Sukses

Special Content: Rencana Impor Beras, di Mana Keberpihakan kepada Petani?

Polemik muncul ketika pemerintah mengumumkan akan impor beras 1 juta ton di masa panen raya, yang membuat petani merugi karena harga gabah menjadi turun.

Jakarta - Rencana pemerintah mengimpor satu juta ton beras mendapat penolakan dari berbagai pihak. Pengumuman rencana impor beras hanya membuat petani Indonesia kian terpuruk.

Pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan rencana impor beras. Kemudian, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi juga sempat mengakui bahwa jadwal mewujudkan rencana impor beras sudah ada.

Anehnya, pengumuman impor oleh pemerintah dilakukan saat produksi beras dalam negeri tengah memasuki masa panen raya. Hal itu tentu membuat harga gabah di tingkat petani cenderung turun.

Dari data yang dimiliki Komisi IV DPR RI, pada 15 Maret 2021, harga gabah petani berada di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP), seperti di Blora hanya Rp 3.300 per kilogram (kg), di Kendal Rp 3.600 per kg dan di Ngawi Rp 3.400 per kg. Padahal, berdasarkan Permendag Nomor 24 Tahun 2020, seharusnya HPP untuk Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 4.200 per kg.

Kondisi itu menggambarkan bagaimana rencana yang dicanangkan pemerintah untuk mengimpor beras di masa panen raya, memengaruhi harga gabah sehingga merugikan petani lokal. Rencana pemerintah mengimpor beras dianggap tidak berpihak kepada petani, karena dilakukan justru kala produksi padi dalam negeri meningkat.

Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), potensi produksi periode Januari-April Tahun 2021 diperkirakan bakal mencapai 14,54 juta ton beras dan mengalami kenaikan 3,08 juta ton (26,84 persen) dibandingkan dengan produksi beras pada subround yang sama tahun 2020 sebesar 11,46 juta ton. Melihat potensi produksi panen raya tahun 2021, seharusnya pemenuhan stok beras bisa cukup dengan menyerap produksi dalam negeri.

Potensi luas panen padi pada subround Januari–April 2021 mencapai 4,86 juta hektar atau mengalami kenaikan sekitar 1,02 juta hektar dibandingkan subround Januari-April 2020 yang sebesar 3,84 juta hektar. Ditopang pula oleh potensi kenaikan produktivitas. Dengan potensi ini, tentu menjadi pertanyaan besar terhadap rencana pemerintah mengimpor beras.

Komisi IV DPR menjadi salah satu pihak yang menolak rencana pemerintah mengimpor beras tahun ini. DPR mendorong hasil produksi beras dalam negeri lebih diutamakan oleh pemerintah.

Pemerintah dituntut lebih fokus melakukan penyerapan hasil produksi beras dalam negeri lewat Perum Bulog. Apalagi, pada periode Maret-April 2021, produksi beras dalam negeri tengah memasuki masa panen raya. Panen raya artinya produksi beras jauh lebih besar dari konsumsi. Berdasarkan prognosa ketersediaan dan kebutuhan pangan pokok, ketersediaan beras sampai Mei 2021 diprediksi mencapai hampir 25 juta ton.

"Komisi IV menolak keputusan rencana impor satu juta ton beras oleh Perum Bulog. Komisi IV meminta pemerintah lebih mengutamakan produksi dalam negeri," ujar Wakil Ketua Komisi IV Hasan Aminuddin dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Pertanian, Perum Bulog, dan BUMN kluster pangan di Jakarta, seperti dilansir Antara, Senin (15/3/2021).

Selain itu, belum lama ini Presiden Joko Widodo juga menggaungkan untuk membenci produk asing. Kebijakan impor beras ini tentu saja bertentangan dengan pernyataan tersebut. Pada 2020, pemerintah juga berjanji untuk membantu 2,76 juta petani miskin dan membentuk Badan Pangan nasional sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, menyatakan, impor beras mungkin memberikan keuntungan bagi sebagian pihak, namun merugikan jutaan petani Indonesia. Daniel mendesak pemerintah mengkaji ulang rencana mengimpor beras ketika panen raya tahun ini.

"Kapan Indonesia menuju kemandirian dan kedaulatan pangan kalau yang menghancurkan adalah kita sendiri. Kami meminta, tunjukkan keberpihakan dari Kementerian Pertanian agar impor tidak dilakukan selama petani panen raya. Dan Kementerian Pertanian harus bertanggungjawab kalau (impor) itu dilakukan. Buat apa program triliun rupiah kalau akhirnya petani bukannya untung malah buntung," ucap Daniel dalam RDP bersama Kementerian Pertanian, Perum Bulog, dan BUMN kluster pangan di Jakarta, Senin (15/3/2021).

