Sukses

HEADLINE: Penggabungan dan Kementerian Baru, Siapa Jabat Posisi Menteri?

DPR menyetujui penggabungan Kemenristek dengan Kemendikbud dan pembentukan Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menghapus Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dari Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Kementerian yang dipimpin Bambang Brodjonegoro itu akan dilebur dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Penggabungan Kemenristek dengan Kemendikbud telah disetujui DPR RI melalui Rapat Paripurna yang digelar Jumat 9 April 2021 lalu dengan nama baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Paripurna juga menyetujui pembentukan Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja.

Keputusan tersebut diambil setelah DPR menerima Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian. Surat tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui rapat konsultasi pengganti rapat Badan Musyawarah (Bamus) pada 8 April 2021 yang menyepakati penggabungan dan pembentukan kementerian tersebut.

Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, bukan kali ini saja pemerintah meleburkan kementerian menjadi satu. Sejak dulu, kata dia, pemerintah kerap bongkar pasang kementerian.

Pada periode pertama, Presiden Jokowi menggabungkan Kemenristek dengan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Kemudian di perode keduanya, pendidikan tinggi dipisah dari Kemenristek dan digabung ke Kemendikbud. Belum genap dua tahun, giliran Kemenristek yang akan dilebur dengan Kemendikbud.

"Sesungguhnya ini kan bongkar pasang pola lama yang dilakukan oleh pemerintah. Ini merusak birokrasi, karena pejabat-pejabatnya kan hilang, mereka tidak kondusif bekerja seperti itu. Misalkan Sekjen Kemenristek dia tidak dapat posisi, terus akan kemana. Kemudian eselon-eselon 1 juga akan kemana," kata Ujang saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (14/4/2021).

Menurut Ujang, pemerintah seharusnya memiliki visi jangka panjang dalam melebur atau memisah kementerian. Terlalu sering bongkar pasang pemerintahan dinilai dapat membuat birokrasi tidak berjalan sehat dan efektif.

"Ini yang membuat persoalan kinerja di kementerian itu tidak akan bekerja dengan baik," ucap dia.

Dia menduga, peleburan kementerian itu dimaksudkan untuk efisiensi dan perampingan birokrasi. Namun di saat yang sama, Jokowi justru menaikkan kelas Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja.

"Itu kan sebenarnya bukan efisiensi, justru menambah beban. Ada pejabat baru, ada sekjen, inspektorat, dan sebagainya. Mungkin plusnya ingin efisiensi, tapi minusnya birokrasi-birokrasi tidak akan bekerja efektif karena mereka merasa digeser-geser," terang Ujang.

Dengan adanya keputusan ini, tentu Presiden Jokowi dalam waktu dekat ini akan melakukan reshuffle atau perombakan kabinet. Bambang Brodjonegoro pasti akan menanggalkan jabatan Menristek karena kementeriannya sudah dihilangkan dari kabinet. Apalagi dia telah berpamitan ke publik.

Seperti prediksi sejumlah kalangan, Ujang juga memperkirakan bahwa Bambang Brodjonegoro akan ditunjuk sebagai Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara (IKN).

Lalu bagaimana nasib Mendikbud Nadiem Makarim? 

"Pak Nadiem saya enggak tahu apakah direshuffle atau tidak. Kalau melihat dari kinerjanya banyak yang mengkritik, dari DPR, dari masyarakat, ormas-ormas juga banyak yang mengkritik. Banyak kinerjanya yang kontroversial, maka semestinya direshuffle secara kinerja. Tetapi secara politis bisa jadi aman," ucapnya.

Lebih lanjut, Ujang menyatakan bahwa yang cocok menjadi Mendikbud-Ristek adalah sosok berlatar belakang profesional dan mengerti akar permasalah pendidikan di Indonesia. 

"Biasanya orang-orang yang ahli itu datang dari kalangan Muhammadiyah karena mereka sudah teruji dari konteks pendidikannya, perguruan tinggi, banyak yang terbaik dan sebagainya. Tapi tergantung dengan Pak Jokowi," katanya.

Sementara Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjadi kandidat kuat Menteri Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja. "Saya melihatnya Bahlil ya karena itu mungkin komitmen awal Jokowi ketika mengangkat Bahlil. Kelihatannya masih akan tetap Bahlil," ucap Ujang.

Kejutan Reshuffle

Ujang tak menutup kemungkinan Jokowi akan memberikan kejutan pada reshuffle kali ini. Menurut dia, bisa saja momentum perombakan kabinet ini juga akan merembet ke menteri lain yang dinilai kinerjanya tidak memuaskan.

"Ini yang kita tunggu. Makanya reshuffle itu kan sebenarnya harus melihat kinerja-kinerja menteri itu agar objektif, terukur, bagus. Menteri yang bagus pertahankan, menteri yang buruk reshuffle," katanya.

