Sukses

HEADLINE: Panduan Ibadah Ramadan dari Kemenag, Aktivitas yang Boleh dan Tidak?

Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan 1 Ramadan 1442 Hijriah jatuh pada Selasa 13 April 2021.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan 1 Ramadan 1442 Hijriah jatuh pada Selasa 13 April 2021. Ini kali kedua umat Muslim di Indonesia menjalani ibadah Ramadan di tengah pandemi Covid-19.

Awalnya, Kemenag menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2021 tentang Panduan Ibadah pada Ramadhan dan Idul Fitri 1422 Hijriah, yang kemudian diubah dan diterbitkan lagi pembaharuannya melalui SE Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2021. Ada tambahan satu poin dari aturan tersebut, yang awalnya 11 poin kini menjadi 12 poin.

Seperti dilansir dari laman kemenag.go.id, Selasa (13/4/2021), secara rinci, berikut ketentuan Surat Edaran Menag terkait Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1442H/2021M:

1. Umat Islam, kecuali bagi yang sakit atau atas alasan syari lainnya yang dapat dibenarkan, wajib menjalankan ibadah puasa Ramadan sesuai hukum syariah dan tata cara ibadah yang ditentukan agama;

2. Sahur dan buka puasa dianjurkan dilakukan di rumah masing-masing bersama keluarga inti;

3. Dalam hal kegiatan buka puasa bersama tetap dilaksanakan, harus mematuhi pembatasan jumlah kehadiran paling banyak 50% dari kapasitas ruangan dan menghindari kerumunan;

4. Pengurus masjid atau musala dapat menyelenggarakan kegiatan ibadah antara lain:

a. Salat fardu lima waktu, salat tarawih dan witir, tadarus Al-Quran, dan iktikaf dengan pembatasan jumlah kehadiran paling banyak 50% dari kapasitas masjid atau musala dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat, menjaga jarak aman 1 meter antarjemaah, dan setiap jemaah membawa sajadah serta mukena masing-masing;

b. Pengajian/Ceramah/Taushiyah/Kultum Ramadan dan Kuliah Subuh paling lama dengan durasi waktu 15 (lima belas) menit;

c. Peringatan Nuzulul Quran di masjid/musala dilaksanakan dengan pembatasan jumlah audiens paling banyak 50% dari kapasitas ruangan dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat;

5. Pengurus dan pengelola masjid/musala sebagaimana angka 4 (empat) wajib menujuk petugas yang memastikan penerapan protokol kesehatan dan mengumumkan kepada seluruh jemaah, seperti melakukan disenfektan secara teratur, menyediakan sarana cuci tangan di pintu masuk masjid/mushala, menggunakan masker, menjaga jarak aman, dan setiap jamaah membawa sajadah/mukena masing-masing.

6. Kegiatan ibadah Ramadan di masjid/musala, seperti salat tarawih dan witir, tadarus Al-Quran, iktikaf dan Peringatan Nuzulul Quran tidak boleh dilaksanakan di daerah yang termasuk kategori zona merah (risiko tinggi) dan zona oranye (risiko sedang) penyebaran Covid-19 berdasarkan penetapan pemerintah daerah setempat.

7. Peringatan Nuzulul Quran yang diadakan di dalam maupun di luar gedung, di daerah yang masuk ketegori risiko rendah (zona kuning) dan aman dari penyebaran Covid-19 (zona hijau), wajib memperhatikan protokol kesehatan secara ketat dan jumlah audiens paling banyak 50% dari kapasitas tempat/lapangan.

8. Vaksinasi Covid-19 dapat dilakukan di bulan Ramadan berpedoman pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 Saat Berpuasa, dan hasil ketetapan fatwa ormas Islam lainnya.

9. Kegiatan pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) serta zakat fitrah oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan dan menghindari kerumunan massa.

10. Dalam penyelenggaraan ibadah dan dakwah di bulan Ramadan, segenap umat Islam dan para mubaligh/penceramah agama agar menjaga ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyah, dan ukhuwwah bashariyah serta tidak mempertentangkan masalah khilafiyah yang dapat mengganggu persatuan umat.

11. Para mubaligh/penceramah agama diharapkan berperan memperkuat nilai-nilai keimanan, ketakwaan, akhlaqul karimah, kemaslahatan umat, dan nilai-nilai kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui bahasa dakwah yang tepat dan bijak sesuai tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah.

12. Salat Idul Fitri 1 Syawal 1442 H/2021 M dapat dilaksanakan di masjid atau di lapangan terbuka dengan memperhatikan protokol kesehatan secara ketat, kecuali jika perkembangan Covid-19 semakin negatif (mengalami peningkatan) berdasarkan pengumuman Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk seluruh wilayah negeri atau pemerintah daerah di daerahnya masing-masing.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, SE ini sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang pengendalian penyebaran Covid-19 pada masa Ramadan, mudik, dan Idul Fitri 1442 H.

