Sukses

HEADLINE: Gunung Merapi, Semeru, Sinabung Erupsi Bersamaan, Fenomena Apa?

Erupsi gunung terjadi selama bertahun-tahun secara berkala dan semua kejadiannya terus dipantau dan dilaporkan oleh Mitigasi Bencana Geologi.

Liputan6.com, Jakarta - Tiga gunung api di Indonesia mengalami erupsi dalam sehari, tepatnya pada Minggu dini hari, 17 Januari 2021. Peristiwa itu tercatat dalam situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Tiga gunung yang meletus yakni Gunung Merapi di Yogyakarta, Gunung Semeru di Lumajang-Malang, Jawa Timur dan Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Ketiganya dilaporkan erupsi mulai pukul 00.00-06.00 WIB, Minggu 17 Januari 2021.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta mencatat hasil pengamatan Gunung Merapi pada Minggu 17 Januari 2021, pukul 00.00-06.00 WIB. Selama enam jam pengamatan, terpantau adanya guguran lava pijar sebanyak 36 kali.

Erupsi juga terjadi pada Gunung Semeru. Berdasarkan laporan pengamatan Badan Geologi PVMBG Kementerian ESDM di periode yang sama, terdengar 3 kali letusan atau gemuruh.

Sementara di Sinabung, terjadi erupsi pada hari yang sama pukul 01.26 WIB dengan tinggi kolom abu teramati ± 500 m di atas puncak. Erupsi ini terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 55 mm dan durasi 124 detik.

Kabar ini langsung mengusik, karena ketiga gunung tersebut memang dikenal suka 'batuk-batuk', namun baru kali ini kompak bersamaan. Analisa serampangan dari warganet pun menyebutkan peristiwa ini awal dari bencana yang lebih besar karena gunung itu dianggap terhubung saat erupsi.

Namun, Kepala PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM Kasbani, menampik semua kemungkinan itu. Dia mengatakan, ketiga gunung yang erupsi berbarengan itu tak meninggalkan ancaman atau kengerian. Itu hal yang biasa terjadi.

"Itu secara kebetulan saja, tidak saling memengaruhi. Karena gunung itu saling mempunyai kantong magma masing-masing, jadi kalau sudah penuh dierupsikan, kalau belum ya belum, kan gitu. Jadi intinya tidak saling memengaruhi," ujar Kasbani kepada Liputan6.com, Rabu (20/1/2021).

Secara logika, lanjut dia, kalau memang bisa memengaruhi, harusnya itu terjadi di antara gunung yang saling berdekatan. Dia mencontohkan Gunung Semeru yang gunung terdekatnya adalah Gunung Lamongan, tapi tak terjadi apa-apa. Demikian pula Gunung Merapi yang berdekatan dengan Gunung Sindoro Sumbing.

"Gunung itu ada tingkatan aktivitasnya sendiri-sendiri, dan itu kita pantau terus. Kalau ada aktivitas yang mencurigakan, misalnya ada erupsi yang besar, kita akan mengetahui. Namun untuk saat ini belum ada," tegas Kasbani.

Ia menjelaskan, beberapa hari ini gunung Semeru dan Merapi memang terpantau adanya aktivitas di atas normal yang hampir serupa, seperti erupsi yang menyebabkan lontaran batuan pijar, hembusan awan panas akibat dari semburan lava yang menyembur dari kubah lava.

"Untuk Semeru kan di level siaga, dia terjadi erupsi kecil, letusan-letusan kecil kemudian juga ada guguran lava pijar, dan anacamannya masih di level dua, belum meningkat lagi. Kalau Merapi dia di level 3, jarak aman 5 kilometer, dan sekarang ada longsoran dari guguran lava pijar sempat terjadi juga, ada awan panas juga. Tapi itu semua normal," beber Kasbani.

Karena itu, lanjut dia, masyarakat tak seharusnya khawatir dengan fenomena gunung yang erupsi secara bersamaan. Apalagi, kalau terdapat sesuatu atau tanda-tanda yang mengkhawatirkan, pihaknya pasti akan mempublikasikan.

"Gunung itu kita monitor dengan baik. Jika ada erupsi, masyarakat sebaiknya menjaga jarak sesuai rekomendasi yang telah diberikan. Kalau rekomendasinya 3 kilometer, ya jangan masuk sejauh 3 kilometer. Dan antisipasi kalau sekarang musim hujan, ada beberapa yang berpotensi lahar hujan, di Semeru dan Sinabung ada potensi terjadi lahar hujan," tutup dia.

