Sukses

Refleksi Moeldoko di Hari Kesaktian Pancasila, Membangun Kewaspadaan yang Menenteramkan

Sebenarnya bisa saja sebuah peristiwa besar itu menjadi komoditas untuk kepentingan tertentu.

Liputan6.com, Semarang - Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Jenderal (Purn) Dr. Moeldoko mengatakan, sejarah penting untuk diingatkan generasi muda. Dan Republik ini memiliki deretan sejarah yang panjang dan bisa menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang.

Dengan tidak melupakan sejarah, anak bangsa bisa terus dalam kewaspadaan dalam melangkah. Namun bukan berarti menjadi langkah mundur karena terlalu takut dalam melangkah. Sejarah bisa jadi pembelajaran tapi bukan untuk menakut-nakuti anak bangsa kembali pada situasi yang sama pada masa lalu. Salah satunya terkait peristiwa 1965 dan peringatan Hari Kesaktian Pancasila.

"Apapun itu, sebagai sebuah peristiwa yang pernah terjadi kita harus selalu waspada. Jangan sampai nanti kita masuk pada situasi yang sama, tapi modelnya berbeda. Peristiwa-peristiwa itu harus menjadi ingatan. Kita harus berfikir maju, tetapi tetap tidak boleh melupakan masa lalu. Jangan sekali-sekali kita melupakan sejarah," kata Moeldoko dalam sebuah wawancara di Semarang, Kamis (1/9/2020).

Berikut tanya jawab dalam refleksi Moeldoko di Hari Kesaktian Pancasila.

 

Tanya : Selamat pagi Pak Moeldoko. Banyak isu berkembang, menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini. Termasuk isu kebangkitan kembali komunisme. Bagaimana Anda melihatnya ?  

Moeldoko : Kalau Kesaktian Pancasila, itu memang sebuah peristiwa sejarah yang harus selalu diingatkan kepada generasi muda. Kita jangan sampai melupakan peristiwa sejarah. Kesaktian Pancasila mari kita maknai secara lebih luas. Pancasila harus mewarnai seluruh segi kehidupan kita. Bukan sekadar bicara peristiwa 1965. Kalau dari peristiwa itu pelajaran yang dibangun adalah kewaspadaan. Apapun itu, sebagai sebuah peristiwa yang pernah terjadi kita harus selalu waspada. Jangan sampai nanti kita masuk pada situasi yang sama, tapi modelnya berbeda. Peristiwa-peristiwa itu harus menjadi ingatan. Kita harus berfikir maju, tetapi tetap tidak boleh melupakan masa lalu. Jangan sekali-sekali kita melupakan sejarah.

Tanya : Seorang mantan panglima menyebut dirinya dicopot dari jabatannya, hanya karena mengajak nonton film  G30S/PKI. Bagaimana pendapat Anda ?

Moeldoko : Tentang pencopotannya, itu pendapat subyektif. Karena itu penilaian subyektif ya boleh boleh saja, sejauh itu perasaan. Tapi perasaan itu belum tentu sesuai dengan yang dipikirkan oleh pimpinannya. Pergantian pucuk pimpinan di sebuah organisasi itu melalui berbagai pertimbangan. Bukan hanya pertimbangan kasuistis tetapi pertimbangan yang lebih komprehensif.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Membangun Kewaspadaan yang Menentramkan

Tanya : Mantan Panglima yang kita sebut kebetulan periodenya setelah Anda menyelesaikan tugas sebagai Panglima. Beliau menyebut ancaman kebangkitan PKI di Indonesia, nyata adanya. Apakah saat Anda menjabat Panglima, ancaman itu tidak muncul ? Atau, apakah ancaman itu muncul tiba-tiba setelah Anda tidak lagi menjabat ?

Moeldoko : Saya sebagai pemimpin yang dilahirkan dari akar rumput bisa memahami peristiwa demi peristiwa. Mengevaluasi peristiwa demi peristiwa. Tidak mungkin datang secara tiba tiba. Karena spektrum itu terbentuk dan terbangun tidak muncul begitu saja. Jadi jangan berlebihan sehingga menakutkan orang lain. Sebenarnya bisa saja sebuah peristiwa besar itu menjadi komoditas untuk kepentingan tertentu. Ada dua pendekatan dalam membangun kewaspadaan. Kewaspadaan yang dibangun untuk menenteramkan dan kewaspadaan yang menakutkan.