Menteri yang dinilai kinerjanya tidak memuaskan dan layak direshuffle, menurut Ujang, antara lain Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar.

"Cuma persoalannya saya melihat enggak akan direshuffle karena Teten dekat dengan Jokowi. Mendes dan Menaker itu juga orang partai," ucap dia.

Dia berharap Jokowi tidak mengulur-ulur reshuffle. Apalagi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin telah menyatakan reshuffle akan dilakukan pekan ini. Jika isu reshuffle ini dibiarkan bergulir lama, dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerja kementerian. 

"Jangan terlalu lama, ini kan hal yang positif. Apalagi ini Ramadan situasi sedang kondusif, lalu juga nomenklaturnya sudah jelas. Jadi jangan terlalu lama juga isu reshuffle ini terus mengemuka. Segera dieksekusi. Kalau istana sudah mengatakan minggu depan, ya mungkin minggu depan," kata Ujang.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio tidak mempermasalahkan pemerintah mengotak-atik kabinetnya, termasuk meleburkan atau melahirkan kementerian baru. Menurut dia, yang terpenting dalam kasus ini adalah pemimpinnya.

"Mau dipisah atau mau sendiri-sendiri itu tidak persoalan. Kita kan sudah sering menggabung, melepas, menggabung tapi kan enggak berhasil. kalau buat saya itu sama saja, apapun alasannya yang penting adalah siapa yang memimpin kementerian itu," kata Agus saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (14/4/2021).

Agus mengatakan, seorang pemimpin lembaga sekelas kementerian harus memenuhi empat kriteria. Pertama berintegritas. Kedua memiliki kemampuan leadership atau kepemimpinan yang baik. Ketiga memiliki jaringan yang luas. Dan keempat sudah kenyang.

"Artinya dia tidak akan korupsi. Dia sudah kenyang, jadi buat apalagi cari duit, jadi ini saatnya buat dia untuk mengabdikan keahliannya ke negara ini. Kalau dia sampai korupsi ya jangan jadi pemimpin," tuturnya.

Dia mengakui, tugas dan beban kerja Kemendikbud-Ristek akan lebih berat setelah digabung. Namun dia tetap optimistis kementerian tersebut akan berjalan baik jika dipimpin oleh menteri yang tepat.

"Kalau berat iya berat, tapi ada dirjen-dirjennya yang memang sudah karier. Sekali lagi tergantung pada pimpinannya, atau menterinya. Kalau dia enggak punya empat kriteria itu, hanya memimpin karena ditunjuk oleh partai atau oleh seseorang, ya itu enggak akan berhasil," kata Agus.

Namun Agus enggan menyebut nama seseorang yang layak mengisi pos kementerian tersebut. Dia hanya kembali menegaskan bahwa Mendikbud-Ristek nantinya harus memenuhi empat kriteria di atas.

Saat disinggung soal peluang Nadiem Makarim memimpin kementerian tersebut, Agus menilai mantan bos Gojek Indonesia itu belum memenuhi empat kriteria yang disebutkan, terutama soal leadership dan jaringan.

Hal itu terlihat dari kinerjanya selama menjadi Mendikbud yang kerap menuai polemik. Meski diakui, Nadiem merupakan sosok anak muda yang cerdas dan inovatif, namun dia dianggap belum berhasil memimpin Kemendikbud ke arah yang lebih baik.   

"Dia secara leadership kita masih pertanyakan karena usianya masih muda. Secara jaringan kita masih masalahkan karena dia kan lama juga sekolah di luar negeri, meskipun ayahnya lawyer terkenal. Punya integritas? Belum dibuktikan. Tidak korupsi? Ya belum dibuktikan," ujarnya.

Kendati begitu, Agus berharap sosok yang akan memimpin Kemendikbud-Ristek nantinya tidak berasal dari kalangan partai politik. Dia meragukan politikus dapat bekerja secara profesional.

"Karena orang partai itu mau secanggih apapun dia, dia harus menuruti ketua partai. Kalau ketua minta ini enggak dikasih, itu disuruh turun. Jadi jangan berharap bisa profesional. Semua kementerian yang partisan ya menurut saya enggak berjalan dengan baik," kata Agus Pambagio menandaskan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Langkah Keliru

Sementara itu, Akademisi sekaligus bekas Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Yanuar Nugroho menilai peleburan Kemenristek ke Kemendikbud menandakan pemerintahan Presiden Jokowi tak memperioritaskan riset dan inovasi. 