Bahkan, dia mengaku telah mengumpulkan seluruh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi dan seluruh Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) untuk menyosialisasikan SE tersebut secara luas dan massif.

"Saya berharap, ini dapat menimbulkan kemaslahatan bersama," kata Yaqut dalam keterangan tertulis, Senin (12/4/2021).

Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ade Irfan Pulungan memandang panduan yang dikeluarkan Kementerian Agama adalah acuan dan rujukan untuk tetap waspada dan mengantisipasi penyebaran Covid-19 namun bisa tetap beribadah tanpa membahayakan orang.

"Panduan ini sebagai warning kepada kita semua agar kita waspada, mematuhi, tetapi disiplin terhadap protokol kesehatan. Itu saja," kata Ade kepada Liputan6.com, Selasa (13/4/2021).

Karenanya, yang berbeda dari puasa kemarin dengan tahun ini, adalah bagaimana setiap individu bisa bertanggungjawab dan berdisiplin dalam menjalani ibadah Ramadan tetapi tetap menekan penyebaran Covid-19.

"Kita harus bisa melihat berpikir jernih dalam kondisi penyebaran virus Corona ini. Urgensi untuk kita beribadah dalam keramaian itu harus bisa rasional. Apakah berdampak pada penyebaran virus Corona yang ada sekitar kita, apakah kita harus menahan diri melakukan ibadah di rumah saja. Artinya esensi nilai ibadah itu kan tidak berkurang dalam kondisi hari ini," ungkap Ade.

Menurutnya, tidak ada niat sebenarnya pemerintah mengintervensi khususnya umat Muslim untuk menjalani ibadah Ramadan. Sejatinya dalam kondisi seperti ini, semangat dari masing-masing individu untuk menyadari kondisi yang masih di tengah pandemi Covid-19 adalah kuncinya.

"Kalau tidak penting-penting banget (keluar) menghindari kerumunanlah, menghindari keramaian. Lebih baik bersama keluarga sendiri. Kita meresapi dan berkumpul dengan keluarga juga sesuatu yang sangat berharga, ini mungkin kesempatan kita, kita bisa melakukan ibadah puasa dan ibadah sunnah lainnya bersama keluarga," tutur Ade.

 

 Didukung PBNU dan Muhammadiyah

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah bisa dinilai sebagai bentuk menjalani ibadah Ramadan. Karena, menjaga kesehatan dan keselamatan diri dan orang lain termasuk di dalamnya.

"Salat Tarawih juga ibadah. Tapi ingat, menjaga menjaga kesehatan dan keselamatan hukumnya wajib. Jadi menurut ajaran agama harus mendahulukan yang wajib dengan cara Salat Tarawih cukup di rumah," kata Robikin kepada Liputan6.com, Selasa (13/4/2021).

Karena itu, ada baiknya masyarakat mengikuti apa yang sudah diatur pemerintah terutama soal apa yang diperbolehkan di zona merah sampai hijau. "Ingat, harus mematuhi protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Bagi yang tinggal di zona merah utamakan kesehatan dan keselamatan diri serta orang lain," ungkap Robikin.

Dia pun mengajak umat Muslim di bulan Ramadan ini memohon agar bangsa Indonesia aman, terhindar dari musibah, bencana, dan mampu mengatasi pandemi Covid-19.

Setali tiga uang, Sekjen Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti juga berharap umat Muslim dalam menjalankan ibadah Ramadan senantiasa untuk menjalani protokol kesehatan Covid-19 sebagaimana diatur oleh pemerintah.

Bahkan, selain Salat Tarawih dia juga menyarankan ibadah seperti Tadarus Al'quran juga dilakukan di rumah.

"Buka bersama sebaiknya tidak diselenggarakan, kultum mungkin jika diperlukan tidak perlu dilaksanakan. Tetapi kalau dilaksanakan dalam waktu tidak terlalu lama sehingga tidak terjadi kerumunan di dalam masjid atau tempat ibadah dengan potensi potensi yang memungkinkan terjadinya penularan covid-19," kata Mu'ti kepada Liputan6.com, Selasa (13/4/2021).

Menurutnya harus disadari bahwa Islam mengajarkan untuk mengutamakan keselamatan dibanding mencari keutamaan. "Menghindari terjadi kemungkinan yang mendatangkan bahaya dan kerusakan harus lebih diutamakan dibandingkan kita mencari kemuliaan atau keutamaan di dalam pelaksanaan ibadah," ungkap Mu'ti.

Dia juga menuturkan, Nabi sudah mengajarkan bahwa Salat Tarawih berjamaah di rumah adalah ibadah yang sah.

