Sukses

Special Content: Kunci Menuju Hubungan Harmonis TNI-Polri

TNI dan Polri diharapkan lebih harmonis, bukan hanya di level elite, tapi juga di akar rumput atau kalangan prajurit.

Jakarta - Sabtu (29/8/2020) pukul 02.00 WIB, Kepolisian Sektor (Polsek) Ciracas, Jakarta Timur, dikejutkan dengan kedatangan seratusan orang yang melakukan penyerangan secara brutal.

Akibat penyerangan itu, sejumlah kendaraan dibakar, kaca-kaca di Polsek dipecahkan. Bahkan, beberapa anggota polisi mengalami luka-luka. Bukan hanya Polsek Ciracas yang jadi sasaran penyerangan, Polsek Pasar Rebo, Jakarta Timur, juga dilempari batu.

Usut punya usut, ternyata penyerangan dua Polsek itu dilakukan oleh para anggota TNI. Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman, menyebut bahwa, berdasarkan laporan dari Komandan Distrik Militer (Dandim), sekitar 100-an orang melakukan aksi penyerangan tersebut.

Pihak Detasemen Polisi Militer (Denpom) TNI terus melakukan pemeriksaan terhadap para anggotanya yang terlibat melakukan penyerangan ke Polsek Ciracas dan Pasar Rebo. Mereka yang terlibat akan terkena sanksi tegas dari TNI.

Sebelum penyerangan itu terjadi, para anggota TNI itu tersulut emosinya setelah Prada Muhammad Ilham, anggota Satuan Direktorat Hukum TNI Angkatan Darat, menyebar kabar hoaks mengenai dirinya dikeroyok.

Kabar hoaks itu disampaikan Prada Muhammad Ilham kepada rekan-rekannya termasuk seniornya di TNI melalui ponsel. Akhirnya, rekan-rekan dan seniornya termakan hoax Prada Muhammad Ilham dan melakukan aksi penyerangan.

Padahal, Prada Muhammad Ilham sesungguhnya bukan dikeroyok, melainkan mengalami kecelakaan tunggal dari motor yang dikendarainya. Hal itu diketahui dari rekaman CCTV salah satu toko sekitar lokasi kejadian.

KSAD Jenderal Andika Perkasa, terang-terangan meminta maaf atas insiden penyerangan dua Polsek di Jakarta Timur itu dan akan mengganti rugi setiap kerusakan. Andika juga memastikan, anggotanya yang terlibat akan dipecat dan selain terkena hukum pidana.

"Lebih baik kita kehilangan 31 atau berapa pun prajurit yang terlibat, apapun perannya, daripada nama TNI Angkatan Darat akan terus rusak oleh tingkah laku-tingkah laku tidak bertanggung jawab dan sama sekali tidak mencerminkan sumpah prajurit yang mereka ucapkan, janjikan pada saat mereka menjadi prajurit TNI Angkatan Darat," jelas Andika Perkasa dalam jumpa pers di Mabes TNI AD, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.

"TNI Angkatan Darat memohon maaf atas terjadinya insiden yang menyebabkan korban maupun kerusakan yang dialami rekan-rekan baik dari masyarakat sipil maupun anggota Polri yang tidak tahu apa-apa," tambahnya.

Hubungan antara TNI dengan Polri beberapa waktu belakangan menjadi sorotan publik, khususnya karena kerap kali terjadi konflik yang melibatkan prajurit di kedua institusi itu.

Sebelum penyerangan Polsek Ciracas Sabtu lalu, tahun ini sudah beberapa kali terjadi konflik yang melibatkan anggota TNI dengan Polri. Pada April 2020 terjadi pertikaian antara anggota TNI dan Polri di Papua akibat kesalahpahaman.

Tiga anggota polisi tewas dalam bentrokan itu dan dua orang lainnya mengalami luka tembak. Lalu pada 14 Mei 2020, seorang polisi di Sulawesi Selatan menembak istrinya dan seorang anggota TNI.

Bentrok antara personel TNI-Polri juga terjadi di Jalan Lintas Sumatera, titik Tarutung-Sipirok, Silangkitang, Kecamatan Pahae Jae, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, pada 27 Februari 2020.

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan TNI dan Polri memang seperti tak lagi mesra. Kebanyakan, rentetan pertikaian anggota kedua institusi tersebut dipicu karena masalah sepele.

Yang sangat memprihatinkan, konflik bisa berujung bentrokan fisik dan unjuk kekuatan senjata masing-masing pihak hingga jatuh korban jiwa atau rusaknya fasilitas publik dan perorangan.

Sederet bentrokan antara prajurit TNI dengan Polri dikhawatirkan menjadi fenomena gunung es, di mana di permukaan intensitasnya tampak kecil, namun tersimpan banyak potensi meledak atau kapan saja dapat terjadi bentrokan lagi dengan lebih besar.