"Pembubaran dan penggabungan kementerian di tengah masa kerja kabinet seperti memberi sinyal bahwa tidak ada perencanaan untuk hal-hal sestrategis ini. Selain itu sinyal bahwa riset dan inovasi memang bukan prioritas. Ini sinyal-sinyal yang ditangkap khalayak -suka atau tidak," ujar Yanuar melalui akun Twitter pribadinya, dikutip Liputan6.com pada Rabu (14/4/2021).

Ia memandang peleburan Kemenristek ke Kemendikbud merupakan langkah yang keliru. Tidak adanya lagi kementerian yang secara khusus berfungsi menata kebijakan dan strategi riset. Padahal tanpa riset, iptek, dan inovasi yang bermutu, maka tak akan ada kemajuan.

"Kalau memang mau dikenang sebagai pemerintahan yang meletakkan kemajuan bangsa, langkah membubarkan Kemenristek (halusnya: melebur Kemenristek ke Kemendikbud) adalah langkah yang salah. Boleh ada BRIN, tapi membubarkan Kemenristek itu salah," katanya.

Kendati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tetap dipertahankan, namun menurutnya, memiliki fungsi yang beda dengan kementerian. BRIN hanya bertugas untuk melaksanakan kebijakan dan strategi. Sementara yang menetapkan kebijakan adalah kementerian yang menjalankan urusan riset dan inovasi.

Masalah lainnya adalah soal penggabungan urusan riset dan pendidikan dalam satu kementerian. Padahal filosofi riset dan teknologi berbeda dengan filosofi pendidikan. 

Menurutnya, filosofi pendidikan adalah pendampingan untuk membentuk selera (taste), hasrat (desire), dan kebiasaan (habit) seseorang. Karenanya, hal ini lebih dari sekedar soal kurikulum, guru, dan buku.

Sedangkan filosofi penelitian adalah pendampingan untuk membangun kemampuan berpikir (thinking), menelisik (inquiry), dan membangun penjelasan (reasoning). Itu sebabnya mengapa urusan riset, iptek, inovasi juga harus ditangani khusus. Karena ini bukan hanya soal laboratorium, anggaran, atau jurnal.

"Kemendikbud (minus Dikti) sudah benar menangani soal-soal di hulu: PAUD, pendidikan dasar, menengah, dan pembentukan nilai lewat budaya," kata Yanuar.

Kemendikbud sendiri kata Yanuar mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai pembentuk kebijakan dan mengimplementasikannya. Itulah mengapa ada jabatan direktur jenderal pada kementerian tersebut yang bertugas untuk membentuk kebijakan dan implementasi. Bukan justru deputi yang hanya membentuk kebijakan atau hanya mengimplementasi. 

"Kalau ristek dilebur ke sana, pasti akan jadi ditjen dan dipimpin dirjen. Padahal, implementasinya ada di BRIN," ujarnya.

Sementara BRIN tidak bisa diberikan kewenangan membuat kebijakan. "Enggak boleh. BRIN itu badan. Tugasnya implementasi. Adanya deputi, bukan dirjen. Coba lihat UU 11/2019, kalau dipaksakan kebijakan di BRIN, maka akan numpuk semua. Potensi penyelewengan kuasa akan makin besar," paparnya.

Penggabungan Berisiko Besar

Yanuar juga melihat penggabungan dua kementerian tersebut mempunyai risiko yang besar. Semua yang dikerjakan kementerian akan setengah-setengah.

"Atau berantakan dan gagal. Juga karena yang ditangani luar biasa banyaknya. Loh tapi kan banyak orang pinter di Dikbud? Enggak akan tertangani maksimal. Percayalah," katanya.

Persoalan lain yang turut membentur kinerja kementerian yang dilebur adalah masalah administrasi. Menurutnya, pembentukan kementerian/lembaga baru selalu butuh waktu untuk menyiapkan anggaran, dan strukturnya.

"BPIP, BRG, Kemenristekdikti, butuh lebih dari setahun sejak dibentuk sampai bisa berjalan. Kemendikbudristek dan BRIN akan butuh berapa lama?" ujar Yanuar.

"Pasti bisa cepat! percaya? saya tidak. Berapa banyak eselon 1, 2 dan lain-lain dari Ristek yang akan ke Dikbud? Mau diatur seperti apa? Berapa banyak deputi/pejabat di BRIN? Berapa lama merekrutnya? Anggarannya gimana? Satu-satunya cara: presiden sendiri harus turun tangan kalau mau cepat," katanya menandaskan.

Tidak Belajar dari Pengalaman

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai kebijakan pemerintahan Jokowi melebur Kemenristek ke Kemendikbud merupakan langkah mundur. Jokowi dinilai tidak belajar pengalaman sebelumnya bahwa menggabungkan kedua kementerian itu tidak efektif. Tugas dan fungsinya tidak berjalan maksimal.

