Sukses

HEADLINE: Sriwijaya Air Jatuh, Bagaimana Jaminan Keselamatan Penerbangan ke Depan?

Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dengan rute Jakarta-Pontianak, yang mengangkut 62 awak dan penumpang, jatuh di perairan Kepulauan Seribu.

Liputan6.com, Jakarta - Musibah pesawat Sriwijaya Air SJ 182 pada Sabtu, 9 Januari 2021 lalu menambah daftar panjang kecelakaan penerbangan di Indonesia. Pesawat rute Jakarta-Pontianak itu dilaporkan hilang kontak setelah empat menit lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 itu tentu tidak hanya membuat syok keluarga penumpang, tapi juga masyarakat umum terutama pengguna maskai penerbangan. Apalagi insiden ini terjadi hanya berselang 2 tahun setelah kecelakaan Lion Air JT 610 yang menewaskan 189 penumpang dan awak kabin.

Apa faktor penyebab kecelakaan menjadi tanda tanya besar di tengah upaya pencarian yang dikomandoi Badan SAR Nasional (Basarnas) dan investigasi yang dilakukan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Pada saat bersamaan, muncul pula kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan penerbangan di Indonesia.

Pengamat Penerbangan, Ziva Narendra Arifin tak menampik dampak psikologis yang dirasakan masyarakat pasca-insiden kecelakaan pesawat di tanah air. Namun dia memastikan bahwa pesawat terbang memiliki standar keselamatan yang paling ketat di antara moda transportasi lainnya.

"Saya juga melihat rekan-rekan di maskapai cukup disiplin untuk mematuhi semua regulasi dan standar keselamatan. Secara statistik, penerbangan memang masih moda transportasi yang paling aman. Tapi ya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, butuh sosialiasi dan edauksi," ujar Ziva saat dihubungi Liputan6.com, Senin (11/1/2021).

Dalam 10 tahun terakhir, tercatat telah terjadi tujuh kecelakaan pesawat fatal di Indonesia, termasuk Sriwijaya Air SJ-182 yang hilang kontak pada Sabtu lalu. Seperti dikutip dari Wikipedia, enam pesawat dilaporkan jatuh, sementara satu lainnya menabrak Gunung Salak pada 2012 silam.

Meski relatif sering, Ziva menyatakan bahwa secara statistik kecelakaan pesawat di Indonesia dan tingkat fatalitasnya menurun terutama sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. "Jika dibandingkan 10 tahun pertama pasca-deregulasi airline tahun 1999," katanya.

Dia mengakui bahwa Indonesia masih jauh dari target zero accident, terutama pada penerbangan domestik yang terjadi di pelosok-pelosok negeri. Namun dia menyatakan bahwa standar keselamatan penerbangan tanah air sudah meningkat signifikan. Hal itu terlihat dari statistik audit universal Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang terakhir dipublikasikan pada 2017 lalu.

Saat ini yang perlu diperbaiki adalah sinergi antara regulasi dengan praktik di lapangan yang dinilai belum sinkron. Kendati, dia menegaskan, bahwa regulasi penerbangan Indonesia telah berstandar internasional.

"Kita kembali ke motto penerbangan, 3S1C yaitu safety (keselamatan), security (keamanan), services (pelayanan) dan compliance (pemenuhan terhadap aturan yang berlaku). Yang C ini kan yang paling penting untuk kita mematuhi. Kita mengirimkan 100 ribu pengawas ke pelosok daerah juga tak cukup kalau setiap individu tidak patuh pada regulasi tersebut. Jadi justru kepatuhan pada regulasi itu mesti ditekankan," kata Ziva.

Usia pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang sudah 26 tahun turut disorot publik. Namun mayoritas pengamat penerbangan menyatakan bahwa usia pakai pesawat belum tentu menjadi faktor penyebab burung besi tersebut celaka.

Pengamat penerbangan Arista Atmajati menyebut, banyak pesawat di luar negeri yang masih terbang meski sudah berusia tua. Menurut dia, faktor terpenting dalam keselamatan penerbangan adalah perawatan armada.

