Sukses

Setahun Jokowi-Ma'ruf dan Lahirnya Polemik Omnibus Law Cipta Kerja

Omnibus law yang pertama kali diungkapkan Jokowi saat pidato pelantikan Presiden pada Oktober 2019 lalu itu kini menjadi polemik.

Liputan6.com, Jakarta - Polemik pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi catatan merah dalam satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin atau Jokowi-Ma'ruf.

Omnibus law pertama kali dicetuskan Jokowi dalam pidato pelantikannya di Sidang Paripurna MPR RI pada 20 Oktober 2019. Dalam pidatonya, dia menegaskan bahwa segala bentuk kendala regulasi harus disederhanakan.

"Harus kita potong, harus kita pangkas," kata Jokowi di gedung DPR/MPR, Jakarta, Minggu (20/10/2019).

Jokowi mengatakan, pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar dalam omnibus law. Pertama, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan kedua UU Pemberdayaan UMKM.

"Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan puluhan undang-undang," kata Jokowi.

Gayung bersambut, keinginan Presiden itu ditindaklanjuti dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Pada Sidang Paripurna DPR RI 17 Desember 2019, DPR menetapkan 248 RUU prioritas, yang di dalamnya termasuk 3 RUU yang disebut sebagai Omnibus Law, yaitu RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Sejak awal, Jokowi ingin pembahasan RUU Omnibus Law ini dikebut. Meski draf RUU belum resmi diserahkan ke DPR untuk dibahas, Jokowi sudah meminta DPR agar mengebut pembahasan yakni selama 100 hari.

"Kita sudah sampaikan ke DPR, mohon ini bisa diselesaikan maksimal 100 hari. Saya angkat jempol saya, dua jempol kalau DPR bisa menyelesaikan ini dalam 100 hari," ujar Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) di Ritz-Charlton Hotel, Jakarta, Kamis (16/1/2020).

Pemerintah sendiri baru menyerahkan draf omnibus law ke pimpinan DPR pada 12 Februari 2020. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan RUU yang diserahkan itu bernama Cipta kerja atau Ciker, bukan Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka.

“Ciker singkatannya, bukan Cilaka,” kata Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (12/2/2020).

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Dikebut Kurang dari 6 Bulan

Setelah dibahas kurang dari enam bulan, dengan pembahasan saat reses dan juga dilakukan tidak hanya di Gedung DPR melainkan juga hotel-hotel, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah akhirnya sepakat membawa omnibus law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) ke pembicaraan tingkat dua atau rapat paripurna DPR.

Kesepakatan dilakukanpada pada Sabtu (3/10/2020) tengah malam. Ketua Badan Legislasi atau Panitia Kerja (Panja) DPR RI, Supratman Andi Agtas memimpin rapat tersebut.

”Sejak tanggal 14 April 2020, Panja telah membahas RUU Cipta Kerja dengan Pemerintah. Pembahasan diawali dengan mengundang berbagai narasumber terkait dan membahas pasal demi pasal secara detail, intensif, dan dengan mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat,” Kata Supratman dikutip dari Laporan Ketua Panja yang diterima, Minggu (4/10/2020).

“Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan undang-undang, Panja berpendapat bahwa RUU tentang Cipta Kerja dapat dilanjutkan pembahasannya dalam Pembicaraan Tingkat II yakni pengambilan keputusan agar RUU tentang Cipta Kerja ditetapkan sebagai Undang-Undang,” tambahnya.

Disahkan Lebih Cepat di Paripurna

RUU Cipta Kerja akhirnya diketok palu pada rapat paripurna DPR yang digelar Senin 5 Oktober 2020. Pengesahan RUU tersebut dilakukan lebih cepat dari paripurna yang seharusnya dilakukan pada 8 Oktober 2020. 

Wakil Ketua Baleg Ahmad Baidowi mengungkapkan alasan paripurna dipercepat lantaran banyaknya kasus Covid-19 di DPR.

Akhirnya pada 5 Oktober 2020 malam, DPR menyetujui RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Kesepakatan tersebut dicapai dalam sidang paripurna pembicaraan tingkat II atas pengambilan keputusan terhadap RUU tentang Cipta Kerja.

Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin mengatakan, dari sembilan fraksi, enam di antaranya menerima RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU. Kemudian 1 fraksi menerima dengan catatan, dan dua di antaranya menolak.

"Mengacu pada pasal 164 maka pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat? Tok!," kata dia dalam sidang rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (5/10/2020).

Tujuh fraksi yang telah menyetujui yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Sedangkan, dua fraksi yang menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.

