Sukses

Pandemi Covid-19 Belum Berakhir, Siapkah Indonesia Membuka Sekolah?

Mendikbud Nadiem Makarim memutuskan untuk mewajibkan pembelajaran tatap muka kepada sekolah usai para pendidik dan tenaga kependidikannya telah menjalani vaksinasi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim memutuskan untuk mewajibkan pembelajaran tatap muka kepada sekolah usai para pendidik dan tenaga kependidikannya telah menjalani vaksinasi Covid-19.

"Karena kita sedang mengakselerasi vaksinasi, setelah pendidik dan tenaga pendidikan di dalam suatu sekolah telah divaksinasi secara lengkap, pemerintah pusat, pemerintah daerah atau kantor Kemenag mewajibkan satuan pendidikan tersebut untuk menyediakan layanan pembelajaran tatap muka terbatas dengan menerapkan protokol kesehatan," kata Nadiem dalam konferensi pers daring pada Selasa (30/3/2021).

Nadiem menyebut, sekolah juga wajib memberikan pilihan pembelajaran secara jarak jauh. Hal ini lantaran kendati sekolah telah menjalankan pembelajaran secara tatap muka, secara prosedur protokol kesehatan, kapasitas yang diizinkan hanya 50 persen saja.

"Jadi mau tidak mau walaupun sudah selesai vaksinasi dan diwajibkan untuk memberikan tatap muka terbatas, tapi harus melalui sistem rotasi. Sehingga harusnya menyediakan dua-dua opsinya, tatap muka dan juga pembelajaran jarak jauh," kata Nadiem.

Walaupun sekolah diwajibkan menggelar pembelajaran secara tatap muka, Nadiem mengatakan, keputusan untuk kembali menyekolahkan anaknya secara langsung ada di tangan para orangtua. Orangtua masih memiliki pilihan apakah mau mendorong anaknya untuk belajar di sekolah atau tetap memilih belajar di rumah.

"Yang terpenting adalah orangtua atau wali murid boleh memilih, berhak dan bebas memilih bagi anaknya apakah mau melakukan pembelajaran tatap muka terbatas atau tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh," kata Nadiem.

Mantan Bos Gojek Indonesia itu mengungkapkan kekhawatirannya jika sekolah tak kunjung menggelar pembelajaran secara tatap muka. Menurut dia, banyak sekali dampak negatif yang ditimbulkan lantaran pembelajaran jarak jauh.

"Kita melihat tren tren yang sangat mengkhawatirkan, tren anak-anak yang putus sekolah. Kita melihat penurunan capaian pembelajaran, apalagi di daerah-daerah di mana akses dan kualitas itu tidak tercapai. Jadinya kesenjangan ekonomi menjadi lebih besar ya," terang Nadiem.

Pembelajaran jarak jauh, lanjut Nadiem juga terpotret menyebabkan orangtua menarik anaknya keluar dari sekolah. Hal ini lantaran mereka tak melihat peranan sekolah selama menggelar pembelajaran secara jarak jauh.

"Dan ada berbagai macam isu-isu kekerasan domestik yang terjadi dalam keluarga yang tidak terdeteksi. Jadi risiko dari sisi bukan hanya pembelajaran, tapi risiko dari masa depan murid itu dan risiko psikososial atau kesehatan mental dan emosional anak-anak itu, ini semuanya sangat rentan," ujarnya.

"Jadi kita harus mengambil tindakan tegas untuk menghindari agar ini tidak menjadi dampak yang permanen dan satu generasi menjadi terbelakang," tandas Nadiem.

Meskipun begitu, Nadiem menekankan jika dalam sekolah itu ditemukan kasus positif Covid-19, maka wajib ditutup sementara.

"Kalau berdasarkan pengawasan terdapat kasus konfirmasi positif Covid-19, maka pemerintah pusat, daerah, Kantor Wilayah Kemenag dan kepala satuan pendidikan wajib melakukan penanganan kasus dan dapat memberhentikan sementara pembelajaran tatap muka di sekolah tersebut," tegas Nadiem.

Penutupan, kata Nadiem akan dilakukan selama infeksi masih terjadi di sekolah.

"Dalam hal terdapat kebijakan pemerintah pusat, misalnya satu daerah atau kecepatan itu sedang melakukan PPKM, itu juga merupakan satu situasi di mana pembelajaran tatap muka dapat diberhentikan sementara," jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Nadiem menerangkan bahwa pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah wajib mendapatkan pengawasan dari pihak-pihak terkait.

"Pemerintah pusat dan daerah, serta Kanwil Kemenag wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembelajaran di satuan pendidikan," katanya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perhatikan Hal Ini Sebelum Buka Sekolah

Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito mengingatkan pembukaan sekolah harus memperhatikan tahapan prakondisi, timing, prioritas, koordinasi pusat dan daerah serta monitoring dan evaluasi.

"Jadi bapak ibu sekalian terutama pemerintah daerah yang memberikan izin pembukaan aktivitas sekolah terbatas itu betul-betul melakukan simulasi. Pastikan semua kondisinya siap, disimulasi mulai dari anak-anak sekolah itu berangkat dari rumah menuju sekolah, aktivitas di sekolah, sampai selesai kembali lagi ke rumah," kata Wiku, Selasa (30/3/2021).

Wiku mengingatkan sekolah tatap muka terbatas harus melindungi siswa dan guru dari penularan Covid-19. Dia juga berharap, siswa yang mengikuti sekolah tatap muka terbatas tidak menjadi sumber penularan bagi keluarganya.

"Maka dari itu, pembukaan sekolah terbatas itu juga harus dijaga jangan sampai anak-anak sekolah mungkin bisa tertular saat dalam perjalanan menuju ke sekolah atau kembali atau waktu dalam sekolah yang menulari orang tuanya. Mungkin orangtuanya ini adalah orang-orang yang memiliki komorbid satu, dua atau lebih dan usianya rentan," ujarnya.

Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ini menyebut, tingkat fatalitas akibat Covid-19 pada anak usia sekolah memang sangat rendah. Namun, anak usia sekolah masih sangat berisiko terinfeksi Covid-19.

Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, sebesar 14 persen dari total 1.496.085 kasus positif di Indonesia merupakan anak usia sekolah. Data ini per 28 Maret 2021.

"Kalau kita lihat dari seluruh kasus (positif Covid-19) anak sekolah ini yang banyak memang pada usia 7 sampai 12 tahun, ada 49.962 kasus. Kemudian usia 16 sampai 18 tahun atau usia SMA sebanyak 45.888," jelasnya.

Tak hanya itu, tercatat ada 23.934 kasus positif Covid-19 dialami anak usia 0 sampai 2 tahun atau seusia PAUD. Sementara ada 25.219 kasus positif Covid-19 dialami anak usia 3 sampai 6 tahun atau seusia TK.

Kemudian sebanyak 36.634 kasus positif Covid-19 menimpa anak usia 13 sampai 15 tahun atau setingkat SMP.

"Jadi ini yang perlu kita perhatikan. Memang totalnya 14 persen dari seluruh kasus yang ada di Indonesia. Jadi kita harus menjaga agar mereka tetap sehat dan tetap produktif untuk belajar," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.