

Menurut Moeldoko, TWK mestinya dilihat sebagai bentuk dari penguatan wawasan kebangsaan setiap pegawai pemerintah.

Selama ini pun aspek tersebut terus berjalan dalam proses peralihan pegawai sebagai ASN. Tidak hanya di KPK, namun juga lembaga hingga BUMN.

"Begitu pula dengan mekanisme tes wawasan kebangsaan yang jadi perdebatan, harus dipastikan disusun dengan lebih baik. KSP dalam hal ini merekomendasikan untuk juga melibatkan NU dan Muhammadiyah yang telah teruji mampu merajut simbol kebangsaan dan kebhinekaan Indonesia," ucap dia.

Moeldoko mengatakan, hal yang juga perlu dipikirkan adalah sejumlah skenario atas perbaikan bagi pegawai yang memiliki nilai kurang dalam wawasan kebangsaan. Dapat melalui pendidikan kedinasan dan aspek tersebut memang harus diperkuat dari waktu ke waktu.

"Persoalan wawasan kebangsaan itu bisa naik turun karena memang ancamannya juga semakin keras. Untuk itu penguatan sungguh sangat diperlukan. Kenapa kita mesti bertele-tele mendiskusikan sesuatu yang baik, untuk kepentingan masa depan Indonesia. Ini bangsa ini sungguh kadang-kadang kehilangan akal sehat, gitu," kata Moeldoko.

Moeldoko berharap, publik dan seluruh elemen masyarakat dapat menghentikan praduga yang tidak konstruktif terhadap KPK.

Diperlukan sikap bijak dari semua pihak untuk menyikapi polemik ancaman pemecatan terhadap 75 pegawai KPK tak lolos ASN.

"Kita tahu bahwa ini sudah final. KPK harus terus diperkuat oleh siapa? oleh kita semua, oleh kita semua. Kita beri kepercayaan penuh kepada KPK untuk membenahi dan memperkuat diri, bekerja untuk menindak koruptor secara tidak pandang bulu. itu penting," Moeldoko menandaskan.

9 dari 9 halaman

Novel Baswedan, Perlawanan 75 Pegawai KPK

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.