Sukses

Tak Hanya FPI, Ini 6 Ormas Lain yang Juga Dibubarkan Pemerintah

Tak hanya FPI, ada sejumlah ormas lain yang juga sudah dibubarkan oleh pemerintah. Pada 2017 silam, ada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md telah resmi melarang kegiatan yang mengatasnamakan organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam atau FPI.

Pengumuman tersebut disampaikan Mahfud Md di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Rabu, 30 Desember 2020.

"Kepada aparat pemerintah pusat dan daerah, kalau ada organisasi yang mengatasnamakan FPI itu harus ditolak, karena legal standing-nya tidak ada, terhitung hari ini," kata Mahfud.

Tak hanya FPI, ada sejumlah ormas lain yang juga sudah dibubarkan oleh pemerintah. Pada 2017 silam, ada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Kala itu, Pemerintah memastikan kegiatan yang dilaksanakan ormas HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Aktivitas HTI dikatakan pemerintah nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI.

"Mencermati berbagai pertimbangan serta menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI," kata Menko Polhukam Wiranto kala itu udi kantornya, Senin, 8 Mei 2017.

Namun, jauh sebelum itu pada sekitar 2014 lalu, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang didirikan oleh Abu Bakar Ba'asyir juga dibubarkan pemerintah.

Berikut deretan ormas yang dibubarkan pemerintah selain FPI karena diduga tak sesuai dengan UUD 1945 atau pun Pancasila dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 9 halaman

Jamaah Islamiyah

Densus 88 Antiteror Polri menangkap lima terduga teroris yang berasal dari ormas terlarang, Jamaah Islamiyah (JI).

Meski telah dibubarkan pemerintah pada 2007 lalu melalui keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, nyatanya JI hingga kini masih ada dan terus menggalang kekuatan.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, para terduga teroris yang ditangkap masing-masing berinisial PW, MY, BS, A, dan BT. PW merupakan pimpinan kelompok tersebut.

"Yang ditangkap ini (PW) dulunya 2002 di JI ini dia sebagai (penanggung jawab) di bidang intelijen. Setelah dinyatakan bubar, dia dibaiat sebagai amir JI yang ada di Indonesia," ujar Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin, 1 Juli 2019.

Kelima terduga teroris itu ditangkap di sejumlah lokasi berbeda. PW selaku pimpinan organisasi dan istrinya MY diringkus Densus 88 di sebuah hotel di kawasan Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat.

"PS juga ditangkap pada waktu dan tempat yang sama. Peran PS sebagai penghubung antara amir (PW) dengan orang yang berhasil direkrut," jelas dia.

Kemudian terduga teroris A dibekuk pada Minggu 30 Juni 2019 di Perumahan Griya Satria, Bekasi, Jawa Barat. Dia merupakan hasil rekrutan PW yang turut bertugas menggerakkan organisasi JI di Indonesia.

 

3 dari 9 halaman

Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)

Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) didirikan pada 27 Juli 2008 di Solo, Jawa Tengah oleh Abu Bakar Baasyir.

Sejak awal berdiri, JAT telah menyatakan dukungannya terhadap Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS).

JAT merupakan organisasi yang terpecah dari MMI dan terindikasikan sebagai organisasi teroris lantaran melatarbelakangi Bom Bali 2002.

JAT juga sempat memiliki banyak cabang di Indonesia termasuk di Aceh dan Sulawesi Tengah. Polisi melalui unit khusus anti teror Densus 88 bergerak pada 2010.

Mereka kemudian merazia markas JAT di Jakarta dan menangkap para pimpinan kelompok karena dituding membiayai pelatihan militer kelompok teroris di Aceh serta serangkaian aksi teror di Indonesia.

Pada 23 Februari 2014, Departemen Luar Negeri AS memasukkan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang didirikan oleh Abu Bakar Ba'asyir ke dalam daftar organisasi teroris asing (FTO).

 

4 dari 9 halaman

Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI)

Jauh sebelum JAT terbentuk, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dibentuk Abu Bakar Baasir telah menampakan diri saat gempa Samudra Hindia 2004 terjadi.

Mereka mendirikan posko di pangkalan TNI AU Iskandar Muda di kota Banda Aceh, Aceh untuk membantu mengevakuasi jenazah, mendistribusikan bantuan, dan memberikan bimbingan spiritual kepada korban.

Pada Desember 2007, anggota MMI menyerang masjid Ahmadiyah di Indonesia. Serangan tersebut dilatarbelakangi oleh fatwa yang dikeluarkan sebulan sebelumnya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menentang bid'ah.

Pada 13 Juni 2017, Amerika Serikat kemudian menegaskan kelompok itu sebagai organisasi teroris asing.

 

5 dari 9 halaman

Gafatar

Nama Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar mendadak heboh setelah seorang dokter bernama Rica Tri Handayani dan anaknya di Yogyakarta menghilang sejak 30 Desember 2015 lalu.