"Kita pernah berpengalaman dengan penggabungan fungsi Pendidikan tinggi dengan Riset dan Teknologi dalam bentuk Kemenristek-Dikti. Ternyata dalam pelaksanaannya tidak berjalan efektif, sehingga fungsi ristek dikembalikan lagi ke Kementerian Ristek dan fungsi Pendidikan Tinggi dikembalikan ke Kementerian Dikbud," ujar Mulyanto kepada wartawan, Jumat (9/4/2021).

"Dan sekarang Pemerintah melakukan hal yang sama untuk sesuatu yang sudah dikoreksi. Dengan membentuk Kemndikbud-Ristek. Tentu keputusan ini sangat membingungkan," sebutnya.

Keputusan Jokowi itu dinilai tidak akan efektif. Peleburan kementerian membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk koordinasi dan adaptasi.

"Proses adaptasinya saja perlu waktu sekitar 2-3 tahunan. Sementara Pemerintahan Jokowi periode kedua efektif tinggal 2 tahun lagi. Maka praktis kementerian baru ini tidak akan efektif bekerja di sisa usia pemerintahan sekarang ini," kata politikus PKS ini.

Dengan digabungkannya Kemendikbud-Ristek, kata Mulyanto, maka perumusan kebijakan dan koordinasi ristek akan semakin tenggelam oleh persoalan pendidikan dan kebudayaan yang sudah segunung. Belum lagi terkait kerumitan koordinasi kelembagaan antara Kemendikbud-Ristek dengan BRIN dan LPNK ristek lainnya.

Kebijakan ristek yang semestinya semakin mengarah ke hilir dalam rangka hilirisasi dan komersialisasi hasil ristek dalam industri dan sistem ekonomi nasional, dengan penggabungan Kemendikbud-Ristek bisa jadi akan kembali berorientasi ke 'hulu' dimana ristek menjadi unsur penguat empirik dalam pembangunan manusia.

"Beda halnya kalau Kemenristek ini digabung dengan Kemenperin. Ini dapat menguatkan orientasi kebijakan inovasi yang semakin ke hilir dalam rangka industrialisasi 4.0," tandas Mulyanto.

3 dari 3 halaman

Bagaimana Nasib ASN?

Penggabungan Kemenristek dan Kemendikbud ini tentu akan berdampak pada aparatur sipil negara (ASN) di dua kementerian tersebut.

Terkait hal itu, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Teguh Widjinarko mengatakan, pegawai negeri sipil (PNS) dari Kemenristek dan Kemendikbud akan dialihkerjakan ke Kementerian baru yakni Kemendikbud Ristek.

"Sebenarnya pemerintah sudah memiliki pengalaman banyak terkait dengan penggabungan, pemisahan atau pembubaran organisasi pemerintah, dan selama ini bisa dilakukan tanpa masalah," kata Teguh kepada Liputan6.com, Minggu (11/4/2021).

Teguh menjelaskan, dalam proses penggabungan kementerian tersebut, pemerintah selalu menerapkan prinsip utama yakni tidak merugikan pegawai yang terdampak.

Menurutnya, secara aturan sebagaimana ditetapkan dalam PP Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada mekanisme yang harus dilalui. Misalnya dalam pasal 241 diatur beberapa mekanisme.

"Salah satunya adalah disalurkan ke instansi pemerintah lainnya. Dalam kasus Kemristek, maka jelas pegawai akan dialihkan ke instansinya yang baru. Tentunya setelah ada struktur organisasi yang jelas," katanya.

Sementara itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan siap mengikuti arahan Presiden Joko Widodo soal dibentuknya Kementerian Investasi. Jubir BKPM Tina Talisa belum mau berbicara lebih jauh apakah BKPM akan dilebur menjadi di Kementerian Investasi tersebut.

"Terkait pembentukan kementerian investasi, hal tersebut merupakan hak prerogatif bapak presiden dan BKPM dalam posisi mengikuti arahan bapak presiden," katanya lewat pesan singkat kepada merdeka.com, Jumat (9/4/2015).

Menurutnya, bukan kapasitas BKPM menjelaskan peran Kementerian Investasi tersebut. Dia hanya bilang, terkait kementerian baru ini tentu akan dijelaskan dalam waktu dekat.

"Mengenai kewenangan, peran, dan fungsi BKPM dan kementerian investasi tentu akan dijelaskan lebih detail dalam waktu dekat dan bukan kapasitas BKPM untuk menjelaskan," katanya.

Tina juga tidak bisa mengungkapkan apakah Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang akan menjadi Menteri Investasi. Pihaknya hanya mengikuti apapun yang diputuskan kepala negara.

"Namun BKPM tentu siap menjalankan apa pun yang diputuskan dan diarahkan bapak presiden," tandas mantan presenter itu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.