 

3 dari 6 halaman

Gelombang Demonstrasi Penolakan

Gelombang penolakan mengalir deras seiring dengan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dalam rapat paripurna DPR. Tak hanya elemen buruh dan mahasiswa, penolakan juga disampaikan berbagai Ormas, seperti Muhammadiyah dan NU. Namun, pemerintah dan DPR bergeming.

Sebanyak 32 federasi dan konfederasi serikat buruh pun serempak turun ke jalan dalam aksi yang diberi nama mogok nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebut, mogok nasional ini dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.

Dia menyebut, mogok nasional ini akan diikuti 2 juta buruh yang meliputi pekerja dari sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, dan perbankan.

Penolakan UU Cipta Kerja itu disampaikan berbagai elemen rakyat di sejumlah daerah di Indonesia dengan turun ke jalan, Kamis 8 Oktober 2020.

Sayangnya, demo di Jakarta yang semula berjalan damai berujung aksi anarkistis. Kerusuhan dan bentrokan saat demo juga pecah di sejumlah daerah.

Di Ibu Kota, Aksi demonstrasi yang digelar di Harmoni, Jakarta Pusat, diwarnai kericuhan. Massa dengan polisi terlibat bentrok. Petugas kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan massa.

Tak hanya di Jakarta, kericuhan juga terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Sejumlah fasilitas publik seperti tempat sampah, pot bunga di jalan sekitar kawasan Balai Pemuda dirusak dan dibakar oleh massa pengunjuk rasa tolak UU Cipta Kerja.

Kerusuhan merembet hingga kawasan Jalan MH Thamrin dan Bundaran Hotel Indonesia (HI). Sejumlah fasilitas umum, seperti Halte Transjakarta rusak dan dibakar.

 

4 dari 6 halaman

Pemerintah Sebut Demo Akibat Hoaks

Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud Md akhirnya angkat bicara mengenai aksi demo penolakan RUU Cipta Kerja yang berujung ricuh di berbagai daerah pada Kamis (8/10/2020),

Mahfud mengklaim, RUU Cipta Kerja adalah respons pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terutama buruh.

“Undang-Undang itu dibuat untuk merespons keluhan masyarakat buruh bahwa pemerintah itu lamban dalam menangani proses perizinan berusaha. Oleh sebab itu dibuat Undang-Undang yang sudah dibahas lama,” kata Mahfud dalam konpers virtual, Kamis (8/10/2020),

Mahfud menyebut tidak ada maksud dari Omnibus law Cipta Kerja untuk menyusahkan rakyat. “Tidak ada ada pemerintah di dunia yang mau menyengsarakan rakyatnya dengan UU,” ucapnya.

Mahfud menyatakan, banyak beredar hoaks terkait isi RUU Cipta Kerja, antara lain soal penghapusan pesangon dan hak cuti pekerja.

“Ada beberapa hoaks, pesangon tidak ada, cuti haid, mempermudah PHK, ada jaminan kehilangan pekerjaan, ini dibilang tidak ada, bahkan ada yang menyebut pendidikan dikomersilkan,” katanya.

Klaim tersebut diamini kepolisian dengan menangkap sejumlah orang yang dianggap menyebar hoaks terkait RUU Cipta Kerja. Polisi juga menangkap pelaku kerusuhan dan perusakan saat demo.

 

5 dari 6 halaman

Jumlah Halaman Draf RUU Cipta Kerja Berubah-ubah

Namun di tengah-tengah klaim hoaks tentang isi Omnibus Law tersebut, nyatanya draf final tentang RUU Cipta Kerja belum rampung, kendati pemerintah dan DPR telah menyetujuinya dalam rapat paripurna, Senin 5 Oktober malam.

Hingga demo besar-besaran terjadi di sejumlah daerah, masih belum dapat dipastikan mana draf RUU Cipta Kerja yang asli dan bukan hoaks.

Badan Legislasi (Baleg) DPR selaku penggodok RUU Cipta Kerja angkat bicara mengenai kontroversi Omnibus Law yang baru disahkan itu. Anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo mengatakan draf yang beredar di masyarakat belum final.

"Artinya, bahwa memang draft ini dibahas tidak sekaligus final, itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan. Oleh karena itu, kalau ada pihak-pihak menyampaikan melalui pandangan lama, pastinya akan beda dengan yang final," kata Firman di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (7/10/2020).

Firman menyebut, draf yang beredar kurang akurat. Dia mengambil contoh seperti soal hak cuti haid dan cuti kematian yang disebut hilang, padahal tidak.

“Itu (cuti) masih ada semua, lalu upah minimum ada semua, kemudian outsorcing ada pembatasannya, kemudian pesangon itu ada semua. Khusus pesangon itu memang awalnya sesuai UU 13 itu kan ada sebanyak 32 kali, tetapi 32 kali itu yang mampu melaksanakan itu hanya 7 persen perusahaan,” jelasnya.

