Sukses

HEADLINE: Uji Coba Belajar Tatap Muka di Jakarta Mulai 7 April 2021, Amankah?

Pemprov DKI Jakarta melakukan uji coba pembelajaran tatap muka di 85 sekolah mulai Rabu 7 April 2021. Seperti apa penerapannya?

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan uji coba Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di 85 sekolah yang ada di ibu kota. Uji coba PTM di tengah situasi pandemi Covid-19 ini dilakukan mulai 7 hingga 29 April 2021.

Uji coba ini dilakukan untuk memastikan bahwa kesehatan dan keamanan peserta didik adalah prioritas utama dalam perancangan kebijakan pelaksanaan pembelajaran tatap muka pada Juli 2021 mendatang. Uji coba dilakukan secara terbatas dengan sistem pembelajaran campuran (blended learning).

Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta, Nahdiana, menyatakan pihaknya bekerja sama dengan berbagai pihak dalam menyiapkan rencana pembelajaran tersebut. Berbagai rekomendasi pun telah diterima demi menjamin kesehatan dan keselamatan peserta didik.

“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sangat berhati-hati dan tidak terburu-buru dalam mengambil kebijakan terkait pelaksanaan satuan pendidikan di semester genap tahun pelajaran 2020/2021. Prioritas kita semua adalah kesehatan dan keamanan peserta didik. Tentunya seluruh persiapan akan didiskusikan terlebih dahulu dan dimatangkan sebelum dilaksanakan,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (6/4/2021).

Disdik DKI telah mempersiapkan kanal Siap Belajar untuk asesmen mandiri seluruh satuan pendidikan di ibu kota. Siap Belajar merupakan asesmen yang mengukur dua aspek penting dalam PTM, yaitu kesiapan sarana prasarana pendukung protokol kesehatan dan kesiapan satuan pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran campuran, baik di rumah maupun tatap muka terbatas.

Nahdiana menyebut, setiap butir penilaian yang ada pada Siap Belajar memiliki kriteria yang disesuaikan dengan standar kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) serta pedoman yang dikeluarkan oleh UNESCO dan OECD.

“Proses ini telah kami lakukan sejak lama. Kami juga selalu berkoordinasi dengan banyak pihak mulai dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dinas Kesehatan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ikatan Psikolog Klinis para pakar pendidikan, dan orang tua untuk memastikan standar asesmen yang kami lakukan akurat bahkan di atas standar nasional,” tuturnya.

Hasil asesmen tersebut dijadikan dasar untuk menentukan sekolah sebagai kandidat uji coba secara terbatas. Pada tahap awal, terdapat 100 sekolah dari jenjang SD, SMP, hingga SMA sederajat yang memenuhi kriteria untuk selanjutnya mengikuti pelatihan.

Dalam tahapan selanjutnya, diputuskan hanya ada 85 sekolah yang memenuhi kriteria untuk mengikuti uji coba PTM terbatas. Daftar sekolah di ibu kota yang melaksanakan uji coba PTM dapat di lihat di tautan ini

"Dalam penerapan pembelajaran campuran, para orang tua tetap memiliki hak penuh untuk menentukan apakah anaknya diberikan izin untuk mengikuti pembelajaran campuran atau belajar dari rumah," kata Nahdiana.

Disdik DKI juga akan memberikan edukasi kepada peserta didik dan orang tua terkait pembelajaran campuran. Selama pelaksanaan uji coba terbatas, dilakukan pemantauan dan evaluasi secara rutin oleh pihak terkait seperti pengawas sekolah, unsur Suku Dinas Kesehatan, Satgas Covid-19 tingkat Kelurahan dan Kecamatan, unsur Suku Dinas Pendidikan, dan unsur Dinas Pendidikan.

"Pihak satuan pendidikan telah melakukan koordinasi dengan puskesmas setempat atau rumah sakit terdekat. Pemantauan dilakukan menyangkut aspek pelaksanaan protokol kesehatan dan pembelajaran sesuai yang ditetapkan dalam masa pandemi Covid-19," ujarnya.