“Yang penting pemeliharaannya tidak terganggu. Pesawat ini masih banyak digunakan di Amerika Latin, Amerika Serikat, sebagian Eropa, Rusia, hingga saat ini,” kata Arista saat dikonfirmasi Liputan6.com, Senin (11/1/2021).

Lebih lanjut, dia menuturkan, bahwa banyaknya kecelakaan udara dalam beberapa tahun terakhir ini tidak serta merta membuat standar keselamatan penerbangan Indonesia semakin menurun. Menurut dia, kecelakaan Lion Air Boeing 737 Max dua tahun lalu merupakan kesalahan dari pabrik.  

“Kecelakaan dua tahun lalu itu terutama karena kesalahan Boeing karena masalah perangkat lunaknya, mirip dengan yang terjadi pada (kecelakaan pesawat) Ethiopian Air," katanya.

Arista mencatat, Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat telah menempatkan keselamatan penerbangan Indonesia di kategori 1. Artinya maskapai penerbangan boleh mengudara di langit Amerika Serikat.

“Semua maskapai penerbangan Indonesia sekarang diizinkan terbang ke Eropa dan AS, dan status itu belum dicabut oleh FAA,” ucapnya.

Dia kembali mengingatkan, bahwa perawatan pesawat menjadi faktor terpenting dalam keselamatan penerbangan. “Yang terpenting adalah pemerintah harus tegas dalam hal audit pemeliharaan, pemeriksaan izin teknisi, dan pemeriksaan acak di lapangan," tandasnya.

Hal senada juga disampaikan Pengamat Penerbangan, Chappy Hakim. Dia menampik spekulasi usia pesawat yang menyebabkan kapal terbang milik Sriwijaya Air itu hilang kontak hingga terjatuh di perairan Kepulauan Seribu.

Menurutnya, usia pesawat terbang tidak ada korelasinya dengan terjadinya kecelakaan, melainkan kelayakan kondisi pesawat.

“Dengan demikian yang ada bukan pesawat tua atau tidak tua akan tetapi pesawat yang laik terbang atau tidak. Cuaca buruk dapat dihindari, antara lain dalam perencanaan dapat dilihat terlebih dahulu tentang ramalan cuaca misalnya,” katanya kepada Liputan6.com.

Selain itu, pesawat terbang juga dilengkapi dengan radar yang dapat mendeteksi kondisi cuaca yang akan dilalui, apakah berbahaya atau tidak, sehingga dapat dihindari. Mengenai terjadinya kesalahan teknis, bisa saja terjadi berhubungan dengan siklus pemeliharaan pesawat atau kondisi lain yang tidak terduga sebelumnya.

Lebih lanjut, Chappy menyatakan, penyebab kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 pada Sabtu 9 Januari 2021 kemarin belum bisa diketahui sampai dengan KNKT menyelesaikan proses investigasinya.

“Biasanya KNKT akan segera mengumumkan hasil penyelidikan dalam 2 atau 3 tahap, minimal Preliminary Report atau hasil awal investigasi akan diumumkan ke publik,” ujarnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Industri Penerbangan Indonesia Bermasalah?

Pengamat ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institute Ronny P Sasmita melihat ada masalah besar yang terjadi dalam industri penerbangan nasional.

Hal tersebut tercermin dengan adanya beberapa kecelakaan besar di sektor penerbangan dalam kurun waktu 2014 hingga saat ini. Ronny berkata, sejak 2014 hingga 9 Januari 2021 kejatuhan Sriwijaya Air, sudah terjadi kecelakaan serupa sebanyak 3 kali, yakni sebelumnya terjadi pada akhir 2014 dan 2018.

"Kita tak bisa menebak akan berapa kali lagi kecelakaan serupa terjadi, mengingat masa pemerintahan Jokowi masih tersisa sekira 4 tahun lagi. Setidaknya, dari banyaknya kecelakan penerbangan berkategori besar yang terjadi di era Jokowi patut dijadikan awalan untuk mempertajam pertanyaan-pertanyaan kritis kita selama ini tentang dunia penerbangan nasional," kata Ronny kepada Liputan6.com.

