Sukses

3 Hal Terkait Penghapusan Pasal 46 dalam RUU Cipta Kerja

Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono, pasal itu memang seharusnya tidak ada dari naskah final RUU Cipta Kerja.

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan soal Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja yang telah disetujui untuk disahkan masih menjadi sorotan.

Yang belum lama ini menjadi perbincangan adalah soal penghilangan atau penghapusan pasal terkait minyak dan gas bumi.

Adapun pasal yang dimaksud dalam RUU Cipta Kerja tersebut yakni Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

"Terkait pasal 46 yang koreksi itu, itu benar. Jadi kebetulan Setneg (Sekretariat Negara) yang temukan, jadi itu seharusnya memang dihapus," ujar Ketua Badang Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas, Kamis, 26 Oktober 2020.

Pihak Istana pun ikut angkat bicara terkait penghapusan pasal 46 tersebut. Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono, pasal itu memang seharusnya tidak ada dari naskah final UU Cipta Kerja.

"Intinya pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," kata Dini, Jumat (23/10/2020).

Berikut deretan penjelasan terkait penghapusan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam RUU Cipta Kerja dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kata DPR Jadi Koreksi

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas membenarkan soal penghilangan atau penghapusan pasal terkait minyak dan gas bumi dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja).

Adapun pasal yang dimaksud dalam RUU Cipta Kerja tersebut yakni Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

"Terkait pasal 46 yang koreksi itu, itu benar. Jadi kebetulan Setneg (Sekretariat Negara) yang temukan, jadi itu seharusnya memang dihapus," kata Supratman, Kamis 26 Oktober 2020 kemarin.

Dia menerangkan, pasal tersebut memang seharusnya sudah tak masuk dalam draf final RUU Cipta Kerja yang akan diserahkan oleh pihak Istana, dan sudah disepakati oleh Panja. Namun masih tercantum, sehingga dihapuskan.

"Saya pastikan setelah berkonsultasi semua ke kawan-kawan itu benar seharusnya tidak ada. Karena seharusnya dihapus, karena kembali ke Undang-Undang Eksisting jadi tidak ada di Undang-Undang Ciptaker," ungkap Supratman.

Dia menjelaskan, awalnya pemerintah memang ingin mengalihkan kewenangan BPH Migas ke Kementerian ESDM melalui RUU Cipta Kerja. Namun, di DPR khususnya di Panja Baleg, usula itu tak diterima.

"Awalnya itu adalah merupakan ada keinginan pemerintah untuk usulkan pengalihan kewenangan BPH Migas toll fee (Menentukan Tarif Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa) dari BPH ke ESDM. Atas dasar itu kami bahas di Panja, tapi diputuskan tidak diterima di Panja. Tetapi dalam naskah yang tertulis itu yang kami kirim ke Setneg ternyata masih tercantum ayat 1-4," tukas Supratman.

 

3 dari 4 halaman

Memang Tak Seharusnya Ada

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menerangkan soal hilangnya pasal 46 soal minyak dan gas bumi (migas) di Undang-Undang Cipta Kerja.

Dia mengungkapkan, pasal itu memang seharusnya tidak ada dari naskah final UU Cipta Kerja.

Sebelumnya, Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi hilang dari naskah Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sudah dipegang pemerintah. Pasal itu tidak lagi tercantum dalam naskah 1.187 halaman.

Padahal, dalam naskah Omnibus Law UU Cipta Kerja 812 halaman yang diserahkan DPR ke pemerintah, pasal itu masih ada dan terdiri dari 4 ayat.

"Intinya pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," katanya, Jumat (23/10/2020).

Menurutnya, dibolehkan menghapus pasal setelah UU disahkan di Paripurna dan diserahkan ke Setneg. Yang tidak boleh, kata dia, ialah merubah subtansi.

"Yang tidak boleh diubah itu substansi," ucap politikus PSI itu.

Dini menuturkan, dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif atau typo. Dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR.

"Setneg dalam hal ini justru melakukan tugasnya dengan baik," ucapnya.

Dini mengatakan, pada proses final sebelum naskah dibawa ke Presiden, Setneg menangkap apa yang seharusnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja dan mengkomunikasikan hal tersebut dengan DPR.

"Penghapusan pasal 46 tersebut justru menjadikan substansi menjadi sejalan dengan apa yang sudah disepakati dalam rapat panja," pungkas Dini.

 

4 dari 4 halaman

Bersifat Administratif

Dini membenarkan, pemerintah telah menghapus Pasal 46 UU Cipta Kerja. Alasannya, pasal tersebut dapat mengubah substansi yang telah disepakati bersama antara pemeintah dan parlemen.

"Pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dan penghapusan Pasal 46 tersebut justru menjadikan substansi menjadi sejalan dengan apa yang sudah disepakati dalam rapat Panja," kata Dini.

Dini menjelaskan, Pasal 46 UU Cipta Kerja berisi tetang kewenangan BPH Migas. Karena dihapus, artinya aturan berlaku terkait hal tersebut dikembalikan ke aturan yang sudah ada sebelummya atau existing.

"Jadi dalam naskah final karena dalam rapat Panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," jelas Dini.

Dini menambahkan, penghapusan ini dilakukan saat proses cleansing final sebelum naskah dibawa ke Presiden. Menurut dia, ini bukan keputusan sepihak karena parlemen sudah mengetahui adanya pasal yang dihapus.

"Ini dengan sepengetahuan DPR, diparaf oleh DPR. Perubahan dilakukan dengan proper. Itu yang penting, Setneg melakukan tugasnya dengan baik. Setneg menangkap apa yang seharusnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja dan mengkomunikasikan hal tersebut dengan DPR," Dini menandasi.

Dini menuturkan, dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif atau typo. Dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR.

"Setneg dalam hal ini justru melakukan tugasnya dengan baik," ucapnya.

Dini mengatakan, pada proses final sebelum naskah dibawa ke Presiden, Setneg menangkap apa yang seharusnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja dan mengkomunikasikan hal tersebut dengan DPR.

"Penghapusan pasal 46 tersebut justru menjadikan substansi menjadi sejalan dengan apa yang sudah disepakati dalam rapat panja," jelas Dini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.