Saksikan Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Melukai Petani

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah, menilai impor beras adalah kebijakan yang tidak tepat dilakukan saat ini. Menurut dia, ada 3 alasan yang melatarbelakangi hal tersebut.

"(Pertama), kita surplus beras ya. Tahun 2020, kita surplus 1,3 juta ton, kalau tidak salah. Kedua adalah wacana ini, meskipun ini masih wacana, dalam artian beras belum datang, itu dilaksanakan ketika bulan Maret ketika masa panen raya. Ketiga adalah Januari-April, BPS memperkirakan beras akan naik produksinya dibandingkan periode yang sama pada 2020," kata Rusli kepada Liputan6.com.

Rusli tak habis pikir kenapa pemerintah mewacanakan impor beras di bulan Maret, ketika petani sedang panen. Hal ini, kata dia, sangat merugikan petani.

"Meskipun baru sebatas wacana, tapi harga beras akan menjadi tertekan gara-gara wacana ini. Misalnya tengkulak bilang ke petani "Eh kamu mau tidak jual beras ke saya? Kalau tidak, nanti harga akan anjlok karena pemerintah mau impor'. Ini kan nanti kasihan petani, yang harusnya dia panen, tapi harga beras malah tertekan."

Rusli juga melihat ada potensi rente dari wacana impor beras. Ia percaya ada orang-orang yang ingin memanfaatkan situasi ini.

"Pemerintah ada wacana impor, alhasil petani tertekan, sehingga terpaksa menjual murah. Selanjutnya, beras dijual oknum dengan harga tinggi dan marginnya besar. Jadi, ada oknum tertentu yang memanfaatkan informasi ini untuk menekan petani."

Rusli khawatir, di periode tanam selanjutnya yakni Agustus-September, petani tidak mau lagi menanam padi karena harga beras sudah jatuh di periode pertama.

"Akibatnya, produksi beras dalam negeri menurun. Dan ini akan jadi alasan untuk impor lagi. Jadi, wacana impor beras ini sangat melukai petani," ucap dia.

Alasan Iron Stock

Namun, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, percaya bahwa kebijakan impor beras satu juta ton pada 2021 tidak akan merusak harga gabah di tingkat petani. Lutfi menilai, impor dilakukan demi menjaga stok beras nasional dan menstabilkan harga.

"Percayalah tidak ada niat pemerintah untuk hancurkan harga petani terutama saat sedang panen raya," tutur Lutfi dalam konferensi pers virtual, Senin (15/3/2021).

Tahun ini, BPS memang memprediksi kenaikan produksi beras nasional yang mencapai 26,84 persen bila dibandingkan dengan tahun 2020. Tapi, Lutfi beralasan hal itu masih bersifat ramalan dan mungkin saja terjadi kenaikan atau bahkan penurunan. Apalagi kondisi curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia cukup tinggi belakangan ini.

Lutfi menjelaskan, pemerintah membutuhkan iron stock atau cadangan untuk memastikan pasokan beras terjaga tahun ini. Penambahan cadangan beras itu bisa terpenuhi lewat kebijakan impor. Dia melanjutkan, beras impor itu nantinya tidak akan dilepas ke pasar ketika periode panen raya, melainkan saat terdapat kebutuhan mendesak seperti bansos ataupun operasi pasar untuk stabilisasi harga.

"Kalau pun misalnya angka ramalannya memang bagus, tapi harga naik terus, itu kan mengharuskan intervensi dari pemerintah untuk memastikan harga itu stabil," terang Lutfi.

Pengamat Pertanian, Khudori, tidak memungkiri bahwa pengumuman pemerintah akan impor beras secara psikologis sudah berpengaruh ke harga beras dan biasanya harga tertekan ke bawah. Pengumuman kali ini juga waktunya tidak tepat, karena adanya potensi kenaikan besar produksi beras dalam negeri seperti yang diprediksi BPS.

"Itu yang tidak sepenuhnya tidak disadari oleh bapak-bapak di pemerintahan. Menurut saya, kalau memang butuh banget, yang sebenarnya kan tidak perlu dibuka (rencana impor). Silent saja. Cuma memang, meskipun silent, kalau diputuskan impor sekarang, itu juga tidak benar. Salah," kata Khudori ketika dihubungi Liputan6.com.

Menurut Khudori, berdasarkan laporan BPS terakhir, harga gabah memang turun dari Januari ke Februari 2021. Salah satu faktornya adalah musim hujan yang membuat sinar matahari jarang muncul. Sinar matahari dibutuhkan untuk mengeringkan gabah setelah panen.

"Petani-petani kita dengan penggilingan padi kecil itu rata-rata tidak punya dryer atau pengering. Mereka mengandalkan sinar matahari. Ketika sinar matahari tidak muncul, gabah yang mereka panen ya biasanya masih basah. Dan ketika beberapa hari tidak dikeringkan juga, mutunya juga turun dan itu potensial itu harga semakin rendah," ungkap Khudori.

