Sukses

Polisi Tangkap 7 Pemilik Akun Sosmed yang Diduga Menghasut Berbuat Anarkis saat Demo

Polisi menangkap tujuh orang pemilik akun sosial media yang diduga melakukan ajakan berbuat anarkis dalam unjuk rasa tolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu.

Liputan6.com, Jakarta Polisi menangkap tujuh orang pemilik akun sosial media yang diduga melakukan ajakan berbuat anarkis dalam demo tolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu.

Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo menyampaikan, penangkapan dilakukan pada Senin 19 Oktober 2020.

"Tersangka melakukan ajakan dan penghasutan pada demo anarkis Hari Kamis 8 Oktober dan Selasa 13 Oktober di Jakarta," tutur Ferdy saat dikonfirmasi, Selasa (20/10/2020).

Menurut Ferdy, mereka terdiri dari tiga admin Whatsapp Grup, tiga admin Facebook, dan satu orang admin Instagram. Para tersangka dikenakan pasal berlapis yaitu Pasal 160 KUHP dan atau; Pasal 170 KUHP dan atau; Pasal 214 KUHP dan atau; Pasal 211 KUHP dan atau; Pasal 212 KUHP dan atau; Pasal 216 KUHP dan atau; Pasal 218 KUHP dan atau; Pasal 358 KUHP Jo Pasal 55, 56 KUHP; dan atau Pasal 28 ayat 2 Jo pasal 45 UU nomer 19 tahun 2016 atas perubahan UU nomer 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE).

"Diterapkan Pasal berlapis, penangkapan tersebut atas pengembangan pelaku-pelaku yang ditangkap pada saat demo anarkis tanggal 8 Oktober dan 13 Oktober," kata Ferdy.

Sebelumnya, Mabes Polri merilis penangkapan terhadap delapan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terkait kasus kerusuhan unjuk rasa menolak pengesahan RUU Cipta Kerja.

Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, ada sembilan tersangka yang dihadirkan. Satu di antaranya bukan merupakan anggota KAMI, namun memiliki peranan yang serupa di sosial media.

"Dari Medan ini ada menemukan dua laporan polisi, kemudian ada empat tersangka yang kita lakukan penangkapan dan penahanan. Inisial KA, JG, NZ, dan WRP," tutur Argo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10/2020).

Argo menyebut, KA merupakan admin dari Whatsapp Grup dengan banyak member yang bergabung. Dia sempat menuliskan terkait pengumpulan massa untuk melempari DPRD Sumatera Utara, polisi, dan meminta pengunjuk rasa agar tidak mundur atau pun takut saat demonstrasi RUU Cipta Kerja.

KA juga mengumpulkan dana untuk logistik konsumsi makanan bagi pengunjuk rasa.

Kemudian tersangka JG juga menuliskan dalam Whatsapp Grup agar massa dapat menggunakan batu dan bom molotov saat beraksi. Dia juga meminta agar terjadi skenario kerusuhan 1998 disertai penjarahan toko dan rumah milik warga keturunan China dalam demo RUU Cipta Kerja.

Sementara, Tersangka NZ juga menuliskan hal serupa bernada provokasi. Termasuk tersangka WRP yang turut menghasut dengan mewajibkan massa membawa bom molotov.

"Bom molotovnya ada ini kita dapatkan. Sama pilok untuk buat tulisan. Bom molotovnya untuk melempar mobil, terbakar. Ini menggunakan pola hasut, pola hoaks. Polanya seperti itu. Sudah semua peran-perannya kelihatan," jelas dia.

Tersangka kelima berinsial JH berperan menghasut massa hingga menyebabkan terjadinya aksi anarkis dan vandalisme. Di akun Twitter-nya, dia menulis bahwa Undang-Undang memang untuk primitif, investor dari RRT, dan pengusaha rakus.

"Modusnya mengunggah konten ujaran kebencian di akun twitter tersangka JH ini dan kemudian tersangka menyebarkan, motifnya menyebarkan muatan berita bohong tersebut mengandung kebencian berdasarkan SARA," kata Argo.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sebar Hoaks

Tersangka keenam berinisial DW yang merupakan pemilik akun Twitter @podoradong. Dia bukan merupakan anggota KAMI, namun melakukan peranan yang serupa di sosial media yang dinilai memicu kerusuhan.

Selanjutnya tersangka ketujuh berinisial AP. Dia menggunakan akun Facebook dan Youtube untuk menyebarkan sejumlah informasi miring, di antaranya soal multifungsi Polri melebihi dwifungsi ABRI, NKRI menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia, disahkannya UU Ciptaker bukti negara telah dijajah, negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, hingga VOC gaya baru.

Tersangka kedelapan, lanjut Argo, berinsial SN. Dia juga menggunakan akun Twitternya untuk menolak Omnibus Law, mendukung demonstrasi buruh, dan bela sungkawa demo buruh.

"Modusnya ada foto, kemudian dikasih tulisan, keterangan tidak sama dengan kejadiannya. Contohnya ini kejadian di Karawang, tapi ini gambarnya berbeda. Ini salah satu, ada beberapa dijadikan barang bukti penyidik dalam pemeriksaan. Juga ada macam-macam tulisan dan gambarnya berbeda," beber Argo.

Tersangka kesembilan berinisial KA berperan mengunggah di Facebook terkait isi butir pasal RUU Cipta Kerja yang disebut penyidik bertentangan dengan UU Cipta Kerja yang sebenarnya. Ada 13 poin dengan motif penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja.

Untuk tersangka KA, JG, NZ, WRP, DW, SN, dan KA dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 juncto 45a ayat 2 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2, dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dengan ancaman hukuman penjara 6 tahun.

Sementara untuk JH dan AP dikenakan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 207 KUHP dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.