Sukses

Komnas HAM Sebut Kebebasan Berpendapat Terbatasi

Survei Komnas HAM dan Litbang Kompas pada Agustus 2020 menyebut, 36 persen dari 1.200 responden takut menyampaikan pendapat dan ekspresi di internet.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, kebebasan berpendapat dan berekspresi secara langsung maupun di dalam ruang siber terbatasi, seperti dalam penyampaian keberatan atas pengesahan undang-undang yang dinilai kontroversial.

"Kami mencatat persoalan kebebasan berpendapat dan berekspresi, tidak saja kepada individu atau kelompok, tetapi juga terjadi di ruang-ruang akademik," ujar Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam konferensi pers secara daring, di Jakarta, Rabu (21/10/2020).

Seperti dilansir Antara, Polri mencatat lebih dari 5.198 orang ditangkap sejak aksi demo tolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja bergulir 5 Oktober 2020.

Sedangkan terkait dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sampai dengan April 2020, menurut data Safe-Net, sebanyak 209 orang menjadi korban dari UU ITE karena ketentuan dalam UU tersebut yang bisa menjerat pihak yang menyampaikan pendapat dan ekspresi.

Safe-Net menyebut, yang terbaru terjadi pada aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijerat dengan UU ITE, karena dituduh memprovokasi masyarakat dan menyebarkan hoaks terkait dengan RUU Cipta Kerja.

Selain itu, berdasarkan laporan Komnas HAM RI dan Litbang Kompas pada Agustus 2020 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, 36 persen responden di antaranya menyatakan ketakutannya dalam menyampaikan pendapat dan ekspresi melalui internet.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Harapan Komnas HAM

Menurut Taufan, hal itu mencerminkan ranah digital belum memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya.

Untuk itu, Komnas HAM RI menyerukan agar setiap perbedaan pendapat disikapi secara bijak dengan membuka dialog yang setara dan transparan, sebagai bagian dari kedewasaan berdemokrasi.

Penindakan berlebihan, apalagi mempidanakan kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi dinilai tidak perlu dilakukan, karena berpotensi memberangus perbedaan pendapat dan demokrasi.

"Semestinya di alam demokrasi yang sudah kita nikmati lebih dari 20 tahun setelah 1998-1999 ini, kebebasan berekspresi dan berpendapat sudah bisa berkembang lebih dari apa yang dulu kita alami di awal-awal sistem reformasi," kata Taufan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.