Sesungguhnya, sudah banyak langkah dilakukan, baik oleh pimpinan Polri maupun TNI untuk meredam terjadinya bentrokan kembali yang melibatkan para prajurit dari dua lembaga tersebut. Sayang, sepertinya upaya itu belum berhasil membawa ke hubungan yang lebih mesra nan langgeng, sesuai ekspektasi.

Saksikan Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Penyebab Konflik

Tidak bisa dipungkiri, pertikaian antara prajurit TNI dengan Polri banyak terjadi usai pemisahan Polri dari TNI (dulu ABRI) pada 1999. Walaupun sebelum pemisahan juga ada konflik, tapi intensitasnya tidak sebanyak pasca pemisahan.

Ide dasar pemisahan kedua institusi itu tak lain supaya bisa meningkatkan profesionalitas fungsi dan organisatoris Polri dan TNI. Selain itu, sumber daya manusia yang berada di TNI dan Polri dapat lebih berdayaguna dan berhasil dalam menjalankan tugas pokoknya masing-masing.

Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) RI, Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo, menyatakan, pemisahan itu (TNI dan Polri) adalah amanat konstitusi. Menurut dia, yang terpenting harus bisa saling menghargai dalam tatanan-tatanan baru, yakni tugas polisi adalah penegakan hukum dan menjaga keamanan serta ketertiban masyarakat, sedangkan TNI fungsinya pertahanan nasional.

"Polisi tugasnya menegakkan hukum. Ini amanat konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi. Jadi, kita tidak bisa mencari kambing hitam itu dari sesuatu yang lebih tinggi dan prinsipil untuk dikorbankan, hanya untuk menjaga sesuatu yang sebetulnya terjadi karena kelemahan kita, yaitu konflik-konflik antara anggota polri dengan TNI. Jadi, tidak bisa ditawar, TNI dan Polri ini memang punya tugas dan fungsi yang berbeda," beber Agus kepada Liputan6.com.

Pria berusia 73 tahun itu berpendapat, perlunya kepekaan dari otoritas politik yang mengawasi serta membina TNI dan Polri, untuk menghindari kebijakan yang berpotensi menimbulkan kecemburuan dua instansi ini.

"Saat era dwifungsi dulu, banyak anggota TNI menduduki jabatan-jabatan sipil. Sekarang, TNI sudah berinisiatif mengawali reformasi dan keluar dari politik. Tetapi, kenapa banyak jabatan-jabatan tinggi sipil kini diduduki anggota Polri. Ini kan memerlukan keseimbangan, walaupun itu persepsi, tapi persepsi ini harus dihilangkan untuk melihat bahwa hal itu dijalankan secara adil, berat sebelah, tidak ada dianakemaskan," jelas Agus.

"Jadi, banyak sekali dan ini bukan berasal dari TNI atau Polri sendiri, tapi berasal dari otoritas politik. Karena yang mengoperasikan, mengawasi, membina, dan memberikan anggaran, ini dari otoritas politik."

Purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Darat ini juga mempertanyakan bagaimana bisa kerap terdengar isu di kalangan umum mengenai tingkat kesejahteraan anggota Polri lebih besar dari anggota TNI. Agus percaya pemerintah memberikan tingkat kesejahteran yang sama bagi sesama aparat, namun dia meminta para perumus kebijakan menelaah lebih lanjut supaya tidak menimbulkan penumpukan rasa tidak puas di pihak yang merasa dibedakan.

Di sisi lain, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono, tak setuju dengan anggapan perselisihan sering terjadi karena perbedaan kesejahteraan kedua institusi. Ia juga kurang sependapat bahwa konflik terjadi karena kedua institusi dipisahkan, tak lagi satu seperti era orde baru.

"Ada banyak pandangan seperti itu, cuma semestinya tidak boleh ada pandangan seperti itu. Yang lalu sudah berlalu. Sebagai bagian dari aparatur negara, dia (TNI dan Polri) dilindungi dan juga bertugas melindungi dan membela undang-undang," terang Dave Laksono kepada Liputan6.com

"Itu semuanya tidak dijadikan alasan mereka bersikap brutal. Karena ketika seorang individual bertugas menjadi TNI, ya dia harus siap menanggung sumpah itu. Tidak boleh ada rasa iri. Kalau begitu pola pikirnya, pegawai pajak gajinya lebih besar, terus mau diserbu juga kantor pajak? Kan tidak bisa begitu," ucap putra dari Agung Laksono ini.

3 dari 5 halaman

Tantangan Pimpinan TNI dan Polri di Era Teknologi

Kesan bahwa kekompakan TNI dan Polri hanya terjadi di level elite atau petinggi semakin kentara, karena di tingkat akar rumput atau prajurit, situasinya bertolak belakang dengan adanya sederet pertikaian.