Ronny menjelaskan, industri penerbangan dalam negeri memang memiliki problematika yang pelik, mulai dari perdebatan performa pesawat, seperti Boeing 737 Max, hingga harga tiket yang mahal.

Harga tiket kerap kali dikaitkan dengan pelayanan, fasilitas, dan keselamatan terbang. Harga tiket yang murah identik dengan kualitas dan keamanan yang 'biasa saja' karena anggapan publik yang menyatakan maskapai murah mendapat fasilitas 'seadanya'.

"Alasan tersebut jelas menyesatkan. Setidaknya, dunia penerbangan punya standar minimal internasional yang seharusnya mengutamakan keselamatan dan kenyamanan, sebelum berbicara harga dan rasionalisasi pelayanan minimal," kata Ronny.

Menurutnya, jika maskapai tidak mampu memenuhi standar keamanan dan keselamatan minimal internasional, maka harusnya mereka tidak menciptakan produk yang justru membahayakan konsumen.

"Logika harga yang murah sebagai harga yang layak untuk saku orang Indonesia otomatis batal, jika standar minimal internasional tak terpenuhi. Jadi bukan salah penumpang yang membeli tiket murah, tapi salah pembuat produk yang tidak memenuhi prasayat dasar sektor penerbangan," jelasnya.

Sementara Ikatan Pilot Indonesia (IPI) meminta Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) segera melakukan penyelidikan atas kecelakaan yang menimpa pesawat Sriwijaya Air SJ-182.

Para pilot meminta agar investigasi dilakukan secara ketat mengikuti ketentuan dan protokol yang diuraikan dalam ICAO Annex 13 untuk menemukan faktor penyebab kecelakaan dan membuat rekomendasi keselamatan penerbangan yang diperlukan.

"Harapan kami, proses investigasi tersebut dapat berlangsung dengan baik dan tidak terintervensi oleh adanya kepentingan-kepentingan lain, dalam upaya mengungkap penyebab kecelakaan yang sebenarnya secara transparan," demikian dikutip dari keterangan resmi IPI, Senin (1/1/2021).

IPI meminta agar penyelidik kecelakaan memiliki akses tanpa hambatan ke semua bahan dan barang bukti termasuk reruntuhan, rekaman penerbangan, catatan dari pihak pengelola lalu lintas udara dan otoritas tak terbatas untuk memastikan bahwa pemeriksaan terperinci dapat dilakukan, tanpa adanya penundaan oleh ahli keselamatan penerbangan yang relevan dan kompeten.

Komisi V DPR RI berencana memanggil Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait insiden kecelakaan Sriwijaya Air PK-CLC dengan kode penerbangan SJ 182 tersebut. Komisi yang membidangi perhubungan itu ingin mengevaluasi penerapan regulasi penerbangan di Indonesia.

"Dalam waktu dekat setelah kita rapat, kita akan segera jadwalkan panggil Kemenhub," kata Wakil Ketua Komisi V DPR Syarif Abdullah Alkadrie saat dihubungi Liputan6.com, Senin (11/1/2021).

Politikus Partai Nasdem itu mengingatkan, pemerintah sebagai pemegang regulasi dan maskapai penerbangan agar lebih menekankan aspek keselamatan. Menurut dia, faktor regulasi yang kurang ketat menjadi salah satu penyebab terjadinya kecelakaan pesawat.

"Artinya ada pesawat yang benar melakukan prosedur, ada yang tidak. Jangan kita senang penerbangan murah tapi faktor keselamatan tidak diperhatikan. Kalau perawatan bermasalah, ini tidak boleh ada toleransi," ucap Syarif.

"Jadi Ini harus ada evaluasi menyeluruh, ini harus komitmen bersama bagaimana Kemenhub punya target selama 10-15 tahun ke depan jangan ada kejadian atau zero accident," sambungnya.

Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Ridwan Bae mengatakan, pihaknya juga akan menggali masalah-masalah yang muncul di dunia penerbangan tanah air. Menurut dia, ada anggapan dari pihak asing yang menyebut bahwa penerbangan di Indonesia cukup rawan.