Pendapat senada datang dari mantan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono. Pria yang karib disapa Mbah Rono ini mengatakan, erupsi ketiga gunung tersebut sama sekali tak berbahaya atau memberi pertanda adanya bahaya, apalagi disebut saling berkaitan.

"Menurut saya tidak ada kaitannya, dan bisa diartikan hanya kebetulan saja. Sinabung juga dari dulu begitu, Semeru juga terus-terusan. Kemarin kan awan panasnya, bukan letusan itu. Orang salah kaprah saja itu, salah itu. Guguran kubah menjadikan awan panas, nggak ada letusan Semeru, letusan Semeru mah tiap hari ada. Nggak bahaya letusannya, itu orang gagal paham saja," ujar Mbah Rono kepada Liputan6.com, Rabu (20/1/2021).

Dia mengatakan, letusan satu gunung tak akan mempengaruhi gunung di sekitarnya untuk ikut meletus. Meletusnya gunung api memiliki mekanisme yang berbeda-beda, sekalipun berada pada cincin api yang sama.

"Pada dasarnya gunung berapi itu tidak seperti virus menular, satu meletus dan satunya ketularan. Itu semua tergantung mekanismenya sendiri-sendiri," jelas Surono.

Dia mengatakan, yang terjadi pada tiga gunung saat ini bukanlah letusan, melainkan guguran kubah yang diikuti awan panas guguran. Jadi, awan panasnya bukan awan panas letusan, melainkan awan panas guguran yang disebabkan labilnya kubah.

"Kalau letusan mah dari dulu malah, Semeru mah bahayanya cuma di sekitar letusan. Kalau saya memang khawatir dari 2019, kubahnya semakin besar, kalau longsor awan panasnya bisa jauh. Benar saja kemarin, untung saja malam hari, coba kalau siang hari itu kan banyak orang yang berkegiatan mengambil pasir," jelas Surono.

Prosesnya, lanjut dia, karena kubah sudah semakin besar, lama-lama labil dan akhirnya gugur yang diikuti awan panas. Dia pun memastikan erupsi Semeru pada 1 Desember 2020 dan 16 Januari 2021 itu bukan letusan, melainkan guguran.

"Dan tidak ada kaitannya dengan hujan dan pemanasan global, itu guguran saja, labil karena semakin lama semakin besar (kubahnya), ya labil," tegas Surono.

Ketika ditanyakan apakah erupsi ketiga gunung tersebut nantinya akan memicu letusan besar, dia meyakini hal itu tak akan terjadi.

"Nggak ada letusan besar, Semeru dari dulu letusannya gitu-gitu aja. Satu hari mungkin belasan kali letusan, nggak ada masalah itu karena jatuh hanya di sekitar puncak saja. Jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan, aman-aman saja. Sinabung juga dari dulu gitu-gitu aja," Mbah Rono memungkasi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ketika 6 Gunung Batuk-Batuk

Peristiwa beberapa gunung api meletus bersamaan tak hanya terjadi kali ini. Tahun lalu bahkan enam gunung api sekaligus erupsi dan viral di media sosial Twitter dan Instagram, Sabtu 11 April 2020.

Semuanya berawal saat Gunung Anak Krakatau meletus pada Jumat (10/4/2020) malam. Warganet kemudian mengeceknya melalui laman magma.esdm.go.id. milik Kementerian ESDM. Banyak yang memposting baik gambar maupun video tangkapan layar website tersebut sembari memberikan deskripsi beberapa gunung erupsi bersamaan.

Gunung tersebut adalah Kerinci level II (waspada), Anak krakatau level II (waspada), Merapi level II (waspada), Semeru level II (waspada), Ibu level II (waspada) dan Dukono level II (waspada).

Menanggapi kehebohan itu, Kepala Bidang Gunung Api PVMBG Hendra Gunawan meluruskan informasi. Menurut dia, hal itu bukan anomali dan erupsi Gunung Anak Krakatau dengan lima gunung lainnya bukan terjadi secara bersama-sama.

"Itu bukan anomali, memang gunung-gunung lain secara berkala juga terus erupsi tiap hari, kalau Gunung Anak Krakatau terjadi erupsi artinya gunung itu yang baru ikut bersama erupsi," kata Hendra kepada Liputan6.com, Sabtu (11/4/2020).

Dia menjelaskan, erupsi gunung terjadi selama bertahun-tahun secara berkala dan semua kejadiannya terus dipantau dan dilaporkan oleh Mitigasi Bencana Geologi.

