Sukses

Edhy Prabowo Tak Ajukan Keberatan Atas Dakwaan Jaksa Terkait Suap Izin Ekspor Benih Lobster

Terdakwa Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melalui tim kuasa hukumnya tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan yang dibacakan jaksa Penuntut Umum (JPU).

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melalui tim kuasa hukumnya tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan yang dibacakan jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal itu disampaikan Edhy Prabowo usai mendengarkan dakwaan jaksa pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Kamis (15/4/2021).

"Setelah kami berdiskusi kepada terdakwa, kami berkesimpulan baik terdakwa maupun pengacara tidak mengajukan keberatan," kata Kuasa Hukum Edhy Prabowo, Soesilo Ari Wibowo.

Namun demikian, Soesilo meminta agar dalam proses pemeriksaan saksi nantinya, agar diberitahukan terlebih dahulu oleh jaksa daftar saksi yang diperiksa. Hal itu diperlukan, karena dilihat cukup banyak saksi yang akan dihadirkan.

"Namun demikian ada beberapa hal yang kita sampaikan ketika proses ini dilangsungkan pemeriksaan saksi, untuk JPU disebutkan dahulu saksi yang akan diperiksa," katanya.

Karena tidak ada nota keberatan, maka majelis hakim menyampaikan kalau minggu depan sidang akan dilanjutkan dengan pemerikaaan saksi.

"Terimakasihatas terdakwa yang tidak menyampaikn nota keberatan maka dilanjutkan dengan pemeriksaan pembuktian," kata hakim.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dakwaan

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih lobster. Uang itu diduga untuk mempercepat izin ekspor yang dikeluarkan Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) RI.

Dakwaan itu dibacakan jaksa dalam sidang yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Kamis (15/4/2021), untuk terdakwa Edhy Prabowo dalam perkara No.26/Pid.Sus.TPK/2021/.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan telah menerima hadiah atau janji," kata jaksa.

Dari uang suap sebanyak Rp 25,7 miliar yang diterima Edhy Prabowo, salah satunya berasal dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito.

Melalui Amiril Mukminin dan Safri selaku staf, Edhy Prabowo menerima hadiah berupa uang sejumlah USD 77 ribu atau setara Rp 1,1 miliar dari Suharjito guna memuluskan izin budidaya dan ekspor benih losbter.

Lalu, melalui terdakwa Amiril Mukminin, Staf Pribadi Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih; Stafsus Edhy Prabowo, Andreau Misanta Pribadi; serta Pemilik PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadhi Pranoto Loe juga menerima hadiah uang sebesar Rp 24,6 dari Suharjito dan eksportir lainnya.

Sehingga, nilai total keseluruhan uang suap yang diterima Edhy Prabowo melalui stafnya dari Suharjito dan sejumlah eksportir lainnya mencapai Rp 25,7 miliar.

"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," ucap Jaksa.

Uang tersebut dimaksud supaya terdakwa bersama-sama Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT. DPPP dan para eksportir BBL lainnya.

"Yang bertentangan dengan kewajiban Terdakwa selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme," ucap jaksa.

Atas perbuatannya, Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.