Lebih lanjut, Nahdiana merinci poin-poin penting dalam pelaksanaan uji coba PTM terbatas di DKI Jakarta. Antara lain:

  1. Jumlah hari tatap muka terbatas adalah 1 hari dalam 1 minggu untuk 1 jenjang kelas;
  2. Jumlah peserta didik yang terbatas dengan maksimal 50% dari daya tampung per kelas dan pengaturan jarak 1,5 meter antarsiswa;
  3. Durasi belajar yang terbatas antara 3-4 jam dalam satu hari;
  4. Materi pembelajaran yang terbatas, yaitu hanya materi-materi esensial yang disampaikan pada pembelajaran tatap muka;
  5. Satuan pendidikan yang telah mengikuti pelatihan pembelajaran campuran (blended learning); dan
  6. Pendidik dan tenaga kependidikan telah dilakukan vaksinasi.

Nahdiana menyatakan bahwa pihak sekolah akan segera berkoordinasi dengan puskesmas setempat untuk pemeriksaan lebih lanjut apabila ditemukan gejala Covid-19 pada siswa dan guru saat pelaksanaan uji coba PTM terbatas.

Namun apabila terdapat kasus positif Covid-19, maka sekolah atau satuan pendidikan tersebut akan ditutup selama 3x24 jam untuk dilakukan disinfeksi serta tracing oleh Dinas Kesehatan DKI. "Satuan pendidikan dapat dibuka kembali, setelah pihak berwenang menyatakan sekolah dalam kondisi aman dari paparan Covid-19," katanya.

Nahdiana mengajak masyarakat ikut terlibat dalam pemantauan dan pelaporan terkait uji coba pembukaan sekolah terbatas melalui kanal aduan Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada layanan call center 081287671339 atau 081287671340 dan Posko Dinas Pendidikan Jl. Gatot Soebroto No. Kav. 40-41, Kuningan, Jakarta Selatan.

Secara terpisah, Kasubag Humas Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta, Taga Raja menyatakan bahwa sejatinya terdapat 86 sekolah yang dinyatakan lolos melaksanakan uji coba PTM terbatas dari total 100 satuan pendidikan yang mengikuti asesmen. Namun satu sekolah mengundurkan diri. 

"Awalnya 86, satu mundur. Karena belum berani. (Penyebabnya) banyak faktor, di antaranya kesiapan ortu mengizinkan anaknya ke sekolah. Pihak Disdik enggak bisa memaksa kondisi sekolah harus PTM," kata Taga kepada wartawan.

Taga menjelaskan skema uji coba pembelajaran tatap muka di 85 sekolah Jakarta. Dia menegaskan, uji coba PTM hanya diikuti siswa kelas 4 SD hingga kelas 12 SMA atau sederajat. Sementara siswa kelas 3 SD ke bawah hingga tingkat PAUD tetap melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Pembelajaran tatap muka hanya akan dilakukan tiga hari dalam seminggu, yakni tiap Senin, Rabu, dan Jumat. Sementara hari jeda yakni Selasa, Kamis, dan akhir pekan digunakan untuk disinfeksi. Pada uji coba nanti, tidak semua kelas bisa menghadiri sekolah tatap muka secara bersamaan.    

"Jadi di hari Senin itu yang belajar tatap muka SD kelas 4, SMP kelas 7, dan SMA kelas 10. Untuk Selasa seluruh ruangan disemprot disinfektan, antisipasipasi jika ada virus yang tertinggal di sekolah. Hari Rabu yang PTM SD kelas 5, SMP kelas 8, dan SMA kelas 11. Kemudian Kamis disinfektan lagi. Hari Jumat SD kelas 9, SMP kelas 10, SMA kelas 12. Begitu alurnya," kata Taga menjelaskan.

Rencana uji coba pembelajaran tatap muka di DKI Jakarta ini tak lepas dari sorotan Ombudsman. Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho mengatakan, ada dua aspek yang harus diperhatikan Pemprov DKI sebelum melakukan PTM, yakni regulasi dan kesiapan.

Dari aspek regulasi, kata dia, DKI Jakarta masih aktif menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sementara sesuai dengan UU tentang Kekarantinaan Kesehatan, PTM tidak bisa dilakukan apabila daerah tersebut melakukan PSBB.

"Kan perubahan PSBB itu harus sepengetahuan Menkes, jadi harus dilaporkan dulu ke Kemenkes. Nah dari kajian Kemenkes apakah PSBB di Jakarta ini sudah bisa dicabut atau tidak. Kalau di PSBB itu PTM sama sekali enggak boleh, artinya harus ada perubahan dulu apakah PSBB dicabut begitu," kata Teguh saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (6/4/2021).

