Sukses

23 Tahun Reformasi, Amnesty Nilai Kebebasan Sipil di Indonesia Semakin Sempit

Amnesti mencatat, sepanjang 2020 setidaknya terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141 tersangka, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.

Liputan6.com, Jakarta - Tanggal 21 Mei 2021 menandai semakin matangnya usia era reformasi di Indonesia. Tanggal tersebut menjadi pengingat bagi Bangsa Indonesia terhadap tumbangnya kekuasaan rezim orde baru (Orba), 23 tahun silam.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai, di saat usia reformasi bertambah dewasa, justru dalam beberapa tahun ini ruang kebebasan sipil di Tanah Air semakin menyempit.

“Selama beberapa tahun terakhir, ruang kebebasan sipil di Indonesia semakin menyempit. Ini jelas terlihat dalam sejumlah insiden yang terjadi baru-baru ini, mulai dari kriminalisasi dengan menggunakan pasal bermasalah dalam UU ITE hingga serangan digital terhadap kritik pemerintah,” kata Usman Hamid kepada Liputan6.com, Jumat (21/5/2021).

Keberadaan delapan pasal bermasalah di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya dua pasal multitafsir, yakni Pasal 27 (3) tentang penghinaan dan pencemaran nama baik serta Pasal 28 (2) tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA, menurutnya telah menjadi alat untuk membatasi hak atas kebebasan berpendapat, mulai dari warga biasa hingga tokoh oposisi telah menjadi korban kriminalisasi akibat aturan ini hanya karena menyampaikan kritik.

Amnesti mencatat, sepanjang 2020 setidaknya terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141 tersangka, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.

Sementara tahun ini terhitung hingga Mei 2021, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 24 kasus serupa dengan total 30 korban.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Protes PHK Berujung Ancaman Pidana

Kasus terbaru atas pelanggaran kebebasan berekspresi dengan UU ITE menjerat Stevanus Mimosa Kristianto. Pada 29 April 2021, Polda Metro Jaya menetapkannya sebagai tersangka pencemaran nama baik. 

Menurut Usman, kasusnya bermula pada Februari 2019. Saat itu, Kristianto dan sekitar 50 rekannya melakukan demonstrasi untuk memprotes Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan yang mereka anggap sepihak. Orasi Kristianto dalam demonstrasi tersebut diliput oleh beberapa media online.

Pada Mei 2019, pihak perusahaan melaporkan Kristianto ke polisi atas orasinya itu, dengan tuduhan melanggar Pasal 27(3) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Kristianto mendapat surat panggilan dan diperiksa pada Desember 2020, dan nasibnya berubah akhir bulan lalu.

“Kasus yang dialami Kristianto menjadi satu dari banyak contoh yang menunjukkan urgensi revisi atas pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE. Pengungkapan pendapat secara damai jelas tidak boleh dikriminalisasi dengan menggunakan undang-undang apapun. Terlebih lagi, dalam kasus ini, Kristianto tidak menggunakan media elektronik, jadi bagaimana dia dapat dijadikan tersangka UU ITE?” kata Aktivis 98 itu.

“Sudah lebih dari dua dekade kita melewati masa reformasi. Hal yang bertentangan dengan asas kebebasan yang diperjuangkan 1998 lalu seperti kasus Kristianto ini masih saja terjadi? Kita patut prihatin,” tambahnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.