Dokter Rica kemudian ditemukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 11 Januari 2016. Dari hasil penyelidikan, dokter Rica diketahui adalah anggota Gafatar. Dia menjadi anggota sejak 2012.

Heboh kabar tentang dokter Rica membuka sejumlah fakta tentang Gafatar. Organisasi ini rupanya telah lama bergerak dan menyebarkan ajaran yang dinilai sesat di Indonesia. Gafatar telah menyebar ke sejumlah kota di Indonesia dan merekrut banyak anggota baru.

Selain itu, sejumlah orang di berbagai daerah dikabarkan menghilang pascabergabungnya dengan kelompok Gafatar. Mereka berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), dokter, mahasiswa hingga masyarakat biasa.

Seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan. Seorang PNS Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jeneponto Sulsel dilaporkan hilang bersama keluarganya. Mereka diduga bergabung dengan gerakan tersebut.

Adalah Abdul Kadri Nasir (32). Ia bersama istrinya Adriani Havid (32) serta 2 anaknya, Habiah (3) dan Berlian (6 bulan), dilaporkan hilang oleh keluarganya ke Polda Sulselbar sejak November 2015.

"Laporannya kita terima sejak November 2015. Tapi keluarganya sempat masih berkomunikasi dengan Abdul Kadri pada saat berada di Bandung sekitar 30 Desember 2015, dan hingga saat ini tak ada kontak lagi," kata Kepala Bidang Humas Polda Sulselbar, Kombes Frans Barung Mangera, saat dihubungi Liputan6.com, Makassar, Rabu 13 Januari 2016.

Di wilayah Sulawesi Selatan, lanjut Barung, sudah banyak warga yang masuk dan bergabung dengan Gafatar. Mereka kini masih dalam penelusuran lebih dalam.

Selain di Sulawesi, seorang mahasiswi semester III Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (Unram) Nusa Tenggara Barat (NTB) juga dikabarkan hilang. Dia diduga bergabung dengan aliran sesat Gafatar.

Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan terus menyelidiki dan mendalami hilangnya mahasiswi yang bernama Rani Pradini Putri itu.

Mahasiswi yang baru berumur 19 tahun itu berasal dari Desa Sandik, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat. Dia dilaporkan hilang oleh orangtua Rani sejak Juli 2015 lalu.

"Sampai saat ini keberadaan korban masih kita telusuri, dan kami masih mendalami kasus ini," kata Kabid Humas Polda NTB, AKBP Tri Budipangastuti, di Mataram, Rabu 13 Januari 2016.

Tri menjelaskan, menurut pengakuan orang tuanya, Rani hilang setelah diajak oleh seorang temannya.

"Semenjak ajakan tersebut, korban diketahui tidak pernah kembali ke rumah. Sampai saat ini keberadaan korban belum diketahui, termasuk temannya yang mengajak," ujar Tri.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly kala itu menyatakan, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) bukan organisasi berbadan hukum.

Yasonna mengaku masih mendalami apakah kelompok tersebut merupakan bentuk organisasi atau hanya kelompok yang berbentuk ormas.

"Dari ‎info yang saya peroleh, itu tidak berbadan hukum di kementerian. Tapi saya minta di cek lagi. Kalau hanya dari aspek yuridis, tapi ormas kan enggak perlu badan hukum. Ini harus jelas statusnya, apakah ini ormas atau berbadan hukum," ujar Yasonna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 13 Januari 2016.

Yasonna mengaku akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menelusuri status Gafatar, apakah terdaftar sebagai ormas atau lainnya. Sebab, bila berbentuk ormas, semestinya kelompok tersebut berdasarkan aturan harus terdaftar di Kemendagri.

"Saya suruh cek lagi, kalau dia enggak terdaftar di kita, di Kemendagri juga tidak, atau mungkin bisa saja terdaftar di provinsi, dan bila di provinsi juga tidak ada, berarti itu organisasi tak benar," kata Yasonna.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan Gafatar merupakan organisasi yang tidak terdaftar. Karena itu, organisasi Gafatar ini tidak layak untuk diikuti masyarakat.‎

"Tentu ini bukan organisasi yang layak untuk diikuti masyarakat," ujar Lukman di Istana, Jakarta, Rabu 13 Januari 2016. ‎

Lukman menjelaskan sampai kini aparat penegak hukum masih menyelidiki lebih intensif terkait gerakan ini.

Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan olehnya, organisasi tersebut ternyata tidak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.

 

6 dari 9 halaman

Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas)

Sejak didirikan pada 20 April 2014 silam, ormas Annas terbentuk didasari kebencian kepada mazhab Syiah yang menurut mereka adalah aliran berbahaya.

Padahal, Syiah sendiri merupakan mazhab yang diakui oleh Islam di dunia, salah satunya oleh Universitas Islam terkemuka, Al-Azhar. Namun ormas ini justru mengkafir-kafirkan mazhab Syiah sehingga timbul kebencian antarumat.