Ombudsman juga meminta Pemprov DKI benar-benar mengkaji kesiapan sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Dia tidak ingin ketidakmampuan Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi saat uji coba PTM juga terjadi di DKI Jakarta.

Ombudsman Jakarta Raya mendapati dua permasalahan pada uji coba PTM di Kabupaten Bogor, yakni maladministrasi dan ketidaksiapan sekolah. Tak sedikit siswa di Bogor yang tidak mematuhi protokol kesehatan Covid-19, terutama penggunaan masker selama PTM di sekolah. Keberangkatan para peserta didik ke sekolah juga tidak dikontrol.

Karena itu, dia meminta Satgas Covid-19 DKI Jakarta ikut memastikan sekolah mana saja yang bisa melakukan uji coba PTM. Satgas juga harus memastikan pengawasan terhadap kegiatan tersebut berjalan efektif.

"Kemudian dalam tahap pelaksanaan harus ada kontroling pengawasan dari masing-masing bidang, jangan sampai diserahkan beban tugas kepada Disdik, karena harus ada pengawasan dari Dinkes, oleh pihak lain kalau sekolahnya ada sekolah Islam Kanwil Kemenag yang harus melakukan pengawasan kepada MTs dan Madrasah Aliyah, mereka harus terlihat," ucap Teguh.

Ombudsman juga meminta Satgas Covid-19 DKI melakukan swab test PCR secara berkala kepada peserta didik dan tenaga pengajar di sekolah-sekolah yang melakukan uji coba PTM. Evaluasi juga harus dilakukan pada pertengahan pelaksanaan uji coba PTM. 

"Dalam waktu satu bulan itu minggu pertama ada swab (test), di tengah ada swab lagi untuk mengetahui apakah PTM tidak menyebabkan kenaikan angka Covid-19 di lingkungan sekolah. Di akhir ada swab lagi. Dari situ kita bisa memastikan apakah PTM di Jakarta bisa berjalan dengan baik atau tidak," kata Teguh.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Masih Berisiko

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono meminta Pemprov DKI Jakarta menunda pelaksanaan uji coba pembelajaran tatap muka di sekolah. Menurutnya, sekolah tatap muka masih berisiko, karena angka positivity rate Covid-19 di DKI masih relatif tinggi.

Positivity rate adalah perbandingan jumlah kasus positif Covid-19 dengan jumlah tes yang dilakukan. 

"Positivity rate Jakarta sebenarnya masih di bawah 10 (persen) tapi dekat sama 10. Jadi 5 sampai 10 ya 9 atau 8 begitu. Jadi menurut saya, kalau positivity rate-nya belum di bawah 5 (persen) jangan mulai sekolah lah," ujar Miko saat dihubungi Liputan6.com, Selasa.

Menurut dia, kasus Covid-19 di Jakarta sejatinya masih tinggi, hanya saja jumlah testing PCR rendah. "Banyak yang tes antigennya positif tapi tidak melanjutkan ke PCR. Jadi menurut saya positivity rate-nya masih tinggi kalau contact tracing-nya dilakukan," tuturnya.

Memang pemerintah memastikan protokol kesehatan akan diterapkan secara ketat di sekolah selama uji coba PTM. Namun Miko menemukan celah potensi penularan terjadi ketika anak didik berada dalam perjalanan menuju sekolah.  

"Di jalan siapa yang menjamin, di rumahnya siapa yang menjamin. Itu kan kalau sekolah dibuka artinya kan terbuka akses dari rumah, ke jalan, di sekolah. Nah tiga lingkungan itu akan berbeda. Jalan itu macam-macam, ada yang naik kendaraan umum, ada yang jalan kaki. Kemudian tidak dijamin yang macam-macam itu saat berkumpul di sekolah, saat berkumpul di jalan, saat berkumpul di rumah. Jadi menurut saya masih sangat berisiko," ucapnya.

Menurut dia, risiko transmisi paling besar terjadi di jalanan. Dalam hal ini, baik murid maupun guru tetap berisiko, karena belum semua tenaga pendidik telah menjalani vaksinasi Covid-19.

"Walaupun protokol kesehatan sudah ketat, anak-anak siapa yang mau mengawasi selama di jalan, selama guru keluar kelas. Kan akan mengobrol, enggak akan diam. Apalagi anak SD, kalau sudah ketemu di sekolah ramai," kata Miko.

