Sukses

20 November 1946: Gugurnya I Gusti Ngurah Rai dan Perintah Perang Puputan

I Gusti Ngurah Rai mengeluarkan perintah puputan atau pertempuran habis-habisan terhadap prajuritnya dalam melawan Belanda.

Liputan6.com, Jakarta - I Gusti Ngurah Rai, namanya memang tak asing di telinga para wisatawan yang gemar melancong ke Bali. Selain dijadikan nama Bandara di Pulau Dewata, I Gusti Ngurah Rai juga dikenal sebagai seorang Letnan Kolonel yang memimpin peristiwa heroik, Puputan Margarana.

Dikutip dari Kompas (2019), Puputan Margarana adalah peristiwa pertempuran habis-habisan pasukan Resimen Sunda Kecil pimpinan I Gusti Ngurah Rai melawan Belanda. Pertempuran itu berpusat di Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan Bali, pada 20 November 1946 atau tepat 74 tahun silam.

Kisah I Gusti Ngurah Rai tertulis dalam buku Jejak-jejak Pahlawan karya J.B. Sudarmanto (2007). Dalam buku itu, dikatakan bahwa I Gusti Ngurah Rai menempuh pendidikan di Sekolah Militer Gianyar, Bali dan lulusan Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) atau pendidikan perwira cadangan di Magelang

Setamat pendidikan di sana, pria kelahiran 30 Januari 1917 itu diangkat menjadi perwira di Korps Prayudha Bali dengan pangkat letnan dua. Singkat cerita, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Gusti Ngurah Rai mendapat mandat untuk membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Bali.

Bukan tanpa alasan, pembentukan TKR ini bertujuan untuk menghadang agresi Belanda yang ingin kembali menguasai Bali setelah Jepang hengkang karena kalah dalam Perang Dunia II. Indonesia yang baru merdeka kala itu mempercayakan membentuk dan memimpin pasukan Sunda Kecil bernama Ciung Wanara.

Saat membentuk pasukan Sunda Kecil, dia sempat berkonsultasi dengan Markas Besar TKR di Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia pada waktu itu. Namun sekembalinya I Gusti Ngurah Rai dari Yogyakarta, ternyata Belanda sudah mendarat di Bali.

Sementara itu, pasukan Ciung Wanara yang dibentuk Ngurah Rai telah tercerai berai menjadi pasukan-pasukan kecil. Dia pun berusaha mengumpulkan pasukannya itu. I Gusti Ngurah Rai sendiri pernah menolak ajakan kerja sama dari Belanda dalam upaya pendudukan.

"Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin kita di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomasi. Dan saya bukan kompromis. Saya atas rakyat hanya mengingini lenyapnya Belanda dari Pulau Bali atau kami sanggup bertempur terus sampai cita-cita kita tercapai," tulis Ngurah Rai seperti Merdeka.com mengutip dari buku Jejak-jejak Pahlawan.

Bukan Ngurah Rai namanya jika takut menghadapi musuh. Setelah mendapat penolakan itu, Belanda pun menambah bala bantuan pasukan dari Lombok. Tujuannya, untuk menyergap pasukan Ngurah Rai di Tabanan.

Ngurah Rai yang cepat membaca pergerakan Belanda itu pun langsung memindahkan pasukannya ke Desa Marga. Mereka menyusuri wilayah ujung timur Pulau Bali, termasuk melintasi Gunung Agung.

Sayangnya, pergerakan pasukan Ngurah Rai itu juga mudah tercium oleh pasukan Belanda yang akhirnya mengejar mereka. Pada 20 November 1946, pasukan pimpinan I Gusti Ngurah Rai dan pasukan Belanda bertemu dan akhirnya terjadilah pertempuran sengit.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hari Puputan Margarana

Dalam pertempuran itu pasukan Ciung Wanara berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Namun, pertempuran tidak berhenti sebab bala bantuan pasukan Belanda datang dengan jumlah besar.

Mereka bahkan dilengkapi persenjataan lebih modern serta didukung kekuatan pesawat tempur. Kondisi pun berbalik, pasukan Ngurah Rai malah terdesak karena kekuatan tidak seimbang.

Pertempuran antara pasukan Ngurah Rai dan Belanda terus terjadi meski hari beranjak malam. Pasukan Belanda juga kian brutal dengan menggempur pasukan Ciung Wanara dengan meriam dan bom dari pesawat tempur.

Pasukan Ciung Wanara menjadi terdesak ke wilayah terbuka di area persawahan dan ladang jagung di kawasan Kelaci, Desa Marga. Ngurah Rai lalu mengeluarkan perintah puputan atau pertempuran habis-habisan.

Menurut pandangan pejuang Bali itu, lebih baik berjuang sebagai kesatria daripada jatuh ke tangan musuh. Akhirnya, I Gusti Ngurah Rai dan seluruh pasukannya gugur dalam pertempuran habis-habisan itu.

Ngurah Rai gugur dengan ksatria dia usia 29 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Margaran Tabanan, Bali. Untuk mengenang peristiwa heroik itu, setiap 20 November diperingati sebagai Hari Puputan Margarana.

Pemerintah lalu menganugerahkan Bintang Mahaputera dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta) untuk I Gusti Ngurah Rai. Pada tahun 1975, pemerintah juga menetapkan I Gusti Ngurah Rai sebagai Pahlawan Nasional.

Hingga kini, namanya diabadikan dalam nama bandara di Bali, Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan nama kapal perang KRI I Gusti Ngurah Rai. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya demi kemerdekaan Indonesia, wajah I Gusti Ngurah Rai pernah diabadikan dalam pecahan uang Rp 50.000.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.