"Meskipun para petinggi institusi menunjukkan persahabatan yang erat, namun di tingkat bawah kerap terjadi konflik antarinstitusi sehingga perlu dilakukan kajian ulang terhadap doktrin yang diajarkan di masing-masing institusi, baik TNI maupun Polri," kata Dave Laksono.

Dalam penyelesaian konflik juga sangat perlu menyentuh akar permasalahan, bukan sekadar melakukan perdamaian dan saling memaafkan. Sumber nyata konflik perlu diketahui dan segera diatasi sehingga tidak ada dampak negatif pada stabilitas keamanan dan ketertiban di masyarakat secara keseluruhan.

Dalam perkembangan teknologi saat ini, prajurit tidak terlepas dari imbas perkembangan teknologi yang bisa membuat implikasi di dalam masyarakat. Menurut Agus Widjojo, internet dan media sosial juga mampu memengaruhi kehidupan para anggota TNI dan Polri.

"Penggunaan media sosial tidak bisa dipantau pihak ketiga, dalam hal ini juga oleh para komandannya. Artinya seseorang semakin mudah mendapatkan informasi, mengirimkan informasi, tanpa terawasi dan bisa mengumpulkan orang dalam waktu singkat untuk kepentingan tertentu. Ini bisa berlangsung di luar pengawasan dari para komandannya," kata Agus Widjojo.

"Ini merupakan tantangan bagi kepemimpinan para komandan di era sekarang. Bagaimana untuk bisa memantau para prajurit, karena saat saya jadi komandan di masa lalu, belum ada gadget, internet, dan media sosial," imbuhnya.

Sementara itu, Dave Laksono menekankan pentingnya untuk para prajurit mematuhi perintah dari komandannya. Dia percaya para komandan bertanggung jawab, sehingga tidak akan menginstruksikan hal-hal yang dapat merugikan bawahan dan institusi mereka.

"Mereka dalam jumlah banyak melakukan penyerbuan ke markas polisi, itu salah. Tentara itu harus sesuai pimpinan, dan pasti tidak ada perintah melakukan penyerbuan (ke Polsek Ciracas)."

4 dari 5 halaman

Agar Hubungan Lebih Harmonis

Supaya potensi terjadinya kembali konflik antara prajurit TNI dan Polri dapat diminimalisasi dan tercipta hubungan yang lebih harmonis, perlu upaya dan langkah nyata. Apabila isu kesejahteraan yang jadi masalah, maka perbaikan tingkat kesejahteran prajurit harus direalisasikan agar tidak terjadi kesenjangan.

Selain itu, diperlukan juga pembenahan sistem perundang-undangan yang mengatur lingkup tugas masing-masing institusi, baik TNI maupun Polri, sehingga tidak memunculkan tarik menarik kewenangan.

Menurut Dave Laksono, solusi lain agar hubungan TNI dan Polri lebih harmonis adalah pembinaan di level akar rumput, dalam hal ini prajurit. Dia juga ingin adanya komunikasi intens yang terjadi di level prajurit, bukan hanya di level elite.

"Bisa operasi atau latihan dilaksanakan bersamaan, sehingga bisa terjadi keeratan antara seluruh personel polisi dan TNI," papar Dave.

"Perlu direvisi kembali sistem pendidikan dari TNI dan Kepolisian, sehingga tak ada lagi ego sektoral yang kuat. Jadi, masing-masing mindset itu satu, yakni mengayomi dan melindungi masyarakat Indonesia. Bukan ada kesombongan masing-masing secara institusi, akan tetapi justru semakin erat hubungannya. Sehingga, tidak ada lagi konflik secara institusi atau personel."

Di sisi lain, Agus Widjojo, meminta para komandan TNI lebih banyak berkomunikasi dengan prajuritnya tentang risiko dan implikasi dari tindakan-tindakan yang bisa merugikan institusi dan diri mereka sendiri, sehingga muncul kesadaran diri.

"Kan tidak gampang masuk TNI. Sudah capek-capek mendaftar menjadi anggota TNI lewat segala persyaratan, terus kemudian sekarang dipecat, itu akan merugikan dirinya. Ingatkan para prajurit akan konsekuensinya apabila bertindak sendiri tanpa perintah dari atasan," ujar Agus.

"Tetapi juga dari atas, mungkin di atas tidak ada friksi, yang ada friksi di bawah. Yang di bawah itu bergantung dari apa yang disampaikan dari atas. Di atas pimpinan itu harus percaya dengan tatanan-tatanan baru. Beritahu prajurit, bahwa tugas TNI sekarang itu tidak dalam wilayah kemasyarakatan, yang saat ini menjadi wilayah Polri. Jadi, kita harus menghargai tugas mereka."

Sebaliknya, Agus Widjojo juga meminta polisi bisa menghargai anggota TNI, terutama memiliki empati, bahwa TNI dulunya cukup punya kewenangan di dalam era dwifungsi, baik untuk keamanan maupun pertahanan, sikap itu bisa menciptakan saling pengertian demi menghindari konflik.

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.