Terlebih sepanjang perjalanannya, Aliansi ini membentuk kepengurusan di berbagai daerah menangkal bahaya Syiah. Apa yang dilakukan Annas seolah membuat perpecahan di tubuh Islam sendiri.

Keberadaan dan visi misi demikian, oleh negara bertentangan dengan UUD 45 yang menyebutkan bahwa hak beribadah warga negara dilindungi oleh negara.

Informasi pembubaran Annas sendiri bersumber dari TR Kapolri yang ditandatangani oleh Waka Kabanintelkam Irjen Pol Suntana.

 

7 dari 9 halaman

HTI

Pemerintah memastikan kegiatan yang dilaksanakan ormas HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Aktivitas HTI dikatakan pemerintah nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI.

"Mencermati berbagai pertimbangan serta menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI," kata Menko Polhukam Wiranto kala itu udi kantornya, Senin, 8 Mei 2017.

Dia menjelaskan, alasan lain mengusulkan pembubaran HTI dikarenakan meski merupakan ormas berbadan hukum. Lalu, HTI dianggap tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.

"Keputusan ini diambil bukan berarti Pemerintah anti terhadap ormas Islam, namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945," kata Wiranto.

Berkas pembubaran HTI akhirnya masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada pertengahan 2018, majelis hakim PTUN mengesahkan putusan pemerintah soal pembubaran ormas HTI.

Lewat pertimbangannya, majelis hakim menilai HTI terbukti telah menyebarkan paham kekhilafahan di Indonesia yang bertentangan dengan Pancasila.

"Menimbang bahwa penggugat (HTI) sudah terbukti ingin mendirikan negara Khilafah Islamiyah di NKRI dalam bentuk aksi dan bukan hanya konsep/pemikiran, maka menurut majelis hakim tindakan penggugat sudah bertentangan dengan Pancasila khususnya sila ketiga persatuan Indonesia, yaitu rasa nasionalisme," ujar ketua majelis hakim Tri Cahya Indra Permana di ruang sidang utama PTUN Jakarta, Cakung, Jakarta Timur, Senin, 7 Mei 2018.

Hakim menegaskan, keberadaan HTI telah bertentangan dgn undang-undang berlaku pada pasal 59 ayat 4 huruf c Perppu Ormas.

"HTI terbukti bahwa paham diperjuangkan penggugat bertentangan dengan Pancasila," lanjut hakim membacakan pertimbangan.

Selain itu, hakim menimbang dalam pembentukannya, HTI telah salah dengan mendaftarkan keanggotaan berbadan hukumnya sebagai organisasi massa dan bukan partai politik. Padahal, merujuk pada sejarahnya, Hizbut Tahrir adalah sebuah badan partai politik dunia dalam naungan global political party.

"Menimbang bahwa majelis hakim yakin bahwa HTI adalah parpol, tidak berupa kelompok dakwah semata tetapi menyusun Undang Undang Dasar dan bagi Hizbut Tahrir penyusunan tersebut adalah gambaran bila saat nanti Khilafah Islamiyah sedunia ditegakkan," jelas hakim.

Karenanya, Pengadilan Tata Usaha Negara menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI atas Menteri Hukum dan HAM. Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM terkait pembubaran HTI juga tetap berlaku dan ormas itu tetap dibubarkan.

"Menolak permohonan penundaan surat keputusan yang diajukan penggugat, dalam eksepsi menyatakan eksepsi tergugat tidak diterima untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim, Tri Cahya Indra Permana sambil mengetuk palu sidang.

 

8 dari 9 halaman

FPI

Kini, pemerintah kembali memutuskan untuk melarang dan menghentikan kegiatan yang digelar oleh FPI. Hal tersebut mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 82-PUU/11/2013.

"Tertanggal 23 Desember 2014, pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI karena FPI tidak lagi memiliki legal standing sebagai ormas atau organisasi biasa," kata Menko Polhukam, Mahfud MD, dalam jumpa pers di Kemenko Polhukam, Rabu, 30 Desember 2020.

Ditambahkan Mahfud, dengan tidak adanya legal standing, kepada pemerintah pusat maupun daerah bila mana ada organisasi mengatasnamakan FPI melakukan kegiatan maka harus ditolak.

"Itu dianggap tidak ada harus ditolak, terhitung hari ini," kata dia.

Mahfud menambahkan, sejak 20 Juni 2019, FPI secara de jure sudah bubar sebagai ormas. Tetapi sebagai organisasi FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar dan bertentangan dengan hukum.

"Sebagai organisasi FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan dan bertentangan dengan hukum, seperti tindak kekerasan, sweeping, razia secara sepihak, provokasi dan sebagainya," terang Mahfud.

Dalam kesempatan yang sama, Wamenkum HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiriaej juga kembali menekankan soal status FPI.

"FPI organisasi yang tidak terdaftar sebagai ormas, sehingga dinyatakan telah bubar," jelas Edward.

9 dari 9 halaman

Pencopotan Baliho Rizieq Shihab dan Wacana Pembubaran FPI

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.