Karena itu, idealnya uji coba PTM di sekolah baru bisa dilakukan ketika positivity rate daerah tersebut berada di bawah 5 persen. Di samping itu, tenaga pengajar dan anak didik sebaiknya telah menjalani vaksinasi Covid-19. 

"Kalau uji coba itu satu hari saja ya oke. Kalau uji cobanya berhari-hari ya itu berisiko. Apalagi kalau dilaksanakan terus menerus sebulan atau dua bulan. Berisiko buat anak muridnya. Kalau guru-guru divaksin bulan Juni-Juli kan murid-muridnya belum. Harusnya semua divaksin itu baru aman," kata Miko menandaskan.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Ikatan Ahli Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menekankan bahwa Dinas Kesehatan DKI perlu ikut mengevaluasi pelaksanaan uji coba PTM di ibu kota. Artinya, evaluasi terhadap uji coba pembelajaran tatap muka tidak hanya dilakukan Dinas Pendidikan.

"Yang mengecek soal keamanan adalah Dinas Kesehatan, bukan Dinas Pendidikan. Kalau Dinas Pendidikan kan fokusnya kesiapan sekolah," terang Ede kepada Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa.

"Jadi, sekolah mesti betul-betul dievaluasi juga oleh Dinas Kesehatan dari segi protokol kesehatan. Di sini kesiapan sekolah oke, keamanan protokol kesehatan harusnnya (dipegang) pada Dinas Kesehatan."

Lebih lanjut, Ede mengatakan, dalam evaluasi uji coba belajar tatap muka bisa juga melibatkan tim independen atau organisasi profesi. Hal ini juga sebagai bentuk saling kerja sama.

"Kalaupun mau (evaluasi) diserahkan ke independen bisa saja, misal, pelibatan organisasi profesi, seperti IAKMI atau organisasi profesi lain. Pokoknya supaya (penilaian) independennya ada. Dengan demikian, kita membiasakan kerja sama," lanjutnya.

Pengecekan pelaksanaan uji coba belajar tatap muka di Jakarta, menurut Ede, juga harus memerhatikan zonasi lokasi sekolah yang menjadi target sasaran. Zonasi pun setidaknya sudah ada pengurangan laju penularan virus Corona.

"Kita perlu mengecek, Jakarta pakai zonasi atau enggak (buat uji coba belajar tatap muka). Seharusnya zonasinya di level kelurahan. Terlebih lagi kan kita sedang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro," jelasnya.

"PPKM mikro ini sampai level RT/RW, sebenarnya sudah harus terdata, lokasi yang masih menularkan virus Corona (yang cukup tinggi) itu di daerah Jakarta mana saja. Kalau kita lihat data, Jakarta zonasi secara umum kuning, tapi kasus masih ada, positivity rate masih 11 persen, rata-rata Indonesia positivity rate 18,9 persen kemarin."

Zonasi lokasi sekolah dinilai harus jelas. Pengawasan dari Satgas setempat juga perlu selama pelaksanaan uji coba belajar tatap muka. Dalam hal ini, ada kerja sama antara pemerintah daerah, Satgas Covid-19 hingga level RT/RW.

"Zonasi harus jelas, Satgas juga perlu dilibatkan penuh. Intinya, kesiapan belajar tatap muka bukan hanya dinas pendidikan saja, tapi juga seluruh pelibatan pemerintah daerah, dinas kesehatan. Kemudian pelibatan Satgas sampai level kelurahan juga RT/RW," Ede menjelaskan.

Sementara itu, Pengamat Pendidikan Muhammad Ramli Rahim mendukung pelaksanaan uji coba pembelajaran tatap muka yang dilakukan di 85 sekolah di DKI Jakarta. Dia yakin sekolah-sekolah tersebut telah siap melaksanakan TPM di tengah situasi pandemi Covid-19.

"Karena secara umum mereka sejak awal sudah meniatkan segala hal untuk pembukaan tatap muka," ujar Ramli saat dihubungi Liputan6.com, Selasa.

Memang mekanisme uji coba PTM yang disusun sedemikian rupa oleh Pemprov DKI tidak bisa memberikan jaminan 100 persen peserta didik dan tenaga pengajar aman dari risiko terpapar virus corona. "Tetapi sudah ada upaya maksimal untuk sampai ke situ," kata Ramli.