Bedanya disitu. Tinggal kita melihat kepentingannya. Kalau kewaspadaan itu dibangun untuk menenteramkan maka tidak akan menimbulkan kecemasan. Tapi kalau kewaspadaan itu dibangun untuk menakutkan, pasti ada maksud-maksud tertentu. Nah! Itu pilihan-pilihan dari seorang pemimpin. Kalau saya memilih, kewaspadaan untuk menenteramkan. Yang terjadi saat ini, menghadapi situasi saat ini apalagi di masa pandemi, membangun kewaspadaan yang menenteramkan adalah sesuatu pilihan yang bijak.

Tanya : Jadi menurut Anda, arah dari kewaspadaan itu sangat tergantung pada individunya. Apakah artinya ‘kehebohan’ saat ini hanya untuk kepentingan pribadi ?

Moeldoko : Saya melihat lebih cenderung ke situ. Kita ini mantan-mantan prajurit, memiliki DNA yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. DNA intelejen, DNA kewaspadaan, DNA antisipasi, dan seterusnya. Saya tidak ingin menyebut nama, tetapi kan tujuannya membangun kewaspadaan. Kewaspadaan kita bangun untuk menenteramkan keadaan. Bukan malah untuk menakutkan. Bedanya disitu.

Tanya : Anda menyebut, prajurit dan juga mantan prajurit memiliki DNA yang berbeda dengan kebanyakan orang. Sementara, mereka belajar dari sekolah yang sama. Mengapa setelah menjadi purnawirawan bisa punya cara pandang berbeda dalam memaknai kewaspadaan ?

Moeldoko : Saat kita masih berstatus sebagai prajurit, kita terikat dengan Saptamarga dan sumpah prajurit. Itu begitu kuat. Tapi begitu seseorang pensiun, maka otoritas atas pilihan-pilihan itu melekat pada masing-masing orang. Kalau kepentingan tertentu itu sudah mewarnai kehidupan yang bersangkutan, maka saya jadi tidak yakin kadar Saptamarga-nya masih melekat seratus persen karena dipengaruhi kepentingan-kepentingan. Tergantung dari orang yang bersangkutan. Seseorang bisa berbeda kalau sudah bicara politik, bicara kekuasaan, bicara achievement, karena ada ambisi.

Tanya : Apakah diantara Purnawirawan tidak saling mengingatkan tentang Saptamarga yang harusnya tetap melekat meski sudah pensiun ?

Moeldoko : Kami, sesama purnawirawan, selalu mengingatkan. Himbauan bahwa mantan prajurit ya harus selalu ingat dan tidak bisa lepas begitu saja. Tapi sekali lagi, kalau itu berkaitan dengan kepentingan, tidak ada otoritas kita untuk bisa melarang. Masing masing sudah punya otoritas atas dirinya.

Tanya : Bagaimana Anda menilai gerakan yang menamakan diri KAMI ? Apakah itu sekadar gagasan, atau sudah bentuk tindakan ? 

Moeldoko : Mereka itu bentuknya hanya sekumpulan kepentingan. Silahkan saja, tidak ada yang melarang. Kalau gagasannya bagus, kita ambil. Tetapi kalau arahnya memaksakan kepentingan, akan ada perhitungannya.

Tanya : Masalahnya, gagasan itu membuat suhu politik memanas. Bagaimana pendapat Anda ? 

Moeldoko : Dinamika politik selalu berkembang. Tidak ada namanya dinamika yang stagnan. Setelah ada KAMI, nanti ada KAMU, terus ada apalagi, kan? Kita tidak perlu menyikapi berlebihan sepanjang masih gagasan-gagasan. Sepanjang gagasan itu hanya bagian dari demokrasi, silahkan. Tapi jangan coba-coba mengganggu stabilitas politik. Kalau bentuknya sudah mengganggu stabilitas politik, semua ada resikonya. Negara punya kalkulasi dalam menempatkan demokrasi dan stabilitas.

Tanya : Bagaimana Anda sebagai mantan Panglima mengkalkulasi kegaduhan yang terjadi saat ini ?

Moeldoko : Kalkulasinya sekarang sih, masih biasa saja. Tidak ada yang perlu direspon berlebihan. Tetapi manakala itu sudah bersinggungan dengan stabilitas dan mulai mengganggu, saya ingatkan kembali.  Negara punya kalkulasi. Untuk itu ada hitung-hitungannya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.