"Ke depan Komisi V akan mendalami lebih jauh tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Persoalan pertama terkait usia pesawat itu sendiri. Apa layak usia sudah di atas 20 tahunan masih dipakai penerbangan domestik kita. Apa layak pesawat kita yang suku cadangnya tanpa memerlukan perhatian yang kuat, yang serius," katanya di Jakarta International Container Terminal (JICT) 2, Jakarta Utara, Senin (11/1/2021).

Ridwan berharap, kecelakaan yang menimpa pesawat Sriwijaya Air SJ-182 menjadi yang terakhir kali. "Ke depan tidak lagi terjadi hal seperti ini," dia menandaskan.

3 dari 4 halaman

Kemenhub Tegaskan Sriwijaya Air Laik Terbang

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memastikan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 dinyatakan dalam kondisi laik udara sebelum terbang.

Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan, pesawat jenis Boeing 737-500 tersebut telah memiliki Certificate of Airworthiness (Sertifikat Kelaikudaraan) yang diterbitkan oleh Kemenhub dengan masa berlaku hingga 17 Desember 2021.

"Ditjen Perhubungan Udara telah melakukan pengawasan rutin sesuai dengan program pengawasan dalam rangka perpanjangan sertifikat pengoperasian pesawat (AOC) Sriwijaya Air pada bulan November 2020. Hasilnya, Sriwijaya Air telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan," jelas Adita dalam keterangannya, Senin (11/1/2021).

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto menjelaskan, Ditjen Perhubungan Udara telah melakukan pengawasan meliputi pemeriksaan semua pesawat dari semua maskapai yang diparkir atau tidak dioperasikan untuk memastikan pesawat tersebut masuk ke dalam program penyimpanan dan perawatan.

Berdasarkan data pemeriksaan, pesawat Sriwijaya SJ-182 masuk hanggar pada 23 Maret 2020 dan tidak beroperasi sampai dengan bulan Desember 2020. Kemudian, Ditjen Perhubungan Udara melakukan inspeksi pada 14 Desember 2020.

Pada 19 Desember 2020, pesawat mulai beroperasi kembali tanpa penumpang (no commercial flight) dan pada tanggal 22 Desember 2020, pesawat beroperasi kembali dengan penumpang (commercial flight).

Kemenhub sendiri telah menindaklanjuti perintah Kelaikudaraan (Airworthiness Directive) yang diterbitkan oleh Federal Aviation Administration (FAA), regulator penerbangan sipil di Amerika Serikat, dengan menerbitkan perintah Kelaikudaraan pada tanggal 24 Juli 2020.

"Perintah Kelaikudaraan tersebut mewajibkan operator yang mengoperasikan pesawat jenis Boeing 737-300/400/500 dan B737-800/900 untuk melakukan pemeriksaan engine sebelum dapat diterbangkan," ungkap Novie.

Tak hanya kepada SJ 182, Kemenhub telah melakukan pemeriksaan untuk memastikan pelaksanaan perintah kelaikudaraan tersebut pada semua pesawat sebelum dioperasikan kembali.

Sebelum terbang kembali, telah dilaksanakan pemeriksaan korosi pada kompresor tingkat 5 (valve 5 stages engine due corrosion) pada 2 Desember 2020 , yang dilakukan oleh inspektur kelaikudaraan Ditjen Perhubungan Udara.

4 dari 4 halaman

Sempat Delay hingga Akhirnya Terjatuh

Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182 rute Jakarta-Pontianak jatuh di perairan Kepulauan Seribu setelah dilaporkan hilang kontak pada Sabtu sore 9 Januari 2021. Pesawat tersebut terakhir kontak pada pukul 14.40 WIB.

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak hilang kontak setelah empat menit lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta Tangerang, Banten.

"Telah terjadi lost contact pesawat udara Sriwijaya rute Jakarta-Pontianak dengan call sign SJ-182, terakhir terjadi kontak pada pukul 14.40 WIB," kata Budi dalam konferensi pers, Sabtu.

Budi Karya menjelaskan, pesawat Sriwijaya Air ini lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pada pukul 14.36 WIB. Pada pukul 14.37 WIB, pesawat sempat diizinkan naik ke ketinggian 29 ribu kaki.