Dia juga menyoroti keberadaan siswa dan guru saat di jalan menuju sekolah yang dikhawatirkan menjadi lokasi transmisi Covid-19. Dia pun meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memerintahkan pengelola transportasi umum di ibu kota untuk memperketat protokol kesehatan.

"Apalagikan DKI masih menjakankan PPKM ya, berarti prokes di luar ruang ya dijalankan secara umum. Meskipun ya kedisiplinan masih menjadi persolan," tuturnya.

Lebih lanjut, dia menekankan pentingnya penerapan blanded learning atau pembelajaran campuran antara daring dan luring. Sehingga siswa yang belajar di sekolah maupun yang ada di rumah tetap bisa menerima materi yang sama.

Selain itu, proses belajar mengajar tetap bisa berlangsung sekalipun ada kendala pada pembelajaran tatap muka, misalnya ditemukan kasus Covid-19 di sekolah.

"Kemudian jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam uji coba ini, ya segera dihentikan," kata Ramli menandaskan.

3 dari 3 halaman

Dampak Negatif Jika PTM Tak Kunjung Digelar

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memutuskan untuk mewajibkan pembelajaran tatap muka (PTM) kepada sekolah setelah para pendidik dan tenaga kependidikannya menjalani vaksinasi Covid-19.

"Karena kita sedang mengakselerasi vaksinasi, setelah pendidik dan tenaga pendidikan di dalam suatu sekolah telah divaksinasi secara lengkap, pemerintah pusat, pemerintah daerah atau Kantor Kemenag mewajibkan satuan pendidikan tersebut untuk menyediakan layanan pembelajaran tatap muka terbatas dengan menerapkan protokol kesehatan," kata Nadiem dalam konferensi pers daring pada Selasa (30/3/2021).

Nadiem menyebut, sekolah juga wajib memberikan pilihan pembelajaran secara jarak jauh. Sebab, meskipun sekolah telah menjalankan pembelajaran tatap muka, namun secara prosedur protokol kesehatan kapasitas yang diizinkan hanya 50 persen saja.

"Jadi mau tidak mau walaupun sudah selesai vaksinasi dan diwajibkan untuk memberikan tatap muka terbatas, tapi harus melalui sistem rotasi. Sehingga harusnya menyediakan dua-dua opsinya, tatap muka dan juga pembelajaran jarak jauh," kata dia.

Walaupun sekolah diwajibkan menggelar PTM, Nadiem mengatakan, keputusan untuk kembali menyekolahkan anaknya secara langsung ada di tangan para orangtua. Orangtua masih memiliki pilihan apakah mau mendorong anaknya ke sekolah atau tetap memilih belajar dari rumah.

"Yang terpenting adalah orangtua atau wali murid boleh memilih, berhak dan bebas memilih bagi anaknya apakah mau melakukan pembelajaran tatap muka terbatas atau tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh," kata Nadiem.  

Dampak Negatif

Lebih lanjut, mantan Bos Gojek Indonesia itu mengungkapkan kekhawatirannya jika sekolah tak kunjung menggelar pembelajaran secara tatap muka. Menurut dia, banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan lantaran pembelajaran jarak jauh berlarut-larut.

"Kita melihat tren-tren yang sangat mengkhawatirkan, tren anak-anak yang putus sekolah. Kita melihat penurunan capaian pembelajaran, apalagi di daerah-daerah di mana akses dan kualitas itu tidak tercapai. Jadinya kesenjangan ekonomi menjadi lebih besar ya," terang Nadiem.

Pembelajaran jarak jauh, lanjut Nadiem juga terpotret menyebabkan orangtua menarik anaknya keluar dari sekolah. Hal ini lantaran mereka tak melihat peranan sekolah selama menggelar pembelajaran secara jarak jauh.

"Dan ada berbagai macam isu-isu kekerasan domestik yang terjadi dalam keluarga yang tidak terdeteksi. Jadi risiko dari sisi bukan hanya pembelajaran, tapi risiko dari masa depan murid itu dan risiko psikososial atau kesehatan mental dan emosional anak-anak itu, ini semuanya sangat rentan," ujarnya.

"Jadi kita harus mengambil tindakan tegas untuk menghindari agar ini tidak menjadi dampak yang permanen dan satu generasi menjadi terbelakang," tandas Nadiem. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.