Sukses

HEADLINE: Pencopotan Baliho dan Wacana Pembubaran FPI, Prosedur Hukumnya?

Wacana pembubaran FPI mencuat kembali setelah Pangdam Jaya menilai ormas itu bersikap seenaknya. Bagaimana prosedur pembubaran sebuah ormas?

Liputan6.com, Jakarta - Kegeraman Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrachman terhadap perilaku Font Pembela Islam (FPI) disuarakan usai memimpin Apel Gelar Pasukan di Monas, Jakarta Pusat, Jumat 20 November 2020 lalu. Dengan nada tegas, Ia menyebut ormas yang dipimpin Rizieq Shihab tersebut bersikap seenaknya tanpa mengindahkan aturan Pemprov DKI.

Dudung menyontohkan sikap paling benar FPI dalam pemasangan baliho di sejumlah titik di DKI Jakarta. Yang mana, menurut dia, hal itu sudah ditertibkan Satpol PP namun mendapat pertentangan dari laskar FPI. Sehingga dia pun mengerahkan personelnya.

Tak hanya itu, dia pun menyarankan agar keberadaan FPI ditutup selamanya. "Jangan seenaknya sendiri, seakan-akan dia paling benar, enggak ada itu. Jangan coba-coba pokoknya. Kalau perlu FPI bubarkan saja itu, bubarkan saja. Kalau coba-coba dengan TNI, mari," tegas Dudung.

Namun begitu, menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar, pembubaran suatu ormas, seperti FPI, tidak sesuai dengan nilai konstitusi. Sebab hak berserikat dalam berorganisasi itu dijamin oleh undang-undang.

"Tidak ada yang bisa membubarkan organisasi masyarakat yang tidak terdaftar sekali pun, karena berorganisasi itu dijamin oleh konstitusi, ia hak asasi manusia (HAM) yang melekat pada masyarakat, karena itu hak, itu tidak pernah diberikan oleh siapa pun termasuk pemerintah. Jadi jika ada yang akan membubarkan dengan sewenang-wenang, itu sama saja dengan melawan konstitusi, tidak mengakui UUD45 sebagai konstitusi Indonesia," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (23/11/2020).

Kendati saat ini FPI tidak mengantongi Surat Keterangan Terdaftar (SKT), menurut Fickar, itu bukan merupakan suatu pengesahan sebuah organisasi kemasyarakatan. Surat itu hanya sebagai daftar organisasi yang nantinya diberi bantuan dari APBN dalam melaksanakan kegiatannya.

"Jadi tidak ada urusannya dengan hak berserikat dalam berorganisasi yang dijamin konstitusi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya," kata dia.

Dia mengungkapkan, syarat FPI dapat dibubarkan di antaranya karena adanya pelanggaran hukum. Namun begitu, hal tersebut akan sulit dilakukan.

"Itu sulit, karena apa yang akan dibubarkan, wong badan hukumnya saja tidak ada. Jadi jika ada anggota atau orang yang mengaku anggota sebuah organisasi melakukan tindakan yang melawan hukum, maka orang tersebut yang dapat ditindak sebagai pelanggar hukum, bukan organisasinya yang tidak berbadan hukum," kata dia.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengaku tidak setuju adanya pembubaran ormas secara sepihak oleh pemerintah. Menurut dia, pembubaran ormas harus melalui jalur yang benar.

"Sedari awal PUSaKO (Pusat Studi Konstitusi) menentang pembubaran ormas serta merta di dalam UU Ormas yang baru ya berdasarkan Perppu (Nomor 2 Tahun 2017). Pembubaran Ormas harus melalui proses peradilan yang baik," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (23/11/2020).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Feri menambahkan, dalam Perrpu itu di pasal 61 disebutkan, pemerintah dapat membubarkan ormas secara sepihak.

"Ketentuan itu bertentangan dengan UUD perihal kebebasan berserikat," kata dia.

Selain persoalan wacana pembubaran ormas, Feri juga menyoroti tindakan personel TNI yang mencopot baliho Rizieq Shihab. Menurutnya, kewenangan menurunkan baliho yang tidak tertib berada pada ranah penegakan perda di satpol PP. Kecuali jika mengganggu keamanan baru diserahkan kepada kepolisian.

"Apakah keberadaan baliho FPI mengganggu pertahanan sehingga TNI turun tangan? TNI perlu menjelaskan dengan terang alasan penurunan baliho dan kaitan dengan kewenangannya. Semua alat negara sudah diberi batasan tugas dan kewenangan. Sehingga satu sama lain tidak berbenturan kewenangannya," kata dia.