"Artinya kalau membuat UU itu harus bisa dilaksanakan, tidak bisa membuat UU kasih pesangon 32 kali tapi tidak bisa dieksekusi, malah rakyat makin dibohongi. Nah ini bisa jadi peluang. Peluangnya adalah ketika pesangon 32 kali tidak bisa dilaksanakan mungkin nanti ada pihak-pihak menjembatani menjadi tim negosisasi, akhinya tercapai kesepakatan ini akhirnya terjadi manipulasi dan terjadilah moral hajat di situ,” tambahnya.

Setelah melalui penyintingan dan perubahan berkali-kali soal jumlah halaman, DPR RI akhirnya menyelesaikan draf final RUU Cipta Kerja. Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin menyatakan, draf final setebal 812 halaman itu siap dikirim ke Presiden Jokowi untuk ditandatangani.

Jumlah halaman RUU tersebut berbeda dengan yang dikatakan Sekjen DPR sehari sebelumnya atau pada 12 Oktober, yakni setebal 1.035 halaman. Azis memastikan, meski ada perbedaan jumlah, substansi RUU Cipta Kerja yang sudah diketuk palu tidak berubah.

“Substansi clear tidak ada yang berubah, saya jamin itu,” kata Azis di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (13/10/2020).

Azis membantah kabar adanya penyusupan pasal saat proses editing pasca paripurna. Ia bahkan mempersilakan apabila ada anggota Dewan yang meragukan untuk mengecek rekaman saat RUU digodok.

Politikus Golkar itu menyebut, koreksi terhadap RUU yang sudah disahkan sejak 5 Oktober itu bukanlah hal yang dilarang untuk dilakukan.

“Perlu diketahui bahwa apabila ada hal-hal kekeliruan dalam teknis dan redaksional, maka sekretariat negara masih dimungkinkan untuk mengoreksi namun dengan persetujuan dan klarifikasi dari DPR,” ucapnya.

Jumlah halaman RUU yang telah diedit kini 812 halaman. Azis menyebut berkurangnya jumlah halaman lantaran adanya perbedaan kertas dalam penyusunan RUU antara Baleg dan Sekjen.

“Proses di Baleg menggunakan kertas biasa. Saat masuk tingkat dua di Sekjen dia gunakan legal paper yang jadi syarat Undang-Undang. Sehinga besar tipisnya ada 1.000 (halaman) sekian, tapi setelah pengetikan final, total jumlah pasal halaman hanya 812 halaman,” jelasnya.

 

6 dari 6 halaman

Rapor Merah Setahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf

Kelahiran RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang memicu polemik menjadi catatan buruk atau rapor merah setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

“Saya kira lahirnya omnibus law dengan kontroversi dan respon penolakan publik yg begitu luas menjadi catatan buruk satu tahun Jokowi-Amin,” kata Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti, Senin (19/10/2020).

Selain isi RUU Cipta Kerja yang kontroversial, Aisah menilai pemerintah tidak peka terhadap kritik yang muncul dari berbagai lapisan masyarakat.

“Di luar substansi yang kontroversial, demonstrasi penolakan dan kritik publik pada proses penyusunan UU ini menunjukkan pemerintah belum bekerja optimal untuk menyerap dan menyalurkan kepentingan masyarakat secara utuh,” jelasnya.

“Apalagi kita tahu bahwa omnibus law ini sejak awal penyusunannya sangat rentan dikritik publik dan secara substansi akan tak mudah disusun karena meliputi banyak lapisan kepentingan, sehingga seharusnya pemerintah lebih berhati-hati dalam menyusunnya. Ini tentu saja catatan merah di tepat satu tahun pemerintahan Jokowi Amin,” tambahnya.

Senada dengan Aisah, Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai RUU Cipta Kerja adalah kebijakan yang kontroversial di tahun pertama Jokowi-Ma'ruf.

“Setahun pertama ini, banyak kebijakan politik presiden selalu menuai kontroversi. Dari RUU KPK, kelanjutan Pilkada, dan Omnibus Law,” katanya.

Apalagi pembahasan hingga pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja berjalan sangat cepat, melebihi RUU lain yang masuk dalam prolegnas. Adi menilai, dikebutnya pembahasan Omnibus Law di tengah penolakan dan pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa RUU itu sangat kental dengan kepentingan.

“Ini UU spesial, karena banyak RUU lain masuk prolegnas tapi nganggur. Ketika Omnibus ini dikebut singkat, apalagi pandemi. Wajar kalau UU rasa presiden, rasa istana banget,” tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.