Kemudian, pesawat terlihat tidak sesuai dengan arah perjalanan pada pukul 14.40 WIB. "Tidak lama kemudian, dalam hitungan seconds (detik), SJ 182 hilang dari radar," ucap Menhub.

Meski demikian, Direktur utama Sriwijaya Air Jefferson Jauwena memastikan bahwa kondisi pesawat SJ 182 dalam keadaan baik dan laik terbang sebelum take off.

"Kondisi pesawat dalam keadaan sehat, karena ini adalah rute kedua pesawat ini, sebelumnya Pontianak-Jakarta, informasi maintance semua lancar," ungkapnya.

Jeff menceritakan, pemberangkatan pesawat SJ 182 menuju Pontianak sempat delay atau terlambat terbang selama 30 menit.

Menurut dia, keterlambatan penerbangan pesawat Sriwijaya Air rute Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang menuju Bandara Supadio, Pontianak ini karena faktor cuaca.

"Memang sempat ada delay 30 menit karena faktor cuaca," ungkap Jeff.

Saat itu, hujan sangat deras, maskapai mengkhawatirkan akan membuat penerbangan terganggu. Oleh karena itu, ditunda 30 menit dari jadwal semestinya.

Tak lama setelah lepas landas, berbagai kesaksian bermunculan terkait hilangnya pesawat Sriwijaya Air tersebut. Seperti yang dinyatakan Bupati Kepulauan Seribu, Junaedi yang mengaku menerima kabar adanya pesawat jatuh di sekitar daerahnya. 

"Hanya informasi dulu, mungkin saat ini sedang ada pencarian infonya ada yang jatuh, meledak di Pulau Laki," tutur Junaedi saat dikonfirmasi.

Menurut dia, Pulau Laki berada di perbatasan Pulau Tidung dan Pulau Lancang. Informasi jatuhnya pesawat sendiri sekitar pukul 14.30 WIB.

"Iya (meledak), jangan terlalu ditanya kan saya juga baru informasi, belum tahu ke lapangan enggak semudah di darat," kata Junaedi.

Hilang kontaknya maskapai tersebut juga diendus oleh laman Flightradar24. Berdasarkan data Flightradar24, pesawat hilang kontak empat menit setelah lepas landas dari Jakarta.

"Penerbangan Sriwijaya Air SJ182 kehilangan ketinggian lebih dari 10 ribu kaki dalam waktu kurang dari satu menit, sekitar empat menit setelah keberangkatan dari Jakarta," tulis Flighrtradar24 via Twitter.

Pemerintah pun mengerahkan semua kemampuannya untuk melacak keberadaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 tersebut. Pemerintah menggandeng berbagai pihak seperti Basarnas, KNKT, TNI, termasuk bantuan dari Badan Keselamatan Amerika Serikat atau National Transportation Safety Board (NTSB).

Titik terang pun mulai didapat di hari pertama pencarian, seperti penemuan sejumlah serpihan yang diduga dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182 oleh Kapal Patroli Kementerian Perhubungan.

Kapten Kapal Trisula Eko Surya Hadi menyatakan, serpihan tersebut dilaporkan dari para petugas dan sejumlah warga yang ikut serta dalam peninjauan lokasi yang diduga jadi titik jatuhnya pesawat di Kepulauan Seribu.

"(Ditemukan di kawasan) Pulau Lancang beberapa serpihan daripada pesawat tersebut, seperti life jacket, avtur, ada ditemukan pula, mungkin bagian tubuh dari manusia," kata Eko.

Selain itu, lanjut dia, para petugas dan warga juga menemukan sejumlah kabel-kabel yang ditemukan kira-kira pukul 15.00 WIB.

Pencarian terus berlanjut hingga hari ini, Senin (1/11/2021). Sejumlah barang berupa serpihan pesawat, properti, hingga part body diduga penumpang Sriwijaya Air SJ 182 terus ditemukan.

Jumlah kantong jenazah berisi bagian tubuh korban yang dibawa ke RS Polri juga terus bertambah. Hari ini, tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri telah berhasil mengidentifikasi satu part body sebagai penumpang pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.