Wacana pembubaran FPI sebenarnya sudah bergaung saat habisnya masa berlaku Surat Keterangan Terdaftar FPI pada 20 Juni 2019 lalu. Kala itu, Kemendagri alot untuk mengeluarkan SKT lantaran salah satunya terkait dengan visi misi dari ormas tersebut.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra pun sempat angkat bicara terkait desakan pembubaran FPI kala itu. Menurutnya, FPI tidak bisa dibubarkan seperti halnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Karena keduanya memiliki landasan yang berbeda.

Kata Yusril, HTI merupakan ormas yang memiliki badan hukum di Kemenkumham. Sedangkan FPI tak ada badan hukumnya dan hanya terkait dengan SKT.

"Berbeda dengan kasus HTI dulu, kalau HTI itu dulu ormas yang berbadan hukum, dicabut status badan hukumnya. Kemudian ada perlawanan ke pengadilan. Tapi kalau seperti FPI kan memang bukan badan hukum. Jadi dia mendaftar di Kementerian Dalam Negeri dan dalam jangka waktu tertentu, ya masa pendaftarannya selesai, habis. Tinggal diperpanjang saja," jelas Yusril di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 1 Agustus 2019 lalu.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

SKT Tak Terbit, FPI Terjepit?

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benny Irwan mengungkapkan, FPI merupakan ormas yang tidak memiliki badan hukum. Karena itu, sudah beberapa tahun ormas ini memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Namun masa berlaku surat tersebut habis sejak 20 Juni 2019 lalu.

"Kemarin teman-teman FPI itu masih ingin memperpanjang SKT, tapi dalam prosesnya masih ada persyaratan yang belum dipenuhi. Awalnya ada dua persyaratan, tapi terakhir tinggal satu persyaratan yaitu AD/ART yang belum disampaikan FPI," kata Benny kepada Liputan6.com, Senin (23/11/2020).

Menurut dia, berkas tersebut belum dilayangkan kepada Kemendagri lantaran menunggu munas FPI. Karena momen itu menjadi ajang untuk menyusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) FPI.

"Jadi karena FPI tidak bisa memenuhi persyaratan itu, mereka mengatakan sementara kami tidak memperpanjang dulu karena enggak mungkin memenuhi itu karena kami belum Munas. Kalau kami sudah Munas, baru lah kita memenuhi itu," ujar dia.

Benny pun menilai, tanpa mengantongi SKT, FPI menjadi ormas yang ilegal. Sebab keberadaannya tidak terdaftar sebagai ormas yang mengikuti aturan. "Kalau tidak terdaftar tidak ada seharusnya, tidak diakui," kata dia.

Lantaran tidak memiliki SKT, kata Benny, idealnya FPI membekukan semua kegiatannya. Namun begitu, hal tersebut tidak berlaku bila FPI telah memiliki badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM.

"Ya harusnya kan begitu. Saya enggak tahu apakah dia sudah berbadan hukum. Tapi waktu berproses dengan kita itu tidak berbadan hukum karena berbadan hukum itu kan izinnya dari Kemenkumham. Seperti ormas yang lain, seperti perusahaan yang lain, urusannya dengan Kemenkumham. Tapi kondisinya di Kemendagri seperti itu ya," ujar Benny.

Perihal belum lengkapnya persyaratan pembuatan SKT ditepis oleh Wakil Sekretaris Umum FPI Aziz Yanuar. Dia menegaskan, FPI sudah menyerahkan semua syarat administrasi yang diminta pemerintah. FPI juga sudah mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Agama dan dokumen syarat administrasi itu secara formal.

"Ini seharusnya sudah cukup, SKT adalah masalah administrasi saja," ujar dia kepada Liputan6.com, Jakarta, (23/11/2020).

Selama 20 tahun terakhir, kata dia, FPI sudah membuktikan diri menjadi ormas taat asas dengan mendaftarkan diri ke pemerintah. Kendati tak ada kewajiban ormas untuk mendaftarkan itu ke Kemendagri.

"Pendaftaran demi mendapatkan SKT hanya untuk akses mendapatkan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. FPI selama ini mandiri secara dana; tidak pernah minta dana APBN. FPI tidak pernah memanfaatkan SKT tersebut," kata dia.

Oleh karena itu, dia menegaskan FPI tidak ambil pusing dengan langkah Kemendagri yang membekukan SKT tersebut. Tanpa SKT, kata dia, kegiatan FPI akan tetap berjalan.

"FPI enggak peduli. Mau diterbitkan atau tidak diterbitkan SKT, toh bagi FPI tidak ada manfaat sedikit pun. Tanpa SKT pun FPI tetap akan menjadi pembela agama dan pelayan umat," ujar dia.

Aziz Yanuar menegaskan, tak perlu ada desakan pembubaran terhadap FPI. Kata dia, organisasi ini akan bubar dengan sendirinya bila kemunkaran termasuk ketidakadilan musnah dari Indonesia.