"Laporan BPS terakhir, (harga gabah) itu turun dari Januari ke Februari, gabah kering giling, gabah kering panen, beras pun turun. Nah, kalau pada saat yang sama ternyata ada beras impor itu masuk, yang potensial semakin turun. Ini masih wacana saja, masih dilontarkan saja itu sudah punya dampak psikologis menekan harga."

3 dari 5 halaman

Kesalahan Impor Beras 2018 Jangan Terulang

Dalam RDP dengan Komisi IV DPR, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso mengungkapkan, persediaan beras per 14 Maret 2021 di gudang Bulog mencapai 883.585 ton. Dengan rincian 859.877 ton merupakan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 23.708 ton stok beras komersial.

Menurut Budi Waseso atau yang akrab disapa Buwas, stok beras tersebut cukup untuk kebutuhan penjualan, program KPSA, dan tanggap darurat bencana sesuai dengan kebutuhan Perum Bulog. Beras sisa impor tahun 2018 juga masih tersedia 275.811 ton di gudang Bulog, dengan 106.642 ton di antaranya mengalami turun mutu.

Beras yang sudah masa simpan tahunan di gudang Bulog keseluruhan berjumlah 461 ribu ton. Beras sisa impor 2018 sebanyak 275.811 ton sulit disalurkan oleh Bulog karena penurunan mutu. Pada tahun 2018, impor beras pemerintah diketahui mencapai 1.785.450 ton.

Kebijakan impor beras pada 2018 itu diambil pemerintah karena stok akhir 2017 itu di bawah satu juta ton. Menurut ekonom senior, Faisal Basri, stok akhir beras pada akhir 2020 mirip dengan kondisi stok akhir 2017. Oleh karena itu, Faisal Basri tidak ingin kesalahan impor beras 2018 terulang tahun ini. Pada tahun 2018 Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar kedua di dunia.

Kala itu, tingkat produksi beras dalam negeri sebenarnya tidak buruk, tapi lonjakan impor sepanjang 2018 mengakibatkan stok yang dimiliki pemerintah untuk CBP naik hampir 4 juta ton, sayangnya penyalurannya malah turun dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton.

Yang terjadi kemudian adalah stok beras meningkat dua kali lipat pada akhir tahun 2018. Jika stok beras akhir tahun 2017 hanya 0,9 juta ton, pada akhir tahun 2018 menjadi dua juta ton. Bulog pun jadi kewalahan mengelola stok sebanyak itu, sehingga mutu beras menurun, malah ada yang menjadi tidak layak konsumsi.

"Ongkos uang mati pun tentu saja meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas," beber Faisal Basri, seperti dikutip dari situs resminya.

Faisal mengatakan, peningkatan produksi beras yang cukup tajam, khususnya pada April-Mei 2021, sudah ada di depan mata. Dia menilai, masih ada waktu yang cukup pula untuk mengamankan peningkatan produksi sampai akhir tahun ini, sehingga saat ini impor beras tidak perlu dilakukan.

"Jika pasokan pupuk terjaga dan tepat waktu niscaya produksi dan produktivitas masih bisa ditingkatkan. Semakin optimis lagi dengan telah kian banyaknya proyek pembangunan bandungan dan saluran irigasi yang sudah rampung," papar Faisal.

"Stok tidak perlu lagi sebanyak tahun-tahun sebelumnya karena penugasan untuk penyaluran CBP yang bersifat rutin tidak lagi sebesar sebelumnya."

4 dari 5 halaman

Stok Beras Rusak, Negara Rugi Besar

Pemerintah menyebut bahwa dari rencana impor beras sebanyak satu juta ton pada tahun 2021, 500 ribu ton di antaranya untuk cadangan beras pemerintah atau iron stock. Kemudian, 500 ribu ton lainnya akan diberikan kepada bulog.

Di sisi lain, Kementerian Pertanian (Kementan) malah memastikan stok beras nasional menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri masih aman. Hal itu tak lain karena sebagian besar lahan padi di seluruh Indonesia memasuki masa panen raya pada Maret-April 2021.

"Neraca beras sampai dengan 2021 masih aman, terutama dengan panen raya," kata Sekjen Kementan, Momon Rusmono, seperti dilansir Antara, Rabu (17/3/2021).

Setelah berbagai kritik dari berbagai pihak, Mendag Muhammad Lutfi, akhirnya memastikan bahwa impor beras tidak akan dilakukan ketika panen raya. Impor hanya akan dilakukan pemerintah sebagai mekanisme untuk menjaga cadangan beras pemerintah (CBP) tetap di 1 juta ton, supaya harga di pasar tetap stabil.