"Jadi itu gunung-gunung yang sudah erupsi bertahun-tahun jadi kalau erupsi gunung bukan hanya Krakatau tapi juga Gunung Ibu, Gunung Dukono itu meletus itu bertahun-tahun tapi bukan dalam frequensi waktu bersamaan, ada yang berhenti sehari dua hari lalu ikut lagi (erupsi)," terang Hendra.

Pendapat serupa juga disampaikan ahli vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Mirzam Abdurrahman terkait kasus yang sama. Menurut dia, aktivitas letusan vulkanik keenam gunung yang sempat menimbulkan kekhawatiran masyarakat, terkhusus yang berada di Pulau Jawa dan Sumatera, sebenarnya tak perlu terjadi.

"Ada dua kemungkinan keenam gunung api tersebut aktif secara bersamaan. Kemungkinan pertama, jika gunung-gunung tersebut beda busur (arc) atau lempengan yang berinteraksinya berbeda, maka kemungkinan hanya waktu erupsinya saja yang kebetulan sama," jelasnya dikutip dari laman resmi ITB.

Diketahui bahwa gunung api di Indonesia berada pada empat busur yang berbeda yakni Busur Sunda, Banda, Halmahera, dan Celebes-Sangihe.

"Analogi sederhananya seperti saat saya makan, tetangga saya makan dan Anda juga makan, ya kebetulan pas jam makan siangnya sama," lanjut dosen Teknik Geologi ITB tersebut.

Hal tersebut ia jelaskan untuk contoh kasus Gunung Anak Krakatau yang berada di Selat Sunda dengan Gunung Ibu serta Dukono di Halmahera.

Selanjutnya kemungkinan kedua, ia menjelaskan bahwa jika gunung api berada pada busur yang sama maka kemungkinan ada faktor lain yang menyebabkannya terjadi bersamaan. Menjelaskan hal tersebut ia mengungkapkan sebuah analogi

"Misalkan fenomena tektonik (diibaratkan) seperti orang yang berkumpul makan karena ada undangan," ujar Mirzam

Dengan kata lain hal tersebut dapat terjadi dengan adanya pemicu yang sama. Hal tersebutlah yang terjadi dengan saat ini pada Gunung Kerinci, Krakatau, Merapi dan Semeru yang batuk bersamaan.

Jika dilihat persebarannya, Gunung Kerinci, Anak Krakatau, Merapi, dan Semeru berada pada busur yang sama, yakni Busur Sunda yang meliputi Pulau Sumatera, Jawa, Bali, NTT, dan NTB. Sementara itu Gunung Ibu dan Dukono terletak pada Busur Halmahera.

Singkatnya, para pakar ini ingin mengatakan bahwa peristiwa gunung meletus bersamaan itu fenomena biasa, karena gunung itu ternyata meletus karena keinginan sendiri-sendiri, bukan kolektif.

3 dari 3 halaman

Tuan Rumah Gunung Api Dunia

Peristiwa gunung meletus bukanlah sesuatu yang aneh bagi Indonesia. Sebagai negara yang memiliki gunung terbanyak di dunia, tidak kurang dari 500 gunung, erupsi adalah peristiwa biasa. Bahkan, kalau ada gunung yang 'batuk-batuk', penduduk sekitar biasanya senang lantaran abu vulkanik bisa menyuburkan lahan mereka.

Menurut data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), dari 500 gunung itu terdapat 129 yang aktif. Penyebarannya, di Pulau Sumatra ada 30 gunung, di Pulau Jawa 35, di Pulau Bali dan Nusa Tenggara 30, di Pulau Maluku 16, dan di Pulau Sulawesi 18.

Dari semua itu hanya 69 gunung api aktif yang dipantau oleh PVMBG. Masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah aktif gunung api akan selalu memiliki ancaman bahaya. Di sinilah fungsi PVMBG sebagai pelayan publik terus melakukan monitoring atau pengawasan 24 jam terhadap gunungapi aktif di Indonesia.

Beberapa gunung api itu terkenal karena letusannya, misalnya Krakatau yang letusannya berdampak secara global pada tahun 1883.

Kemudian letusan supervulkan Danau Toba yang diperkirakan terjadi 74.000 tahun lalu yang menyebabkan terjadinya musim dingin vulkan selama enam tahun.

Tak ketinggalan Gunung Tambora dengan letusan paling hebat yang pernah tercatat dalam sejarah dunia pada tahun 1815.

Gunung berapi di Indonesia merupakan bagian dari Cincin Api Pasifik, yang dikelompokkan menjadi enam wilayah geografis, empat di antaranya memiliki gunung berapi dalam barisan Busur Sunda.