"Marilah bersama-sama senantiasa berusaha menjaga agar pandemi cepat berakhir, pandemi dapat diatasi bersama-sama. Marilah kita senantiasa disiplin, senantiasa semaksimal mungkin agar pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan ini senantiasa mendapatkan ridho dari Allah dan kita bisa bersama-sama tetap menjaga dan mencegah terjadi penularan pandemi Covid-19," kata Mu'ti.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Masih Beresiko

Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windu Purnomo memandang apa yang dilakukan oleh pemerintah pada Ramadan kali ini memberikan relaksasi terhadap aktivitas ibadah yang masih beresiko dan membuat penularan Covid-19 bisa saja terjadi.

"Prinsip penularan kan pokoknya ada orang bergerak, berinteraksi, ya akan terjadi penularan. Jadi selama pandemi belum terkendali, sebetulnya kita harus mandiri, itu prinsipnya," kata Windu kepada Liputan6.com, Selasa (13/4/2021).

Dia menuturkan, meski sudah ada SE Menteri Agama tersebut, kendali masih ada di tangan para pemimpin daerah karena yang tahu perkembangan kasus Covid-19 dan keadaan di wilayahnya hanya mereka sendiri.

"Kalau sudah di bawah 5 persen (positivity rate) silahkan. Kalau mau relaksasi masjid, gereja dan lain-lain, itu prinsipnya dan yang tahu adalah kepala daerahnya masing-masing," ungkap Windu.

Karena itu, dia menyadari bahwa angka positivity rate Indonesia masih jauh di atas 5 persen. "Kalau menurut WHO itu masih high incidence. Kadang masih very high incidence di atas 20 persen," jelas Windu.

Karenanya, untuk mengendalikan masyarakat sebenarnya kontrolnya ada di pemerintah. Dan lewat aturan yang tepat.

"Masyarakat itu bagaimanapun kepingin aja sudah lepas, bebas kan. Tapi pemerintah yang harus menyampaikan aturan-aturan itu. Semua regulasi itu harus dilakukan pemerintah dan betul-betul ada law enforcement-nya lah," tutur Windu.

Meski demikian, masyarakat juga diminta bisa menahan diri dulu terlebih dalam menjalankan ibadah di luar rumah selama daerahnya belum dirasa aman.

"Tapi kalau mau nekat ya itu pemerintah sudah menyampaikan yang harus dipatuhi di tempat-tempat ibadah. Kemudian jangan membawa orang tua dan balita ikut di dalam salat," kata Windu.

 

3 dari 3 halaman

Harus Terkoodinasi dengan Baik

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan, panduan ibadah yang diatur oleh Kementerian Agama harus terkoordinasi dengan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) berskala mikro.

"Ini penting, agar kebijakan pelaksanaan pengendalian penularan Covid-19 di level paling mikro dapat dikendalikan bersama dengan penanggungjawab PPKM skala mikro. Dalam menjalankan mengimplementasikan protokol kesehatannya apakah di masjid dan musala itu ada yang mengawasi pelaksanaannya? Apakah sudah betul-betul sesuai dengan prokes?," kata Ace kepada Liputan6.com, Selasa (13/4/2021).

Dia mengingatkan menjaga keselamatan diri itu merupakan kewajiban agama. "Karena itu implementasi dari pelaksanaan panduan Ramadan itu perlu ada yang mengawal pelaksanaannya agar tidak ada yang melanggar prokes sehingga kita terhindar dari penularan Covid-19," ungkap Ace.

Karenanya, jika sulit menghindar dari kerumunan sebaiknya di rumah saja bersama keluarga. "Toh beribadah, termasuk salat berjamaah dan buka puasa bersama keluarga jauh lebih nikmat," kata politisi Golkar ini.

Sementara, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan pemberian izin berbuka puasa hingga ibadah Ramadan di luar rumah harus disertai pengawasan protokol kesehatan ketat.

Karenanya, pemberian izin ibadah di masjid dengan syarat kapasita 50 persen sudah cukup adil mengingat pemerintah sudah membuka lebar tempat wisata.

"Kalau umat dipersulit ibadah tapi wisata dibuka, atau bahkan pejabat negara tidak memberi contoh baik dengan masih berkerumun, maka menghadirkan ketidakpercayaan publik," kata Hidayat kepada Liputan6.com, Selasa (13/4/2021).

Dia pun berharap pemerintah serius dalam mengawasi protokol kesehatan yang diterapkan. "Semua harus menerapkan prokes serius," tutur Hidayat.

Dia juga mengingatkan bahwa ibadah Salat Tarwaih atau berbuka puasa adalah sunah. "Sementara menjaga kesehatan wajib, karena itu saya cenderung memaksimalkan buka puasa bersama dengan puasa keluarga inti di rumah," kata politisi PKS ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.