Sukses

KPK Ingatkan Potensi Korupsi di Tahun Politik

Firli menyebut, tingginya biaya dalam penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi pintu masuk timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Firli Bahuri mengingatkan potensi tindak pidana korupsi di tahun politik. Firli menyebut, tingginya biaya dalam penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi pintu masuk timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih.

"Oleh karena itu, sejak awal pemilihan, pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah harus mengetahui bagaimana menghindari potensi munculnya benturan kepentingan," ujar Firli dalam Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020, Selasa (20/10/2020).

Dalam webinar yang diikuti seluruh calon kepala daerah di 270 daerah peserta Pilkada serentak ini juga dihadiri Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Firli mengatakan, berdasarkan hasil survei, Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018 ditemukan potensi adanya benturan kepentingan dengan pihak ketiga.

Menurut Firli, pihak ketiga mau memberikan sumbangan demi mendapatkan kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis saat calon terpilih.

Menurut Firli, temuan survei KPK pada 2018 memperlihatkan bahwa 83,8 persen calon berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika calon memenangkan Pilkada.

"Hasil survei KPK menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan Pilkada. Hadirnya donatur disebabkan karena adanya gap antara biaya Pilkada dan kemampuan harta calon, di mana harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai Pilkada," ujarnya.

Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp 18,03 miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp 15,17 juta. Padahal, berdasarkan wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp 5 sampai Rp 10 miliar.

"Bahkan bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp 65 miliar," kata Firli.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tolak Politik Uang

Sementara itu, Pelaksana Harian (Plh) Ketua KPU pusat Ilham Saputra, mendorong seluruh pasangan calon dan para pemilih dalam Pilkada untuk mewujudkan Pilkada berintegritas. KPU menyampaikan kepada konstituen dalam setiap program pendidikan pemilih untuk menolak politik uang.

“Kami menegaskan tolak politik uang dalam setiap sesi pendidikan pemilih oleh KPU. Kami juga mendorong peserta Pilkada menandatangani pakta integritas. Di samping itu, KPU telah mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam), di mana salah satu tujuannya adalah mendorong keterbukaan peserta Pilkada terhadap aliran dana kampanye mereka,” kata Ilham.

Menurut Ketua Bawaslu Abhan, kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi. Penyelenggaraan Pilkada berintegritas merupakan syarat mutlak terwujudnya pilkada berkualitas. Menurutnya, politik uang merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.

“Dampak politik uang adalah mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi dimana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong,” kata Abhan.

Terakhir, pembekalan disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Tito mengutarakan kesuksesan Pilkada merupakan orkestrasi dari sejumlah elemen, baik pemerintah pusat dan daerah, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan masyarakat. Dari sisi anggaran misalnya, Tito mengatakan pemerintah pusat telah menganggarkan dana dari APBN, dan telah pula ditransfer ke daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada.

“Berdasarkan data per-Oktober 2020, realisasi APBN 2020 untuk penyelenggaraan pilkada telah mencapai 98,04 persen. Anggaran APBN 2020 untuk Pilkada adalah sebesar Rp 15,19 triliun, dengan realisasi serapan sebanyak Rp 14,89 trliun. Jadi, anggaran yang belum ditransfer adalah Rp 297,87 miliar,” ujar Tito.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.