"Jika hari ini dibubarkan, esok matahari terbit akan terbit 1.000 FPI lain yang siap lebih gencar mengganyang dan menyerang kemunkaran dan ketidakadilan," ujar dia.

Aziz Yanuar juga menyoroti langkah prajurit TNI yang mencopot baliho bergambar Rizieq Shihab. Dia menilai tindakan para tentara tersebut tidak sesuai dengan tugasnya yang diatur dalam Undang-Undang No 34 Tahun 2004.

Dia menguraikan, tugas yang tertuang dalam undang-undang tersebut ada 2, yaitu operasi militer perang dan operasi militer selain perang (OMSP). Untuk OMSP, yang bisa memerintahkan hanya presiden. Selain itu, OMSP juga dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

"Nah rakyat tentu tahu, copot baliho dan pengerahan pasukan ke Petamburan itu bukan operasi militer perang. Artinya itu OMSP, di mana TNI menurut UU bergerak atas dasar keputusan politik negara," ujar dia.

Aziz Yanuar menilai kebijakan politik negara saat ini memerintahkan TNI untuk melakukan operasi militer selain perang berupa pencopotan spanduk dan pengerahan pasukan ke petamburan.

"Jadi jelas, perlu diketahui semua rakyat bahwa saat ini di negara kesatuan Republik Indonesia, masalah politik negara tingkat tinggi yang urgent menurut presiden adalah masalah spanduk, baliho dan menakut-nakutin FPI," kata dia.

Dia pun meminta TNI untuk fokus kepada OPM yang sudah puluhan tahun membuat susah rakyat dan pemerintah. Bahkan dalam dua hari belakangan telah membunuh rakyat sipil. "Kami rakyat bayar pajak mahal untuk minta pemerintah fokus akan hal tersebut," kata dia.

3 dari 3 halaman

Minta Direspons Serius

Anggota Komisi I DPR RI Mayjen Purnawirawan TNI TB Hasanuddin mengapresiasi langkah Pangdam Jaya yang menginstruksikan anak buahnya mencopot baliho Rizieq Shihab. Menurutnya, berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi), memang Satpol PP yang memiliki kewajiban untuk menurunkan baliho. Namun, apabila Satpol PP tidak dapat menertibkan, maka TNI bisa membantu.

"Karenanya, harus ada tindakan tegas secara terukur dan itu dilakukan oleh TNI yang ternyata banyak didukung oleh warga bangsa Indonesia," ucap TB Hasanuddin, Sabtu 21 November 2020.

Ia menilai, bila ada pihak selain aparat yang menertibkan baliho FPI bergambar Rizieq Shihab tersebut, dikhawatirkan akan memicu konflik horisontal.

"Kalau penurunan baliho itu dilakukan oleh masyarakat atau ormas lain, bisa terjadi bentrok berdarah atau mengarah ke konflik horisontal. Maka saya menilai tindakan TNI ini sudah sangat tepat ketika aparat yang lain diam," terangnya.

Terkait pembubaran ormas FPI, TB Hasanuddin menilai ada prosedur yang harus ditempuh. Pemerintah diharapkan harus mendengar usulan tersebut.

"Saya kira ini harus direspons negara. Bila ternyata nanti secara hukum ormas FPI ini terbukti melanggar dan kemudian harus dibubarkan maka bubarkan saja, tak usah ragu, tak usah takut," kata TB Hasanuddin.

Sementara itu, Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman meluruskan pernyataannya terkait pembubaran Front Pembela Islam (FPI). Dia menegaskan, eksistensi organisasi masyarakat merupakan kewenangan pemerintah pusat.

"Kan saya sampaikan kalau perlu, kalau perlu bubarkan kan, begitu kan FPI itu," tutur Dudung di Makodam Jaya, Cililitan, Jakarta Timur, Senin (23/11/2020).

Dudung mengatakan, TNI tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan organisasi masyarakat. Hal itu merupakan ranah pemerintah pusat berdasarkan laporan pemerintah daerah.

"Pangdam TNI tidak bisa membubarkan. Itu harus pemerintah, kan. Saya katakan 'kalau perlu', kan begitu. Bukan kita, tidak ada kewenangan TNI," kata Dudung.

Lantas bagaimana kewenangan pemerintah terkait ormas? Hal itu dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 13 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Dalam pasal 60 disebutkan:

(1) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif.

(2) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

Pasal 6l:

(1) Sanksi administratif sebegaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian kegiatan; dan/atau

c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Dalam penjelasannya, disebutkan:

Yang dimaksud dengan "penjatuhan sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum' adalah sanksi yang bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pemerintah berwenang melakukan pencabutan.

Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum Ormas sudah sesuai dengan asas antrarius actus, sehingga pejabat yang berwenang menerbitkan surat keterangan/surat keputusan juga berwenang untuk melakukan pencabutan.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.