Dua wilayah lainnya mencakup gunung berapi di Halmahera, termasuk pulau-pulau vulkanik di sekitarnya, serta gunung berapi di Sulawesi dan Kepulauan Sangihe. Wilayah terakhir berada dalam satu busur vulkan dengan gunung berapi Filipina.

Gunung berapi yang paling aktif adalah Kelud dan Merapi di Pulau Jawa, yang bertanggung jawab atas ribuan kematian akibat letusannya di wilayah tersebut.

Sejak tahun 1000 M, Kelud telah meletus lebih dari 30 kali, dengan letusan terbesar berkekuatan 5 Volcanic Explosivity Index (VEI), sedangkan Merapi telah meletus lebih dari 80 kali.

Tak heran Asosiasi Internasional Vulkanologi dan Kimia Interior Bumi menobatkan Merapi sebagai Gunung Api Dekade Ini sejak tahun 1995 karena aktivitas vulkaniknya yang sangat tinggi.

Sejak 26 Desember 2004, setelah gempa besar dan tsunami terjadi, semua pola letusan gunung berapi berubah, misalnya Gunung Sinabung, yang terakhir kali meletus pada 1600-an, tetapi tiba-tiba aktif kembali pada 2010 dan meletus pada 2013.

Geografi Sumatera didominasi oleh jajaran pegunungan bernama Bukit Barisan. Jajaran pegunungan ini membentang sepanjang hampir 1,700 km dari utara ke selatan pulau, dan terbentuk oleh pergerakan lempeng tektonik Australia.

Lempeng ini bergerak dengan laju konvergensi 5,5 cm/tahun, yang menyebabkan terjadinya gempa bumi besar di sisi barat Sumatera, termasuk gempa bumi Samudera Hindia pada 2004. Pergerakan tektonik ini tak hanya menyebabkan gempa bumi, tetapi juga perumusan ruang magma di bawah pulau.

Satu dari 35 gunung berapi aktif, yakni Pulau Weh, terpisah dari daratan utama Sumatera. Pemisahan ini disebabkan oleh letusan besar yang menyebabkan daratan antara Weh dan Sumatera digenangi oleh air laut pada zaman Pleistosen.

Gunung berapi terbesar di Sumatera adalah supervulkan Toba, 100 km × 30 km di kedalaman Danau Toba, yang terbentuk setelah keruntuhan kaldera. Letusan ini diperkirakan mencapai skala 8 VEI, letusan gunung berapi terbesar yang diketahui 27 juta tahun terakhir.

Sementara, puncak tertinggi di jajaran pegunungan Bukit Barisan saat ini adalah Gunung Kerinci, dengan ketinggian 3.800 m dari permukaan laut.

Selat Sunda memisahkan Pulau Sumatera dan Jawa, dengan pulau vulkanik Krakatau berdiri di antara keduanya. Krakatau meletus hebat pada tahun 1883, memusnahkan dua pertiga pulau dan menyisakan kaldera besar di bawah laut.

Ledakan dahsyat ini terdengar hingga ke Pulau Rodrigues di dekat Mauritius (berjarak sekitar 4.800 kilometer). Kerucut parasit baru, yang disebut Anak Krakatau, muncul dari lautan di tengah-tengah kaldera pada tahun 1930. Pulau Krakatau lainnya yang terbentuk akibat letusan 1883 adalah Sertung, Panjang, dan Rakata.

Dari segi ukuran, Jawa memang relatif kecil jika dibandingkan dengan Sumatera, tetapi pulau ini memiliki konsentrasi gunung berapi aktif yang lebih tinggi. Ada 45 gunung berapi aktif di Pulau Jawa, tidak termasuk 20 kawah dan kerucut kecil di kompleks vulkanik Dieng dan kerucut muda di kompleks kaldera Tengger.

Beberapa gunung berapi dikelompokkan menjadi satu karena lokasinya yang berdekatan. Semeru, Bromo, Merapi, dan Kelud adalah gunung berapi yang paling aktif di Pulau Jawa. Gunung Semeru terus mengeluarkan letusan sejak 1967. Gunung Merapi dinobatkan sebagai Gunung Api Dekade Ini sejak 1995.

Kini, dua gunung itu, Merapi dan Semeru serta Sinabung di Pulau Sumatera meletus secara bersamaan. Tak ada yang aneh, karena mereka yang ahli di bidang kegunungapian atau vulkanologi melihat peristiwa ini tak lebih sebagai konsekuensi Indonesia yang ditakdirkan menjadi rumah bagi sebagian besar gunung api aktif di dunia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.