Sukses

BIN soal Djoko Tjandra: Kami Bukan Lembaga Penegak Hukum

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) terkait kasus Djoko Tjandra.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengevaluasi kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) terkait kasus Djoko Tjandra.

Buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terkait pengalihan hak tagih Bank Bali itu bebas berkeliaran keluar masuk Indonesia.

Deputi VII dan Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto menjelaskan, berangkat dari Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN tidak mempunyai kewenangan penangkapan seseorang, baik di dalam maupun di luar negeri. Termasuk, kata dia, Djoko Tjandra.

"BIN bukan lembaga penegak hukum. BIN memberikan masukan ke Presiden yang sifatnya strategis menyangkut keamanan negara," kata Wawan, Jakarta, Rabu (29/7/2020).

Menurut dia, BIN terus melaksanakan koordinasi dengan lembaga intelijen dalam dan luar negeri dalam rangka memburu koruptor secara tertutup.

"Sebagaimana terjadi pada kasus penangkapan Totok Ari Prabowo dan Samadikun Hartono. Demikian juga dalam kasus Maria Pauline Lumowa yang ujung tombaknya adalah Kemenkumham," jelas Wawan.

Pada undang-undang tersebut, lanjut dia, BIN berwenang melakukan operasi di luar negeri. Bahkan memiliki perwakilan di luar negeri termasuk dalam upaya mengejar koruptor.

"Namun, tidak semua negara ada perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Hal ini dilakukan upaya lain. Info yang diperoleh, rata-rata para terdakwa kasus korupsi masih melakukan upaya hukum PK (Peninjauan Kembali). Demikian juga masalah Djoko Tjandra, masih mengajukan PK, hal ini menjadi kewenangan yudikatif untuk menilai layak dan tidaknya pengajuan PK berdasarkan bukti baru (novum) yang dimiliki," tutur Wawan.

"BIN tidak berkewenangan melakukan intervensi dalam proses hukumnya," sambung dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kritik ICW

Buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terkait pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra tak kunjung tertangkap usai bebas berkeliaran ke luar maupun masuk ke Indonesia. Indonesian Corruption Watch (ICW) pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi kinerja Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan.

Menurut ICW, BIN tidak memiliki kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kelas kakap tersebut.

"Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kinerja Kepala BIN, Budi Gunawan, karena terbukti gagal dalam mendeteksi buronan kasus korupsi, Djoko Tjandra, sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah berpergian di Indonesia," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jakarta, Rabu (29/7/2020).

Dia mengatakan, bebasnya Djoko Tjandra masuk ke Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, membuktikan instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal.

"Presiden Joko Widodo segera memberhentikan Kepala BIN, Budi Gunawan, jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa adanya informasi intelijen mengenai koruptor yang masuk ke wilayah Indonesia namun tidak disampaikan kepada Presiden dan penegak hukum," ucap Kurnia.

Kurnia pun membandingkan pengalaman BIN sebelummya yang sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada 2015 lalu dan Samadikun Hartono di China pada 2016.

"Berbeda dengan kondisi saat ini. Praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN," kata Kurnia soal kinerja BIN dan kaitannya dengan Djoko Tjandra.

3 dari 3 halaman

Punya Kewenangan

Kurnia menuturkan, berdasarkan catatan ICW sejak 1996 hingga 2020 terdapat 40 koruptor yang masih buron. Dia menjabarkan, institusi penegak hukum yang belum mampu menangkap buronan koruptor antara lain: Kejaksaan (21 orang), Kepolisian (13 orang), dan KPK (6 orang).

Lokasi yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian koruptor diantaranya, New Guinea, China, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia.

Dia mengatakan, nilai kerugian akibat tindakan korupsi para buron tersebut pun terbilang fantastis, yakni sebesar Rp 55,8 triliun dan USD $ 105,5 juta. 

Kurnia mengingatkan, bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara telah mendefinisikan bentuk ancaman yang menjadi tanggung jawab kelembagaan BIN. Salah satunya adalah terkait ekonomi nasional, sehingga mendeteksi keberadaan buronan kasus korupsi dan menginformasikan kepada penegak hukum merupakan satu dari rangkaian tugas lembaga intelejen tersebut.

Terlebih lagi, Pasal 2 huruf d jo Pasal 10 ayat (1) UU a quo juga menjelaskan perihal koordinasi dan fungsi intelejen dalam negeri dan luar negeri. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pencarian serta sirkulasi informasi dari BIN belum menunjukkan hasil yang maksimal.

Dia kemudian merujuk pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Petikan Tahun Anggaran 2020, negara memberikan alokasi anggaran kepada BIN sebesar Rp 7,4 triliun yang mana Rp 2 triliun diantaranya digunakan untuk operasi intelijen luar negeri. Selain itu, terdapat alokasi anggaran sebesar Rp1,9 triliun untuk modernisasi peralatan teknologi intelijen.

"Besarnya anggaran yang diterima dengan masih banyaknya jumlah buronan yang berkeliaran tidak linear dengan kinerja BIN," pungkas Kurnia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.