"Saya jamin tidak ada impor saat panen raya. Dan hari ini tidak ada beras impor yang menghancurkan harga petani karena memang belum ada yang impor," ujar Lutfi saat konferensi pers, seperti dilansir Antara, Jumat (19/3/2021).

Lutfi menerangkan, Bulog mesti punya stok beras sebanyak 1 sampai 1,5 juta ton demi menjaga psikologis pasar serta mencegah kemungkinan spekulasi harga. Stok minimal tersebut sudah menjadi acuan yang disepakati pemerintah sejak 2018.

Selain itu, Lutfi juga menekankan bahwa tren penurunan harga gabah dan beras di tingkat petani yang terjadi saat ini, bukan karena impor, melainkan karena kadar air pada gabah yang cenderung tinggi akibat musim hujan.

"Yang kejadian sekarang adalah hujan, basah, gabah petani tak bisa dibeli. Kalau tidak bisa dibeli akan digiling secara langsung, tetapi gabahnya akan rusak dan terpaksa petani jual banting harga," paparnya. 

Apa Benar Bulog Butuh? 

Pengamat Pertanian, Khudori, menyebut bahwa situasi saat ini tidak mendesak untuk dilakukan impor beras. Jika alasan pemerintah 500 ribu ton untuk Bulog, yang jadi pertanyaan Khudori, apakah benar jumlah itu yang dibutuhkan Bulog?

"Kalau memang itu untuk cadangan beras pemerintah untuk iron stock (cadangan pemerintah) ya, kalau benar itu 500 ribu ton (beras) itu berarti ada kenaikan dari sebelumnya hanya 300an ribu ton Dan 500 ribuan ton untuk bulog. Perlu ditanyakan juga ke bulog, benarkah bulog butuh? 500 ribu ton itu antara besar dan kecil, relatif, tergantung konteksnya," terang Khudori.

"Menurut saya, kalau orang bulog ditanya hari-hari ini, kebutuhan mereka apa? Menurut saya kebutuhan mereka bukan itu. Bukan menambah stok (beras). Bahwa dalam konteks negara itu perlu ada cadangan beras pemerintah yang memadai ketika ada kegagalan pasar, itu mereka punya instrumen untuk melakukan intervensi, itu ya."

Namun, apabila melihat situasi Bulog sekarang, di mana sisa impor tahun 2018 masih ada 275.811 ton beras dan sisa penyerapan 2018-2019 masih sekitar 170 ribu ton beras sehingga jika ditotal mencapai hampir 450 ribu ton, jumlah itu tergolong besar untuk beras yang tersisa. Sementara pada 2020, Indonesia tidak melakukan impor beras, dalam konteks ini adalah beras medium.

"Itu beras bisa berusia satu sampai dua tahunan lebih. Beras itu akan bagus disimpan hanya tiga bulan. Memang dengan teknologi tertentu (Cocoon) yang tempo hari bulog itu me-launching, bisa menyimpan beras lebih lama, tapi teknologi itu butuh invest yang besar," kata Khudori.

"Tapi, bagaimana pun juga, beras yang usianya dua tahun lebih itu turun mutu dan peluang untuk rusak itu besar. Kalau saya ditanya dan orang Bulog ditanya, kebutuhan Bulog itu apa? Ini (beras yang disimpan di gudang Bulog) perlu keluar. Beras-beras lama yang usianya satu sampai dua tahun ini perlu keluar," imbuhnya.

Khudori berpendapat, pemerintah belum memiliki solusi terhadap masalah menumpuknya sisa beras yang berusia lebih dari dua tahun di gudang Bulog. Padahal, masalah ini juga berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah.

"Apakah perlu mengulangi pro kontra di akhir 2019 itu ada 20 ribu ton beras cadangan pemerintah, yang dikeluarkan karena memang rusak. Ini yang 450 ribu ton itu potensial untuk rusak. Dan itu nilainya sangat-sangat besar pasti. Kalikan saja kalau beras itu 450 ribu ton, kalikan harga Rp 8 ribu saja atau Rp 10 ribu, itu kan sudah Rp 4,5 triliun. Luar biasa itu, rugi banyak," beber Khudori.

"Benar bahwa cadangan beras di gudang Bulog itu, termasuk yang lama-lama tadi, kalau melihat stok awal tahun lalu itu rendah dan itu tidak biasa buat kita. Biasanya yang aman itu 1,5 juta ton, kira-kira segitu. Tahun lalu, stok akhir di bawah 1 juta ton. Stok akhir dan menjadi stok awal tahun 2021 itu di bawah satu juta, itu memang riskan. Tapi, stok itu kenapa rendah juga ada sebabnya. Pemerintah apakah sudah pernah mengecek, sudah pernah menganalisa? Kenapa ini rendah? Itu perlu digali."

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.